Minggu, 27 Mei 2012

Cairan dan Elektrolit


BAB II
PEMBAHASAN

A.                Konsep Dasar Anatomi dan Fisiologi Cairan dan Elektrolit
1.    Pengertian
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh. 
Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air ( pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya; jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.1
Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berada di dalam sel di seluruh tubuh, sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.
2.    Elektrolit Utama Tubuh Manusia
Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan nonelektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai dalam larutan dan tidak bermuatan listrik, seperti : protein, urea, glukosa, oksigen, karbon dioksida dan asam-asam organik. Sedangkan elektrolit tubuh mencakup natrium (Na+), kalium (K+), Kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), Klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat (HPO42-), sulfat (SO42-).
Konsentrasi elektrolit dalam cairan tubuh bervariasi pada satu bagian dengan bagian yang lainnya, tetapi meskipun konsenterasi ion pada tiap-tiap bagian berbeda, hukum netralitas listrik menyatakan bahwa jumlah muatan-muatan negatif harus sama dengan jumlah muatan-muatan positif.
Komposisi dari elektrolit-elektrolit tubuh baik pada intraseluler maupun pada plasma terinci dalam tabel di bawah ini :
Plasma Interstitial
a.       Kation :
Natrium (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg ++)
b.      Anion :
Klorida (Cl-), Bikarbonat (HCO3-), Fosfat (HPO42-), Sulfat (SO42-), Protein

3.    Perpindahan Cairan dan Elektrolit Tubuh 
Perpindahan cairan dan elektrolit tubuh terjadi dalam tiga fase yaitu :
a.       Fase I :
Plasma darah pindah dari seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi, dan nutrisi dan oksigen diambil dari paru-paru dan tractus gastrointestinal.
b.      Fase II :

Cairan interstitial dengan komponennya pindah dari darah kapiler dan sel
c.       Fase III :

Cairan dan substansi yang ada di dalamnya berpindah dari cairan interstitial masuk ke dalam sel. Pembuluh darah kapiler dan membran sel yang merupakan membran semipermiabel mampu memfilter tidak semua substansi dan komponen dalam cairan tubuh ikut berpindah. Metode perpindahan dari cairan dan elektrolit tubuh dengan cara :
1.      Diffusi
2.      Filtrasi
3.      Osmosis
4.      Aktif Transport
Difusi dan osmosis adalah mekanisme transportasi pasif. Hampir semua zat berpindah dengan mekanisme transportasi pasif. Diffusi sederhana adalah perpindahan partikel-partikel dalam segala arah melalui larutan atau gas.Beberapa faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya difusi zat terlarut menembus membran kapiler dan sel, yaitu :
1.      Permeabilitas membran kapiler dan sel
2.      Konsenterasi
3.      Potensial listrik
4.      Perbedaan tekanan.
Osmosis adalah proses difusi dari air yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi. Difusi air terjadi pada daerah dengan konsentrasi zat terlarut yang rendah ke daerah dengan konsentrasi zat terlarut yang tinggi. Perpindahan zat terlarut melalui sebuah membran sel yang melawan perbedaan konsentrasi dan atau muatan listrik disebut transportasi aktif.
Transportasi aktif berbeda dengan transportasi pasif karena memerlukan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP). Salah satu contonya adalah transportasi pompa kalium dan natrium.
Natrium tidak berperan penting dalam perpindahan air di dalam bagian plasma dan bagian cairan interstisial karena konsentrasi natrium hampir sama pada kedua bagian itu. Distribusi air dalam kedua bagian itu diatur oleh tekanan hidrostatik yang dihasilkan oleh darah kapiler, terutama akibat oleh pemompaan oleh jantung dan tekanan osmotik koloid yang terutama disebabkan oleh albumin serum.
Proses perpindahan cairan dari kapiler ke ruang interstisial disebut ultrafilterisasi.



B.                 Pengaturan Volume Cairan Tubuh
Di dalam tubuh seorang yang sehat volume cairan tubuh dan komponen kimia dari cairan tubuh selalu berada dalam kondisi dan batas yang nyaman. Dalam kondisi normal intake cairan sesuai dengan kehilangan cairan tubuh yang terjadi. Kondisi sakit dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
Dalam rangka mempertahankan fungsi tubuh maka tubuh akan kehilanagn cairan antara lain melalui proses penguapan ekspirasi, penguapan kulit, ginjal (urine), ekresi pada proses metabolisme.
a.       Intake Cairan :
Selama aktifitas dan temperatur yang sedang seorang dewasa minum kira-kira 1500 ml per hari, sedangkan kebutuhan cairan tubuh kira-kira 2500 ml per hari sehingga kekurangan sekitar 1000 ml per hari diperoleh dari makanan, dan oksidasi selama proses metabolisme.
Pengatur utama intake cairan adalah melalui mekanisme haus. Pusat haus dikendalikan berada di otak Sedangkan rangsangan haus berasal dari kondisi dehidrasi intraseluler, sekresi angiotensin II sebagai respon dari penurunan tekanan darah, perdarahan yang mengakibatkan penurunan volume darah. Perasaan kering di mulut biasanya terjadi bersama dengan sensasi haus walupun kadang terjadi secara sendiri. Sensasi haus akan segera hilang setelah minum sebelum proses absorbsi oleh tractus gastrointestinal.
b.      Output Cairan :
Kehilangan caiaran tubuh melalui empat rute (proses) yaitu :
1.      Urine :
Proses pembentukan urine oleh ginjal dan ekresi melalui tractus urinarius merupakan proses output cairan tubuh yang utama. Dalam kondisi normal output urine sekitar 1400-1500 ml per 24 jam, atau sekitar 30-50 ml per jam. Pada orang dewasa. Pada orang yang sehat kemungkinan produksi urine bervariasi dalam setiap harinya, bila aktivitas kelenjar keringat meningkat maka produksi urine akan menurun sebagai upaya tetap mempertahankan keseimbangan dalam tubuh.
2.      IWL (Invisible Water Loss) :
IWL terjadi melalui paru-paru dan kulit, Melalui kulit dengan mekanisme difusi. Pada orang dewasa normal kehilangan cairan tubuh melalui proses ini adalah berkisar 300-400 mL per hari, tapi bila proses respirasi atau suhu tubuh meningkat maka IWL dapat meningkat.
3.      Keringat :
Berkeringat terjadi sebagai respon terhadap kondisi tubuh yang panas, respon ini berasal dari anterior hypotalamus, sedangkan impulsnya ditransfer melalui sumsum tulang belakang yang dirangsang oleh susunan syaraf simpatis pada kulit.
4.      Feces :
Pengeluaran air melalui feces berkisar antara 100-200 mL per hari, yang diatur melalui mekanisme reabsorbsi di dalam mukosa usus besar (kolon).

C.                 Faktor yang Berpengaruh pada Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Faktor-faktor yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
antara lain :
a.       Umur :
Kebutuhan intake cairan bervariasi tergantung dari usia, karena usia akan berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat badan. Infant dan anak-anak lebih mudah mengalami gangguan keseimbangan cairan dibanding usia dewasa. Pada usia lanjut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dikarenakan gangguan fungsi ginjal atau jantung.
b.      Iklim :
Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan kelembaban udaranya rendah memiliki peningkatan kehilangan cairan tubuh dan elektrolit melalui keringat. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di lingkungan yang panas dapat kehilangan cairan sampai dengan 5 L per hari.
c.       Diet :
Diet seseorang berpengaruh terhadap intake cairan dan elektrolit. Ketika intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein dan lemak sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun padahal keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga hal ini akan menyebabkan edema.
d.      Stress :
Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan pemecahan glikogen otot. Mekanisme ini dapat meningkatkan natrium dan retensi air sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume darah.
e.       Kondisi Sakit :
Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh Misalnya :
1.      Trauma seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui IWL.
2.      Penyakit ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
3.      Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami gangguan pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemampuan untuk memenuhinya secara mandiri.
f.       Tindakan Medis :
Banyak tindakan medis yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh seperti : suction, nasogastric tube dan lain-lain.
g.      Pengobatan :
Pengobatan seperti pemberian deuretik, laksative dapat berpengaruh pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh.
h.      Pembedahan :
Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, dikarenakan kehilangan darah selama pembedahan.

D.                Konsep Dasar Gangguan Volume Cairan
1.    HIPOVOLEMIA (Kekurangan Volume Cairan)
a.       Pengertian
Kekurangan Volume cairan (FVD) terjadi jika air dan elektrolit hilang pada proporsi yang sama ketika mereka berada pada cairan tubuh normal sehingga rasio elektrolit serum terhadap air tetap sama. (Brunner & suddarth, 2002).
1)   Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan
      ekstraseluler (CES).
2)   Hipovolemia adalah penipisan volume cairan ekstraseluler (CES)
3)   Hipovolemia adalah kekurangan cairan di dalam bagian-bagian
      ekstraseluler (CES)
b.      Etiologi
Hipovolemia ini terjadi dapat disebabkan karena :
1)      Penurunan masukan.
2)      Kehilangan cairan yang abnormal melalui : kulit, gastro intestinal, ginjal abnormal, dan lain-lain.
3)      Perdarahan.

c.       Patofisiologi
Kekurangan volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstraseluler dalam jumlah yang proporsional (isotonik). Kondisi seperti ini disebut juga hipovolemia. Umumnya, gangguan ini diawali dengan kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan interseluler menuju intravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan ekstraseluler. Untuk untuk mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan pemindahan cairan intraseluler.

Secara umum, defisit volume cairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kehilangan cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan cairan, perdarahan dan pergerakan cairan ke lokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah untuk mengembalikanya ke lokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat). Cairan dapat berpindah dari lokasi intravaskuler menuju lokasi potensial seperti pleura, peritonium, perikardium, atau rongga sendi. Selain itu, kondisi tertentu, seperti terperangkapnya cairan dalam saluran pencernaan, dapat terjadi akibat obstruksi saluran pencernaan.
d.      Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien dengan hipovolemia antara lain : pusing, kelemahan, keletihan, sinkope, anoreksia, mual, muntah, haus, kekacauan mental, konstipasi, oliguria. Tergantung pada jenis kehilangan cairan hipovolemia dapat disertai dengan ketidak seimbangan asam basa, osmolar atau elektrolit. Penipisan (CES) berat dapat menimbulkan syok hipovolemik.

Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi hipolemia adalah dapat berupa peningkatan rangsang sistem syaraf simpatis (peningkatan frekwensi jantung, inotropik (kontraksi jantung) dan tahanan vaskuler), rasa haus, pelepasan hormone antideuritik (ADH), dan pelepasan aldosteron. Kondisi hipovolemia yang lama dapat menimbulkan gagal ginjal akut.

2.    Komplikasi
Akibat lanjut dari kekurangan volume cairan dapat mengakibatkan :
1) Dehidrasi (Ringan, sedang berat).
2) Renjatan hipovolemik.
3) Kejang pada dehidrasi hipertonik.

3.    HIPERVOLEMIA (Kelebihan Volume Cairan)
a.       Pengertian
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami kelebihan cairan intraseluler atau interstisial. (Carpenito, 2000). Kelebihan volume cairan mengacu pada perluasan isotonok dari CES yang disebabkan oleh retensi air dan natrium yang abnormal dalam proporsi yang kurang lebih sama dimana mereka secara normal berada dalam CES. Hal ini selalu terjadi sesudah ada peningkatan kandungan natrium tubuh total, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan air tubuh total. (Brunner & Suddarth. 2002).
b.      Etiologi
Hipervolemia ini dapat terjadi jika terdapat :
1)      Stimulus kronis pada ginjal untuk menahan natrium dan air.
2)      Fungsi ginjal abnormal, dengan penurunan ekskresi natrium dan air.
3)      Kelebihan pemberian cairan intra vena (IV).
4)      Perpindahan cairan interstisial ke plasma.
c.       Patofisiologi
Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang seimbang. Karena adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum masih normal. Kelebihan cairan tubuh hampir selalu disebabkan oleh peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan / adanya gangguan mekanisme homeostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan.
d.      Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien dengan hipervolemia antara lain : sesak nafas, ortopnea. Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi hiperlemia adalah berupa pelepasan Peptida Natriuretik Atrium (PNA), menimbulkan peningkatan filtrasi dan ekskresi natrium dan air oleh ginjal dan penurunan pelepasan aldosteron dan ADH.

Abnormalitas pada homeostatisis elektrolit, keseimbangan asam-basa dan osmolalitas sering menyertai hipervolemia. Hipervolemia dapat menimbulkan gagal jantung dan edema pulmuner, khususnya pada pasien dengan disfungsi kardiovaskuler
e.       Komplikasi
Akibat lanjut dari kelebihan volume cairan adalah :
1) Gagal ginjal, akut atau kronik
2) Berhubungan dengan peningkatan preload, penurunan kontraktilitas, dan
    penurunan curah jantung
3) Infark miokard
4) Gagal jantung kongestif
5) Gagal jantung kiri
6) Penyakit katup
7) Takikardi/aritmia
Berhubungan dengan hipertensi porta, tekanan osmotik koloid plasma rendah, retensi natrium
8) Penyakit hepar : Sirosis, Asites, Kanker
9) Berhubungan dengan kerusakan arus balik vena
10) Varikose vena
11) Penyakit vaskuler perifer
12) Flebitis kronis

f.       Pemeriksaan Diagnostik
1)      Pemeriksaan Fisik
Oedema, peningkatan berat badan, peningkatan TD (penurunan TD saat jantung gagal) nadi kuat, asites, krekles (rales). Ronkhi, mengi, distensi vena leher, kulit lembab, takikardia, irama gallop
2)      Protein rendah
3)      Anemia
4)      Retensi air yang berlebihan
5)      Peningkatan natrium dalam urine
g.      Penatalaksanaan Medis
Tujuan terapi adalah mengatasi masalah pencetus dan mengembalikan CES pada normal. Tindakan dapat berupa hal berikut :
1)      Pembatasan natrium dan air.
2)      Diuretik.
3)      Dialisi atau hemofiltrasi arteriovena kontinue : pada gagal ginjal atau kelebihan beban cairan yang mengancam hidup.
E.                 Klasifikasi cairan tubuh makhluk hidup
Secara fisik,molekul pembentuk tubuh manusia dapat dibedakan menjadi jenis cairan dan jenis matriks molekul padat. Pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit dl tubuh diatur oleh :
1.      Ginjal
Ginjal merupakan organ yang memiliki peran cukup besar dalam pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit. Fungsi dari ginjal yaitu sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam darah,pengatur keseimbangan asam basa darah dan pengatur ekskresi bahan buangan atau kelebihan garam.
2.      Kulit
Kulit merupakan bagian penting dalam pengaturan cairan yang terkait dengan proses pengaturan panas. Banyaknya darah yang mengalirmelalui pembuluh darah dalam kulit mempengaruhi jumlah keringat yang dikeluarkan. Proses pelepasan panas kemudian dapat dilakukan dengan cara penguapan. Proses pelepasan panas lainnya dapat dilaukan dengan cara pemancaran yaitu dengan melepaskan panas ke udara sekitarnya. Ada 2 cara, cara pertama konduksi yaitu pengalihan panas ke benda yang disentuh, sedangkan cara kedua konveksi yaitu mengalirkan udara yang telah panas kepermukaan yang lebih dingin.
3.      Paru-paru
Paru-paru berperan dalam pengeluaran cairan dengan menghasilkan insensible water loss ± 400ml/hari. Proses pengeluaran cairan terkait dengan respons akibat perubahan frekuensi dan kedalaman pernapasan (kemampuan bernapas), misalnya orang yang melakukan olahraga berat.
4.      Gastrointestinal
Gastrointestinal merupakan organ saluran pencernaan yang berperan dalam mengeluarkan cairan melalui proses penyerapan dan pengeluaran air. Dalam kondisi ormal, cairan yang hilang dalam sistem ini sekitar 100-200ml/hari.

F.                  Fungsi Cairan dalam Tubuh Manusia, antara lain :
a.       Sebagai alat transportasi nutrient, elektrolit dan sisa metabolisme.
b.      Sebagai komponen pembentuk sel, plasma, darah, dan komponen tubuh lainnya.
c.       Sebagai pengatur suhu tubuh dan lingkungan seluler.

G.                Transpor Cairan dalam Tubuh
a.       Difusi
Pergerakan molekul melintasi membrane semi permeable dari kompartemen berkonsentrasi tinggi menujukompartemen rendah. Laj difusi dipengaruhi: ukuran molekul, konsentrasi larutan dan temperature larutan.
b.      Filtrasi
Proses perpindahan cairan dan solute (substansi yang terlarut dalam cairan) melintasi membran bersama-sama dari kompartemen bertekanan tinggi menuju kompartemen bertekanan rendah. Contoh filtrasi adalah pergerakan cairan dan nutrien dari kapiler menuju cairan interstitial disekitar sel.
c.       Osmosis
Pergerakan dari solven (pelarut) murni (air) melintasi membrane sel dari konsentrasi rendah (cairan) menuju berkonsentrasi tinggi (pekat).
d.      Transport aktif
Proses transport aktif memerlukan energi metabolisme. Proses transport aktif penting untuk mempertahankan keseimbangan natrium dan kalsium antara cairan intraseluler dan ekstraseluler. Dalam kondisi normal, konsentrasi natrium lebih tinggi pada cairan intrasluler dan kadar kalium lebih tinggi pada cairan ekstraseluler.

H.                Faktor yang mempengauhi kebutuhan cairan dan elektrolit
1.    Usia
Bayi dan anak di masa pertumbuhan memiliki proporsi cairan tubuh yang lebih besar dibandingkan orang dewsa. Karenanya, jumlah cairan yang diperlukan dan  jumlah cairan yang hilang juga lebih besar disbanding orang dewasa. Besarnya kebutuhan cairan pada bayi dan anak-anak juga dipengaruhi oleh laju metabolic yang tinggi serta kondisi ginjal mereka yang belum teratur dibaning ginjal orang dewasa.
2.    Aktivitas
Aktivitas menyebabkan peninkatan proses metabolism dalam tubuh .hal ini mengakibatkan peningkatan pengeluaran cairan melalui keringat. Kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) juga mengalami peningkatan laju pernapasan dan aktivasi kelenjar keringat.
3.    Iklim
Dalam situasi ini, cairan yang keluar umumnya tidak dapat disadari (insensible water loss, IWL). Besarnya IWL pada tiap individu bervariasi,dipengaruhi suhu lingkungan, tingkat metabolisme, dan usia. Individu yang tinggal di lingkungan yang bersuhu tinggi atau di daerah dengan kelembapan yang rendah akan lebih sering mengalami kehilangan cairan dan elektrolit.
4.    Diet
Jika asupan makanan tidak seimbang, tubuh berusaha memecah simpanan protein dengan terlebih dahulu memecah simpanan lemak dan glikogen. Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar albumin.
5.    Stress
Saat stress, tubuh mengalami peningkatan metabolism seluler, peningkatan konsentrasi glukosa darah dan glikolisis otot. Mekaisme ini mengakibatkan retensi air dan natrium. Disamping itu, stress juga menyebabkan peningkatan produksi hormone anti deuritik yang dapat mengurangi produksi urine.
6.    Penyakit
Trauma pada jaringan dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit dari sel atau jaringan yang rusak,  seperti luka robek atau luka bakar. Pasien yang menderita diare jug dapat mengalami peningkatan kebutuhan cairan akibat kehilangan cairan melalui saluran gastro intestinal.
7.    Tindakan medis
Beberapa tindakan medis meimbulkan efek sekunder terhadap kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh. Tindakan pengisapan cairan lambung dapat menyebabkan penurunan kadar kalsium dan kalium.
8.    Pengobatan
Penggunaan beberapa obat seperti diuretik  maupun laksatif secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan kehilangan cairan dalam tubuh. Akibatnya, terjadi defisit cairan tubuh.
9.    Pembedahan
Klien yang menjalani pembedahan beresiko tinggi mengalami ketidakseimbangan cairan. Beberapa klien dapat kehilangan banyk darah selama periode operasi, sedangkan beberapa klien lainnya justru mengalami kelebihan beban cairan akibat asupan cairan berlebih melalui intravena selama pembedahan atau sekresi hormone ADH selama masa stress akibat obat-obat anastesia.

I.                   Gangguan Keseimbangan Cair dan Elektrolit
a.       Ketidakseimbangan Cairan
Dua kelompok dasar, yaitu gangguan keseimbangan isotonis dan osmolar. Isotonis terjadi ketikasejumlah cairan dan elektrolit hilang bersaman dalam proposi yangg seimbang. Ketidak seimbangan osmolar terjadi ketika kehilangan cairan tidak di imbangi gengan perubahan kadar elektrolit dalam proporsi yang seimbang sehingga menyebabkan perubahan pada konsentrasi dan osmolalitas serum.
b.      Defisit Volume Cairan
Ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstra seluler dalam jumlah  yang proposional (isotonok0. Kondisi seperti ini disebut juga hipovolemia. Defisit volume cairan disebabkan oleh kehilangan cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan cairan, perdarahan dan pergerakan cairan kelokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah mengembalikannya kelokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat)
                            Defisit Cairan
Faktor Resiko
Tanda Klinis
1.      Kehilangan cairan berlebih
a.       Muntah
b.      Diare
c.       Pengisapan lambung
d.      Drainase
e.       Keringat berlebih
2.      Ketidak cukupan asupan cairan
a.       Anoreksia
b.      Mual, muntah
c.       Tidak ada cairan
d.      Depresi
3.      Nilai laboratorium
a.       Peningkatan hematokrit
b.      Peningkatan hemoglobin
c.       Peningkatan BUN
d.      Penurunan CVP
·         Kehilangan berat badan (mungkin juga penambahan berat badan pada kasus perpindahan cairan ke lokasi ketiga)
-          2% (ringan)
-          5% (sedang)
-          8% (berat)
·         Penurunan turgor kulit
·         Nadi cepat dan lemah
·         Penurunan Tekanan Darah
·         Hipotesi postural
·         Penurunan volume darah
·         Bunyi nafas jelas
·         Asupan lebih sedikit daripada haluaran
·         Penurunan volume urine (kurang dari 30ml/jam), dapat meningkatkan karena kegagalan mekanisme regulasi
·         Mukosa membrane kering, penurunan salivasi
·         Vena  leher datar
·         Pengisian vena lambat
·         Menyatakan haus/ lemas

1.      Dehidrasi
Disebut juga ketidakseimbangan hiper osmolar, terjadi akibat kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan kehilangan elektrolit dalam jumlah porposional, terutama natrium. Menyebabkan peningkatan kadar natrium, peningkatan omolalitas, serta dehidrasi intraseluler. Kondisi ini menyebabkan gangguan fungsi sel dan kolaps sirkulasi.
Kelebihan volume cairan (hipervolemia)
Disebabkan oleh peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan atau adanya gangguan mekanisme homeostatispada proses regulasi keseimbangan cairan. Penyebab :
a.       Asupan natrium yang berlebihan
b.      Pemberian infuse berisi natrium terlalu cepat dan banyak
c.       Penyakit yang mengubah mekanisme regulasi
d.      Kelebihan steroid


Faktor resiko
1.      Kelebihan cairan yang mengandung natrium dari terapi intravena.
2.      Asupan cairan yang mengandung natrium dari diet atau obat-obatan.
3.      Nilai laboratorium
-          Penurunan hematokrit
-          Penurunan hemoglobin
-          Penurunan BUN
-          Peningkatan CVP
4.      Gangguan sirkulasi
a.       Gagal jantung
b.      Gagal ginjal
c.       Sirosis hati

2.      Edema
Edema yang sering terlihat disekitar mata, kaki dan tangan. Edema dapat terjadi ketika ada peningkatan produksi cairan interstisial atau gangguan perpindahan cairan interstisial. Ketika :
a.       Permeabilitas kapiler meningkat (karena luka bakar, alergi).
b.      Peningkatan hidrostatik kapiler meningkat (hipervolemia, opstruksi sirkulasi vena).
c.       Perpindahan cairan dari ruangan interstisial terhambat.
d.       
J.                   INTERAKSI ANTIDIABETIK ORAL
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin atau terdapat resistensi insulin maka kadar glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai normal).
Insulin adalah suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin diperlukan agar glukosa dapat memasuki sel tubuh, di mana gula tersebut kemudian dipergunakan sebagai sumber energi. Jika tidak ada insulin, atau jumlah insulin tidak memadai, atau jika insulin tersebut cacat , maka glukosa tidak dapat memasuki sel dan tetap berada di darah dalam jumlah besar. Penyakit diabetes melitus atau kencing manis disebabkan oleh multifaktor, keturunan merupakan salah satu faktor penyebab. Selain keturunan masih diperlukan faktor-faktor lain yang disebut faktor pencetus, misalnya adanya infeksi virus tertentu, pola makan yang tidak sehat, stres, makan obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar gula darah dan sebagainya. Gejala penyakit kencing manis sangat bervariasi, dapat timbul secara perlahan-lahan hingga penderita tidak menyadari terdapatnya perubahan dan baru dapat ditemukan pada saat pemeriksaan penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain. Tetapi gejala-gejala diabetes dapat juga timbul mendadak secara dramatis sekali. Gejala-gejala umum yang dapat ditemukan pada penderita kencing manis adalah sebagai berikut:rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama pada malam hari, berat badan turun dengan cepat, cepat merasa lapar,timbul kelemahan tubuh, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, luka atau bisul yang sukar sembuh dan keputihan.
1.      KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya. Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes. WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.

Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.

Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM). Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)
1
 Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2

Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin
3

Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β :
     • kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
     • kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
     • kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
     • DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
    • Pankreatitis
    • Trauma/Pankreatektomi
    • Neoplasma
    • Cistic Fibrosis
    • Hemokromatosis
    • Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
    1. Akromegali
    2. Sindroma Cushing
    3. Feokromositoma
    4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam
    nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington,
    Chorea, Prader Willi
4
Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5

Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)
2.      ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).

ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.

Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.

B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2. Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. 

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:
a.       Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b.      Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga  Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
c.       Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl)
d.      Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).
C. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.
D. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes. Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes.
3.      PENGGOLONGAN ANTIDIABETIK ORAL/HIPOGLIKEMIK ORAL
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu:
1.      Golongan Sulfonilurea
Bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel beta pankreas masih dapat berproduksi. Terdapat beberapa jenis sulfonilurea yang tidak terlalu berbeda dalam efektivitasnya. Perbedaan terletak pada farmakokinetik dan lama kerja. Termasuk dalam golongan ini adalah: Klorpropamid, Glikazid, Glibenklamid, Glipizid, Glikuidon, Glimepirid, Tolazalim dan Tolbutamid.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat golongan ini :
a.      Golongan sulfonil urea cenderung meningkatkan berat badan.
b.      Penggunaannya harus hati-hati pada pasien usia lanjut, gangguan fungsi hati dan ginjal. Klorpropamid dan glibenklamid tidak dianjurkan untuk pasien usia lanjut dan pasien insufisiensi ginjal. Pada pasien insufisiensi ginjal dapat digunakan glikuidon, gliklazid atau tolbutamid yang kerjanya singkat.
c.       Wanita menyusui, porfiria dan ketoasidosis merupakan kontraindikasi bagi pemberian sulfonilurea.
d.      Insulin kadang-kadang diperlukan bila timbul keadaan patologis tertentu seperti infark miokard, infeksi, koma dan trauma. Insulin juga diperlukan pada keadaan kehamilan.
e.       Efek samping, umumnya ringan dan frekuensinya rendah diantaranya gejala saluran cerna dan sakit kepala. Gejala hematologik termasuk trombositopenia, agrunolositosis dan anemia aplastik dapat terjadi tetapi jarang sekali. Hipoglikemi dapat terjadi bila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati/ginjal atau pada orang usia lanjut. Hipoglikemia sering ditimbulkan oleh ADO kerja lama
f.       Interaksi, banyak obat yang berinteraksi dengan sulfonilurea sehingga risiko terjadinya hipoglikemia dapat meningkat.
g.      Dosis, sebaiknya dimulai dengan dosis lebih rendah dengan 1 kali pemberian, dosis dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat.
2.      Golongan Biguanid
Bekerja dengan cara menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Termasuk dalam golongan ini adalah Metformin, Fenformin, Buformin. Efek samping yang sering terjadi (20% dari pemakai obat) adalah gangguan saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, rasa tidak enak di abdomen dan diare.
3.      Golongan analog Meglitinid
Bekerja dengan cara mengikat reseptor sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive potassium chanel. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Repaglinid.
4.      Golongan Thiazolidindion
Bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferators activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Golongan ini merupakan golongan baru dari ADO. Termasuk kedalam golongan ini adalah Pioglitazone, Rosiglitazone.



5.      Golongan penghambat alphaglukosidase
Yang termasuk dalam golongan ini adalah Akarbosa dan Miglitol yang bekerja dengan cara menghambat alphaglukosidase yang mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida, sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat.
Tabel 2.Penggolongan obat hipoglikemik oral
Golongan
Contoh Senyawa
Mekanisme Kerja
Sulfonilurea
Klorpropamid
Glibenklamida
Glipizida
Glikazida
Glimepirida
Glikuidon
Tolazalim
Tolbutamid
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik
Biguanida


Metformin
Fenformin
Buformin
Bekerja langsung pada hati (hepar),menghambat glukoneogenesis di hati dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.
Meglitinid


Repaglinid


Bekerja dengan cara mengikat reseptor sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive potassium chanel.
Tiazolidindion
Rosiglitazone
Pioglitazone
Meningkatkan kepekaan tubuh/sensitivitas terhadap insulin di jaringan perifer. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferators activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin
Penghambat enzim alfaglukosidase
Akarbosa
Miglitol
Menghambat kerja enzim alfaglukosidase yang mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida, sehingga memperlambat absorpsi glukosa kedalam darah

V. TERAPI KOMBINASI OBAT ANTIDIABETIK ORAL
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat anti diabetik oral (ODA) atau ODA dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat antidiabetik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.



Tabel 3.Terapi Kombinasi Obat Anti Diabetik Oral
DRUG
AVAILABLE DOSAGE STRENGTH
MAXIMUM DAILY DOSE
Glipizide/Metformin (Metaglip®, generic)
2.5 mg/250 mg, 2.5 mg/500mg,
5 mg/500 mg tablets
20 mg/2000 mg per day

Glyburide/ Metformin (Glucovance®, generic)
1.25 mg/250 mg,2.5mg/500mg,
5 mg/500 mg tablets
20 mg/2000 mg per day

Rosiglitazone/Metformin (Avandamet®)
2 mg/500 mg, 2 mg/1000 mg,
4 mg/500 mg, 4 mg/1000 mg tablet
8 mg/2000 mg per day

Pioglitazone/Metformin (ActoPlus Met®)
15 mg/500 mg, 15 mg/850 mg tablets
45 mg/2550 mg per day
Pioglitazone/Glimepiride (Duetact®)
30 mg/2 mg, 30 mg/4 mg tablets
30 mg/4 mg per day
Rosiglitazone/Glimepiride (Avandaryl®)
4 mg/1mg, 4 mg/2 mg, 4 mg/4 mg,8 mg/2 mg, 8 mg/4 mg tablets
8 mg/4 mg per day
Sitagliptin/Metformin (Janumet®)
50 mg/500 mg, 50 mg/1000 mg tablets





















Interaksi obat
Interaksi obat yang mungkin timbul dari pemakaian insulin dengan obat antidiabetik oral atau dengan obat yang lain dapat dilihat pada referensi yang lebih detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat-obat tersebut di bawah ini merupakan contoh obat-obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun obat antidiabetik oral yang diberikan.
Tabel 4.Obat yang dapat menyebabkan hiperglikemia
Alkohol (kronis)
Amiodaron
Asparaginase ++
Antipsikotik atipikal
Beta-agonis ++
Kafein
Calcium channel blockers +
Kortikosteroid +++
Siklosporin ++
Diazoxida +++
Estrogen +++
Fentanil
Alfa-Interferon
Laktulosa
Litium +
Diuretika tiazida +++
Niasin and asam nikotinat ++
Kontrasepsi oral ++
Fenotiazin +
Fenitoin ++

Amina simpatomimetik ++
Teofilin
Preparat Tiroid +
Antidepresan trisiklik















Keterangan (diadaptasi dari Bressler and DeFronzo, 1994):
+ kemungkinan bermakna secara klinis. Studi/laporan terbatas atau bertentangan.
++ bermakna secara klinis. Sangat penting pada kondisi tertentu.
+++ berpengaruh bermakna secara klinis.

Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea antara lain: insulin, alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, dikumarol, kloramfenikol, senyawa-senyawa penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat. Hormon pertumbuhan, hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan glukagon bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu,beberapa jenis obat seperti guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat,fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan pada periode yang sama.
Tabel 5.Obat yang dapat menyebabkan hipoglikemia
Asetaminofen
Alkohol (akut)
Steroid Anabolik
Beta-blockers
Biguanida
Klorokuin
Klofibrat
Disopiramida
Guanetidin
Haloperidol
Insulin
Litium karbonat

Inhibitor Monoamin oksidase
Norfloxacin
Pentamidin
Fenobarbital
Fenotiazin
Prazosin
Propoksifen
Kinin
Salisilat
Sulfonamida
Sulfonilurea
Antidepresant trisiklik

Drug-Drug Interactions
1.         Klorpropamid vs alkohol è efek disulfiram (efek antabuse)
            MK: proses perombakan enzimatis dari alkohol di hati akan terhambat pada fase asetaldehid, sehingga jumlah asetaldehid dalam darah meningkat. Efek yang terjadi berupa nyeri kepala, jantung berdebar, flushing, berkeringat.
   Rx : C2H5OH à CH3CHO à CH3COOH
   Peningkatan ini akan merangsang pelepasan prostaglandin.

2.         Sulfonilurea vs akarbose è meningkatkan efek hipoglikemi
            MK: sulfonilurea merangsang sel beta untuk melepaskan insulin yang selanjutnya akan merubah glukosa menjadi glikogen.
            Dengan adanya akarbose akan memperlambat absorbsi & penguraian disakarida menjadi monosakarida à insulin >> daripada glukosa à hipoglikema meningkat.

3.         Sulfonilurea vs antasid è absorbsi sulfonilurea meningkat
            MK: interaksi ini terjadi pada proses absorbsi, yaitu antasid akan meningkatkan pH lambung. Peningkatan pH ini akan meningkatkan kelarutan dari sulfonilurea sehingga absorbsinya dalam tubuh juga akan meningkat.

4.         Insulin vs CPZ è glukosa darah meningkat
            MK: CPZ akan menginaktivasi insulin dengan cara mereduksi ikatan disulfida sehingga insulin tidak dapat bekerja.
5.         Sulfonilurea vs Simetidin è hipoglikemi
            MK: simetidin menghambat metabolisme sulfonilurea di hati sehingga efek dari sulfonilurea meningkat.
6.         Sulfonilurea vs Alupurinol è hipoglikemi >>
            MK: Alupurinol meningkatkan t1/2 dari klorpropamid. Hipoglikemia dan koma dapat dialami oleh pasien yang mengkonsumsi gliclazide dan alupurinol.
7.         Antidiabetika vs Sulfonamida è peningkatan efek hipoglikemia.
            MK: Sulfonamida dapat menggantikan posisi dari sulfonilurea dalam hal pengikatan pada protein dan plasma sehingga sulfonilurea dalam darah meningkat.
8.         Gemfibrozil vs Glimepirid è hipoglikemi >>
            MK: Gemfibrozil menghambat metabolisme glimepirida pada sitokrom P450 dengan isoenzim CYP2C9 yang merupakan perantara metabolisme dari glimepirida dan antidiabetika golongan sulfonilurea lainnya seperti glipizida, glibenklamida & gliklazida sehingga efek hipoglikemi meningkat.
9.         Sulfonilurea vs kloramfenikol è hipoglikemi akut
            MK: kloramfenikol dapat menginhibisi enzim di hati yang memetabolisme tolbutamid dan klorpropamid. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi di dalam tubuh, waktu paruh akan semakin panjang.
10.     Sulfonilurea vs Probenesid è hipoglikemi
            MK: probenesid dapat mengurangi ekskresi renal dari sulfonilurea sehingga waktu paruhnya semakin panjang.


11.     Sulfonilurea vs Klofibrate è efek sulfonilurea meningkat dengan adanya klofibrate.
            MK: berdasarkan pemindahan sulfonilurea dari ikatan protein plasma, perubahan ekskresi ginjal dan penurunan resistensi insulin.
12.     ADO vs Diuretik Tiazid è meningkatkan kadar gula darah
            MK: berdasarkan penghambatan pelepasan insulin oleh pankreas.
13.     ADO vs Ca channel bloker è hiperglikemia
            MK: menginhibisi sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon, terjadi perubahan ambilan glukosa dari hati dan sel-sel lain, kadar glukosa dalam darah meningkat mengikuti pengeluaran katekolamin sesudah terjadinya vasodilatasi, dan perubahan metabolisme pada glukosa.
14.     Tolbutamid vs Sulfipirazone è Hipoglikemia
MK: sulfipirazone menghambat metabolisme tolbutamid di hati.
15.     Repaglinide vs Klaritromisin (makrolida) è efek repaglinide meningkat
MK: Klaritromisin menghambat metabolisme repaglinide dengan menginhibisi sitokrom P450 isoenzim CYP3A4.
16.     ADO vs SSRIs è Hipoglikemi
MK: Fluvoxamine menurunkan kliren dari tolbutamid dengan menghambat metabolismenya oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2C9, sehingga terjadi peningkatan kadar plasma. Sehingga efek hipoglikeminya meningkat.
17.     Pioglitazon vs kontrasepsi oral è mengurangi komponen hormon sampai 30%, berpotensi mengurangi efektivitas kontrasepsi.
            MK: pioglitazon menginduksi Sistem sitokrom P450 isoform CYP3A4 yang merupakan bagian yang bertanggung jawab terhadap metabolisme kontrasepsi, oleh karena itu obat-obat yang lainnya yang dipengaruhi oleh sitokrom P450 juga dapat berinteraksi.
18.     Rosiglitazon vs NSAID è resiko edema meningkat.
            MK: Rosiglitazon & obat-obat NSAID sama-sama sebabkan retensi cairan, sehingga kombinasi keduanya dapat meningkatkan resiko edema.

19.     Glibenklamid vs Fenilbutazon è Efek hipoglikemia glibenklamid diperpanjang.
            MK: Fenilbutazon menghambat ekskresi renal dari glibenklamid, sehingga dapat bertahan lebih lama dalam tubuh & memperpanjang t1/2 glibenklamid.
20.     Glibenklamid vs ocreotide è ocreotide memiliki efek hipoglikemia, sehingga dosis glibenklamid yang digunakan dapat dikurangi dosisnya.
   MK: ocreotide menginhibisi aksi dari glukagon.

INTERAKSI OBAT DENGAN MAKANAN
Obat-obat yang kita konsumsi dapat saling mempengaruhi yang dampaknya bisa negatif dan bisa juga positif bagi kesehatan. Saling pengaruh yang terjadi bila kita menggunakan lebih dari 1 macam obat disebut juga interaksi obat. Dalam praktek sehari-hari, interaksi obat jarang dikatakan sebagai akibat kegagalan pengobatan. Sesungguhnya pemberian obat kepada pasien yang terlampau banyak jenisnya, misalnya lebih dari 4 macam, sangat potensial menimbulkan efek yang tidak diinginkan akibat interaksi obat.
Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan. Kemungkinan terjadinya peristiwa interksi harus selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan secara bersamaan atau hampior bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa pengaruh yang merugikan, beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam praktek pengobatan.
Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi. Secara ringkas dampak negatif dari interaksi ini kemungkinan akan timbul sebagai:
-        Terjadinya efek samping
-        Tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi obat yaitu :
1.      Obat dengan indek terapi sempit.
2.      Obat yang mempunyai bioavaibilitas rendah.
3.      Formulasi obat.
4.      Stereokimia obat.
5.      Potensi obat.
6.      Obat yang mempunyai kurva dosis respon yang tajam / curam.
7.      Lama terapi / penggunaan obat.
8.      Dosis obat.
9.      Konsentrasi obat dalam darah dan jaringan (cairan tubuh).
10.  Waktu dan urutan penggunaan obat.
11.  Rute penggunaan obat
12.  Base line dari interaksi dan indek terapi.
13.  Jumlah obat yang mengalami metabolism.
14.  Kecepatan metabolisme obat
15.  Ikatan obat dengan protein
16.  Volume distribusi
17.  Problem farmakokinetik

Jenis interaksi ada 4 macam, yaitu interaksi obat – obat, Interaksi Obat – makanan, Interaksi Obat – penyakit, Interaksi Obat – Hasil lab. Disini akan dibahas lebih lanjut interaksi obat dengan makanan. Tipe interaksi ini kemungkinan besar dapat mengubah parameter farmakokinetik dari obat terutama pada proses absorpsi dan eliminasi, ataupun efikasi dari obat.
Pengaruh makanan atau minuman terhadap obat dapat sangat signifikan atau hampir tidak berarti, bergantung pada jenis obat dan makanan/minuman yang kita konsumsi. Selain itu harus pula dipahami bahwa sangat banyak faktor lain yang mempengaruhi interaksi ini, antara lain dosis obat yang diberikan, cara pemberian, umur, jenis kelamin, dan tingkat kesehatan pasien. Pengurangan penyerapan obat oleh tubuh dapat juga terjadi bila obat-obat ditelan bersama obat dan makanan yang mengandung kalsium, magnesium, aluminium dan zat besi.
Obat yang diberikan secara oral  akan melalui saluran pencernaan terlebih dahulu. Oleh karena itu hasil kerja obat di dalam tubuh manusia sangat mungkin dipengaruhi oleh makanan atau minuman yang dikonsumsinya. Mekanismenya bisa terjadi melalui penghambatan penyerapan obat atau dengan mempengaruhi aktivitas enzim di saluran cerna ataupun enzim di hati.
Ada 2 kemungkinan hasil interaksi obat dan makanan. Yang pertama interaksi obat dan makanan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat atau manfaat obat dan yang kedua dapat meningkatkan efek samping atau efek dari obat itu sendiri.
Hal-hal yang harus diingat tentang interaksi obat dan makanan antara lain:(1)(2)
1.      Bacalah aturan pakai pada kemasan obat
2.      Baca semua aturan, peringatan dan pencegahan interaksi yang ditulis pada label obat dan kemasan. Bahkan obat bebas pun dapat menyebabkan masalah.
3.      Gunakan obat dengan segelas air putih, kecuali dokter menyarankan cara pakai yang berbeda.
4.      Jangan mencampur obat ke dalam makanan/ minuman atau menmbuka cangkang kapsul karena dapat mempengaruhi khasiat obat.
5.      Jangan mencampur obat dengan minuman panas karena panas dapat mempengaruhi kerja obat.
6.      Jangan pernah minum obat dengan minuman beralkohol.
Berikut akan dibahas beberapa golongan obat yang akan berinteraksi dengan adanya makanan atau minuman. Golongan obat-obatan yang akan dibahas antara lain:
*      Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
*      Antihipertensi
*      Antiparkinson
*      Antikoagulan Oral
*      Immunosuppressant
*      Antiinflamasi Nonsteroid
*      Antibiotika
MONOAMIN OKSIDASE INHIBITOR (MAOI)
Monoammine oxydase inhibitors (MAOIs) adalah golongan obat antidepresan, yang digunakan untuk pengobatan depresi.
Mekanisme kerja dari enzim MAO (Monoamine oksidase) adalah membantu melepaskan ephinephrine, norephinephrine, dopamine, dan serotonin. Ketika monoamin oksidase dihambat, konsentrasi dari neurotrasnmitter meningkat. Obat-obat golongan MAOI masih sering digunakan untuk pengobatan depresi pada manusia.
Inhibitor monoamin oksidase bekerja menghambat penguraian noradrenalin endogen sehingga meningkatkan kadar noradrenalin di sistem saraf pusat dan di perifer. Selain itu, MAOI juga dapat menghambat penguraian tiramin. Simpatomimetika tak langsung seperti tirarnin membebaskan juga noradrenalin. Dengan adanya tiramin dan obat golongan MAOI dalam tubuh dapat mengakibatkan konsentrasi noradrenalin meningkat.
0507CNS_RTM_Slide10.jpg



Gambar 1. Mekanisme kerja obat golongan MAO
Obat-obat MAOI meliputi: (3)
·         phenelzine (Nardil®)
·         tranylcypromine (Parnate®)
·         selegiline (Eldepryl®)
·         isocarboxazid (Marplan®)
·         moclebemice (Manerix®)


Efek samping (4)
Mengantuk, konstipasi, muntah, diare, sakit perut, lelah, mulut kering, pusing, tekanan darah turun, pusing khususnya ketika posisi bangun dan duduk, menurunnya pengeluaran urin, menurunnya fungsi seksual, tidur terganggu, kejang otot, pandangan kabur, sakit kepala, menigkatnya nafsu makan, gelisah, menggigil, meningkatnya pengeluaran keringat.
Tabel 1. Interaksi yang terjadi antara obat MAOI dengan makanan(6)
Obat MAO inhibitor
Makanan tinggi tiramin
Hasil interaksi
Isocarboxazid (Marplan®)
Tranylcypromine sulfate (Parnate®)
Phenelzine sulfate (Nardil®)
Keju (cheddar), Hati ayam
Minuman cola, Makanan kaleng (daun/sayuran), Pisang
Bir, Buncis
Kafein, Ekstrak ragi
Daging, Coklat
Ikan kecil, Ikan asin/yg diawetkan, Alpukat, Jamur
Kismis, Sosis (peperoni)
Sour cream, Saus kedelai
Wine: Chianti, Minuman anggur
Makanan yang mengandung tiramin jika dikombinasi dengan obat MAO inhibitor dapat menyebabkan sakit kepala yang hebat, palpitasi, mual, muntah, dan peningkatan tekanan darah. Berpotensi mengakibatkan stroke mematikan dan serangan jantung.





MAOI.jpg
 






Gambar 2. Mekanisme interaksi obat golongan MAOI dengan adanya makanan yang mengandung tiramin

ANTIPARKINSON
Mekanisme Kerja :  
1.      Dopaminergik Sentral
Pengisian kembali kekurangan DA (Dopamin) korpus stratium
2.      Antikolinergik Sentral
Mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan di ganglia basal
3.      Penghambat MAO-B
Menghambat deaminase dopamin sehingga kadardopamin di ujung saraf dopaminergik lebih tinggi.

Tabel 2. Interaksi yang terjadi antara obat Antiparkinson dengan makanan(6)
Nama Obat
Makanan
Hasil Interaksi
  Methionine
  tryptophan
  phenylalanine
  Bendopa
  Dopar
  Larodopa
  Sinemet
Daging dan hati
Biji gandum
Ragi
Makanan tambahan atau Suplemen vitamin seperti vitamin B6
Makanan yang tinggi protein
Vitamin B6 menghilangkan aktivitas dari L-dopa dalam mengobati gejala penyakit parkinson. Diet protein yang berlebihan dapat menghambat L-dopa mencapai otak.

ANTIHIPERTENSI
Mekanisme Kerja :
1.      Penghambat ACE
            Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.
2.      Diuretik
            Meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstra sel.
3.      Vasodilator
            Melepaskan nitrogen oksida yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir defosforilasi berbagai protein, termasuk protein kontraktil, dalam sel otot polos.

Tabel 3. Interaksi yang terjadi antara obat Antihipertensi dengan makanan(6)
Nama Obat
Makanan
Hasil Interaksi
Enalapril
Captopril
Calan-SR
Capoten
Inderal
Lopressor
Vasotec
Imidapril
Spironolacton
Sejenis gula-gula yang dibuat dari Succus liquiritae
makanan yang banyak mengandung garam
Komponen yang terdapat dalam akar licorice alami menyebabkan retensi garam dan air yang dapat meningkatkan tekanan darah.

ANTIKOAGULAN ORAL
 Mekanisme kerja:(5)
Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K adalh kofaktor yang berperan dalam aktivasi factor pembekuan darah II, VII, IX, X yaitu dalam mengubah residu asm glutamate menjadi residu asam gama karboksiglutamat. Untuk berfungsi vitamin K mengalami siklus oksidasi dan reduksi di hati. Antikoagulan oral mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivasi factor-faktor pembekuan darah terganggu/tidak terjadi.
Tabel 4. Interaksi yang terjadi antara obat Antikoagulan Oral dengan makanan(6)
Obat
Makanan
Mekanisme Interaksi
Warfarin
Alkohol

Peminum alkohol berat dapat menstimulasi enzim hepatik yang terkait dengan metabolisme dari warfarin, menyebabkan warfarin cepat dieliminasi, sebagai hasil dari t ½ yang pendek
Vitamin C dosis tinggi
Mencegah absorspsi antikoagulan
cranberry juice

Kemungkinan dari kompisisi  cranberry juice (mungkin flavonoid, diketahui bahwa menghambat kerja sitokrom P450) menghambat metabolisme warfarinàmenurunkan Cl, meningkatkan efek
Jahe
Jahe menghambat agregasi platelet
Gingseng
Penggunaan bersama dengan gingseng kadang-kadang terjadi perdarahan, hal ini disebabkan karena gingseng mengandung komponen antiplatelet
Rokok
Komponen dari roko menginduksi/menstimulasi enzim hati , yang mana meningkatkan sedikit metabolisme warfarinàmenurunkan kerja warfarin
Vitamin E
Pemberian vitamin E sebesar 1200UI setiap hari selama 2 bulan àmenyebabkan perdarahan
Pemberian 800UIàmenurunkan faktor pembekuan darah dan menyababkan perdarahan
Dikumarol
Vitamin E
Pemberian vitamin E 42 UI setiap hari selam 1 bulanàmenurunkan efek dikumarol setelah 36 jam
Antikoagulan
natto (makanan jepang yang terbuat dari fermentasi kacang kedelai, dapat menurunkan efek dari warfarin)
pada proses pencernaan,aktivitas Bacillus natto di dalam natto pada usus hewan yang menyebabkan peningkatan sintesis dan kemudian peningkatan absorbsi vitamin K 
Acenocoumarol
Dicoumarol
Warfarin
makanan dan minuman:
Makanan
Grapefruit juice
Avocado, ice-cream, kacang kedelai
- Makanan àmemperpanjang retensi dikumarol dengan makanan-makanan bagian usus
- Protein dari kacang kedelaià meningkatkan aktivitas vitamin K pada reseptor dibagian hatiàmenurunkan efek dari warfarin
- Alpukat yang mengandung sedikit vitamin K (8µg/100g) mempengaruhi warfarin dengan inhibisi kompetitif
- Grapefruit juice àmeningkatkan kelemahan efek inhibitor jus anggur pada aktivitas sitokrom isoenzim P450 CYP3A4 dalam usus.
Antikoagulan
Makanan mngandung
 vitaminK: Hati sapi; Kubis, kol; Minyak; Kol cina ; Sayuran hijau ; Bayam
Vitamin K menaikkan bekuan darah. Dengan adanya makanan ini, efek dari antikoagulan, pengencer darah menjadi menurun

IMMUNOSUPPRESSANT
Mekanisme kerja:
 Kerja dari obat-obat golongan immunosuppressan adalah menghambat atau mencegah aktifitas sistem imun.


Tabel 5. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat
Mekanisme kerja
Makanan
Efek yang dihasilkan
Ciclosporin
Penghambatan selektif sel T, menurunkan produksi dan pelepasan limfokin serta menghambat ekspresi interleukin 2.
Makanan
Susu
Grapefriut juice
Red wine
St John’s wort (Hypericum perforatum)
Vitamin E
Makanan, susu dan grapefruit juice bisa meningkatkan bioavaibilitas ciclosporin.
Red wine menurunkan bioavailabilitas ciclosporin
Menyebabkan penurunan kadar ciclosporin dalam serum dan terjadi penolakan organ jika digunakan dalam beberapa minggu pertama trnsplantasi.
Meningkatkan absorbsi  ciclosporin
Keterangan:
      ciclosporin dimetabolisme oleh cytochrome P450 3A4. Penggunaan bersama ciclosporin dengan inhibitor cytochrome P450 3A4 dapat menimbulkan peningkatan kadar ciclosporin  dalam plasma. Besarnya interaksi dan efek potensi bergantung pada efek variabilitas cytochrome P450 3A4.
      Grapefruit juice (naringin flavanoid) diperkirakan  menghambat aktivitas dari citokrom p450  isoenzyme CYP3A (metabolisme) pada dinding usus dan hati sehingga kadar ciclosporin menjadi lebih tinggi , terutama dengan konsumsi grapefruit juice yang berlebihan (>1,2 liter/hari)
      jus grapefruit mengandung bahan utama naringin, yang memberi rasa kecut serta aroma khas. Naringin inilah yang diduga memblok "transporter" obat yang dinamakan OATP1A2 yang mengangkut bahan aktif obat dari usus kecil ke pembuluh darah. Pemblokiran transporter ini mengurangi absorpsi obat dan menetralisasi potensi manfaatnya.
      Antioksidan (resveratol) pada red wine dapat menginaktivasi CYP3A4 sehingga bisa meningkatkan kadar ciclosporin, namun red wine juga menurunkan solubilitas ciclosporin dengan cara membentuk ikatan ciclosporin-red wine pada saluran  gastrointestinal sehingga berpotensi menurunkan bioavaibilitas ciclosporin.

Tabel 6. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat
Mekanisme kerja
Makanan
Efek yang dihasilkan
takrolimus
menghambat transkripsi gen pembentuk sitokin pada limfosit T, menghambat pelepasan histamin melalui mekanisme anti-IgE.
St.john’s wort

Grapefruit juice
Menurunkan kadar takrolimus

Meningkatkan kadar takrolimus
Keterangan :
  • Makanan yang dapat menimbulkan interaksi dengan takrolimus adalah St.john’s wort, efek yang dihasilkannya dapat menurunkan kadar takrolimus. Cytochrome P450 3A4 adalah enzim yang memetabolisme takrolimus.  St john’s wort bekerja dengan cara meninduksi (cytochrome P450 3A4) sehingga kadar takrolimus dalam darah menurun.
  • Sedangkan Grapefruit juice dapat meningkatkan kadar takrolimus Grapefruit juice (naringin flavanoid) diperkirakan  menghambat aktivitas dari citokrom p450  isoenzyme CYP3A (metabolisme) pada dinding usus dan hati sehingga kadar takrolimus menjadi lebih tinggi.

ANTIINFLAMASI NONSTEROID (AINS)
Mekanisme kerja utama kebanyakan NSAID adalah menghambat sintesis prostaglandin melalui pengharnbatan enzim siklooksigenase.

Gambar 3. Bagan penghambatan obat antiradang terhadap pembentukan metabolit-metabolit radang.(7)
·         Aspirin atau derivat salisilat dengan makanan à Hindari makanan bersamaan dengan analgesik karena menghambat absorpsi aspirin.
Asam asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid, non-narkotik (Reynolds, 1982). Kerja utama asam asetilsaIisilat dan kebanyakan obat antiradang nonsteroid lainnya sebagai penghambat enzim siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis rostaglandin akan terhenti (Mutschler, 1991; Campbell, 1991). (7)
Bukti klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah studi pada 25 sukarelawan diberikan 650 mg aspirin dalam 5 preparasi aspirin yang berbeda menunjukkan bahwa makanan “roughly halved” pada tingkat serum salisilat ketika diukur pada 10 dan 20 menit selanjutnya, dibandingkan dengan ketika dosis yang sama diambil pada keadaan puasa. Hasil serupa ditemukan pada percobaan pada sukarelawan yang diberikan 1500 mg kalsium aspirin. Pada percobaan lain terhadap 8 sukarelawan yang diberikan aspirin effervescent, level serum salisilat mereka secara perlahan terhambat dengan adanya makanan pada 15 menit, namun hampir sama setelah 1 jam. Alasan yang mungkin untuk mengurangi absorpsi yakni aspirin diadsorbsi oleh makanan. Makanan juga menghambat pengosongan lambung. Maka jika diperlukan efek analgesik yang cepat, aspirin harus diberikan tanpa makanan, tapi jika aspirin dibutuhkan untuk jangka waktu lama, maka dengan adanya makanan dapat membantu untuk melindungi mukosa lambung.

·         Dekstropropoksifen (propoksifen) dengan makanan à Makanan dapat menghambat absorpsi dekstropropoksifen, tapi secara total absorpsi justru meningkat.
Bukti klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah studi pada subjek sehat dalam keadaan puasa, kadar plasma puncak dekstropropoksifen telah dicapai dalam 2 jam, lemak kadar tinggi dan karbohidrat kadar tinggi menghambat level serum puncak menjadi 3 jam dan protein tinggi menjadi 4 jam. Pada kedua protein dan karbohidrat (makanan kecil) menyebabkan sedikit peningkatan total dari jumlah propoksifen yang diabsorpsi. Kemungkinan alasan keterlambatan penyerapan adalah makanan menghambat pengosongan lambung dan kemungkinan juga secara fisik mencegah dekstropropoksifen kontak dengan permukaan usus. Hindari makanan, jika diperlukan efek anlgesik yang cepat.
ANTIBIOTIKA
Antibiotik merupakan substansi kimia yang diproduksi oleh berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes), mampu menekan pertumbuhan mikroba lain dan mungkin membinasakan.
Mekanisme kerja antibiotik:(8)
Antibiotik dapat menghambat pertumbuhan mikroba melalui beberapa mekanisme yang berbeda, diantaranya adalah dengan cara:
1. Menghambat sintesis dinding sel mikroba.
2. Mengganggu membran sel mikroba.
3. Menghambat sintesis protein dan asam nukleat  mikroba.
4. Mengganggu metabolisme sel mikroba.
INTERAKSI OBAT-OBAT PARKINSON
Penyakit Parkinson merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai empat gejala pokok: bradikinesi (lambat untuk memulai gerakan), rigiditas otot, resting tremor ( tremor saat istirahat) serta abnormalitas sikap tubuh dan berjalan (Cedarbaum dan Schleifer, 1992). Sindrom ini pertama kali diutarakan oleh James Parkinson tahun 1817 yang dikenal sebagai  paralysis agitans atau shaking palsy,yang merupakan penyakit neurodegenerative sebagai penyebab umum sindrom ini. Diduga penyakit Parkinson (Parkinsonisme) merupakan 1-2 % dari kelainan neurologi (Mc Dowel,1981).
Penyakit Parkinson mempunyai dua bentuk pokok, yaitu :
1.      Parkinsonisme idiopatik (paralisis agitans)
2.      Parkinsonisme simptomatik, akibat cedera kepala atau penyakit. Manifestasi klinis seperti ini dapat diakibatkan oleh aterosklerosis serebri, cedera kepala, infeksi (termasuk neurosifilis), keracunan atau Mangan.

Penyebab penyakit Parkinson, menurut Calne (1980) ialah :
1.      Obat-obat ( reserpin, tetrabenozine, fenotiazin seperti klorprolazin, butirofenon seperti haloperidol, difenilbutilpiperidin seperti pinozoid, antidepresan trisiklik, prokain dan diazoksid).
2.      Bahan toksik (Cd, Mangan)
3.      Infeksi (ensefalitis, sifilis)
4.      Tumor
5.      Infark
6.      Predisposisi genetic

Sebagian besar pasien merupakan Parkinsonisme idiopatik. Didapat inclusion neural yang disebut : Lewy bodies. Lesi patologiknya luas tapi hampir selalu melibatkan substansia nigra dan g nglia basal.
Gejala pokok penyakit Parkinson ialah: tremor, rigiditas dan hipokinesia. Gambaran klinis dari penyakit Parkinson termasuk adanya kelainan ekspresi fasial, postur, cara melangkah (gait), attitude dan gerakan serta rigiditas dan tremor (Walton,1982).
ü  Tahapan 1 : gejala begitu ringan sehingga pasientidak merasa terganggu.
ü  Tahapan 2 : gejala ringan dan mulai sedikit mengganggu.
ü  Tahapan 3 : gejala bertambah berat.
ü  Tahapan 4 : tidak mampu lagi berdiri tegak, kepala, leher dan bahu jatuh kedepan.
ü  Memburuknya gejala, menimbulkan keputusasaan.

A.    Mekanisme Kerja Obat Parkinson
v  Agonis dopamine
Agonis dopamine secara langsung mengaktivasireseptor-reseptor dopamine pada saraf-saraf postsinaptik sehingga terjadi stimulasi reseptor-reseptor tersebut sama sepertiapabila reseptor berikatan dengan dopamine.
v  Antikolinergik
Memblok aktivitaseksitatorik yang meningkat dari sambungan antar neuron yang bersifat kolinergik pada jalur keluaran dari ganglia basal, yang secara tidak langsung terjadi akibat hilangnya kerja inhibitorik dopamine pada sambungan antarneuron tersebut
v  Levodopa
Levodopa akan di dekarboksilasi à dopamine à jumlah neurotransmitter dopamine bertambah àstimulasi reseptor dopamine sentral & perifer
Pada SSP dan ditempat lainnya, levodopa diubah oleh 1-asam amino dekarboksilase (1-AAD) menjadi dopamine. Dijaringan perifer 1-AAD dapat diblok dengan cara memberikan karbidopa, yang tidak dapat menembus sawar otak, oleh karena itu karbidopa meningkatkan penetrasi levodapa eksognus trsebut serta menurunkan efek samping (misal : mual, muntah, aritmia jantung, mimpi buruk, hipotensi postural) akibat metabolisme levodopa perifer menjadi dopamine. 
v  Inhibitor MAO-B
MAO-B inhibitor akan menghambat secara irreversible enzim monoamine oksidase B yang mrupakan enzim penting dalam metabolisme dopamine.
Blockade metabolisme MAO-B akan menyebabkan lebih banyak inhibitor yang tersedia untuk menstimulasi reseptor-reseptor dopamin
v  Inhibitor COMT
Memblok jalur alternative pada mtabolisme dopamine. Memperpanjang waktu paruh dopamine sehingga memperpanjang durasi dan aksi dopamine.

INTERAKSI OBAT ANTI PARKINSON
1.      Levodopa + Antasid
Antasid tidak berinteraksi secara signifikan dengan levodopa, walaupun ada beberapa kejadian ada beberapa kejadian bahwa antacid mengurangi bioavailabilitas levodopa.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa dan penundaan pengosongan lambung dapat menyebabkan kadar levodopa dalam plasma rendah, hal ini disebabkan karena levodopa dapat dimetabolisme di dalam pencernaan.
                    
2.      Levodopa + Antikolinergik
Antikolinergik sangat luas penggunaannya dengan levodopa. Antikolinergik dapat mengurangi penyerapan levodopa sehingga dapat mengurangi efek sampai tingkat tertentu.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa, antikolinergik dapat menyebabkan penundaan pengosongan lambung sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar levodopa dalam plasma karena metabolism di mukosa lambung menjadi lebih lambat.

3.      Levodopa + Antiemetik (Metoklopramid)
Metoklopramid dapat meningkatkan efek dari levodopa
Mekanisme :
Metoklopramid merupakan antagonis dopamine yang dapat menyebabkan gangguan extrapiramidal (gejala Parkinson). Pada sisi lain metoklopramid merangsang pengosongan lambung yang dapat meningkatkan bioavaibilitas levodopa.

4.      Levodopa + Antipsikosis (Phenotiazin & Butirofenon)
Phenotiazin (eg. Chlorpromazin) dan Butirofenon (eg.Haloperidol) memblok reseptor dopamine di otak dan mempengaruhi pengembangan extrapiramidal (gejala Parkinson)

5.      Levodopa + Baclofen
Menyebabkan efek samping yang tidak menyenangkan (halusinasi, bingung, sakit kepala, mual) dan memeperburuk gejala Parkinson.

6.      Levodopa + Benzodiazepin
Menyebabkan efek terapeutik levodopa berkurang karena penggunaan bersama dengan chlordiazepoxid, diazepam atau nitrazepam

7.      Levodopa dengan anastetik
Anestetik : meningkatkan potensi aritmia, jika levodopa diberikan bersamaan dengan cairan anestetik umum yang diuapkan (inhalasi)

8.      Levodopa dengan anti depresan
Resiko terjadi krisis hipertensi jika levodopa diberikan bersamaan dengan penghambat MAO, meningkatkan resiko efek smping jika levodopa diberikan bersama dengan moklobemid

9.      Levodopa dengan piridoksin
Dapat menurunkan jumlah levodopa yang melewati sawar otak.
Mekanisme : Dalam jumlah yang kecil (lebih dari 5 mg) piridoksin sudah dapat meningkatkan dekarboksilasi levodopa di perifer, akibatnya levodopa yang mencapai jaringan otak berkurang

10.  Amantadin + Cotrimoxazol
Dapat meningkatkan kekacauan mental akut pada pasien usia lanjut, namun bersifat reversible

11.  Amantadin + Quinin & Qunidin
Pada kadar 200 mg quinine atau quinidin dapat mengurangi metabolisme amantadin berturut-turut sebanyak 36 %.

12.  Amantadin + Thiazid
Menyebabkan ataksia (kehilangan keseimbangan tubuh), gelisah dan halusinasi berkembang tidak lebih.

13.  Bromokriptin + Antibiotik Makrolide
Menghambat metabolism bromokriptin oleh hati sehingga ekskresinya menurun dan konsentrasinya tinggi dalam serum darah

14.  Levodopa + Entacapone
Entacapone meningkatkan kadar plasma  dan bioavailabilitas levodopa, sehingga meningkatkan efek terapi pada pasien penyakit Parkinson. Akan tetapi peningkatan ini disertai dengan meningkatnya efek samping levodopa (contoh: diskinesia), sehingga disarankan bahwa saat mulai digunakan entacapone, dosis levodopa sebaiknya dikurangi sekitar 10 sampai 30% (termasuk pada hari atau minggu pertama pemakaian) untuk menghindari potensi terjadinya efek samping tersebut.
15.  Levodopa + Fluoxetine
Penggunaan fluoxetine untuk mengobati depresi yang terkait dengan penyakit parkinson umumnya bermanfaat bagi pasien yang diterapi dengan levodopa untuk mengobati penyakit tersebut. Meskipun demikian, terkadang gejala parkinsonian justru semakin memburuk. Gejala ekstrapiramidal jarang terjadi namun diduga gejala tersebut merupakan efek samping fluoxetine.

16.  Levodopa + Isoniazid
Tidak terdapat bukti bahwa isoniazid dapat menurunkan efek levodopa pada penderita Parkinson. Dilaporkan pula bahwa penggunaan isoniazid bersama dengan levodopa dapat menyebabkan terjadinya hipertensi, takikardi, flushing dan tremor pada pasien.
17.  Levodopa + Metildopa
Metildopa dapat meningkatkan efek levodopa sehingga perlu dilakukan penurunan dosis pada beberapa pasien, akan tetapi di sisi lain hal ini dapat pula menyebabkan terjadinya diskinesia  yang semakin buruk. Dapat pula terjadi efek peningkatan hipotensi yang kecil.
18.  Levodopa + Mirtazapine
Suatu laporan menjelaskan mengenai psikosis serius yang disebabkan oleh interanksi antara levodopa dan mirtazapine. Hal tersebut terjadi dikarenakan psikosis yang diinduksi dopamine dicetuskan oleh efek aditif mirtazapine pada levodopa.
19.  Levodopa atau Whole broad beans + Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
Reaksi hipertensi yang cepat, serius dan mengancam jiwa dapat terjadi pada pasien pengguna MAOI non selektif ireversibel apabila diberikan levodopa atau apabila mereka memakan whole broad beans yang mengandung dopa pada cangkang atau kulitnya. Diragukan adanya interaksi yang terjadi antara sediaan levodopa  yang mengandung carbidopa atau benserazide (Sinemet, Madopar). Tidak terjadi reaksi hipertensi serius yang dilaporkan telah terjadi pada penggunaan MAO-A inhibitor selektif seperti moclobemide, dan interaksi akut yang serius pada penggunaan selegiline, MAO-B inhibitor selektif.
(a)    Levodopa + MAOI non-selektif, ireversibel
Pasien yang setiap hari mengkonsumsi phenelzine selama 10 hari diberikan 50 mg levodopa secara peroral. Hanya dalam waktu beberapa jam menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan darah dari 135/90 menjadi sekitar 190/130 mmHg, dan walaupun dengan penyuntikan 5 mg phentolamine secara iv, tekanan darah meningkat sampai 200/135 mmHg sebelum akhirnya turun kembali setelah penyuntikan 4 mg phentolamine berikutnya. Hari berikutnya percobaan dilanjutkan dengan pemberian 25 mg levodopa, akan  tetap tampak terjadinya peningkatan tekanan darah. Tiga minggu setelah penghentian phenelzine, pemberian levodopa sampai 500 mg tidak memberikan efek hipertensi.

Kasus hipertensi akut yang serupa biasa disertai dengan flushing, throbbing, dan pounding pada kepala, leher, dada dan sakit kepala ringan dilaporkan terjadi pada penggunaan levodopa bersama dengan pargyline, nialamide, tranylcypromine, phenelzine dan isocarboxazid.

(b)   Whole broad beans + MAOI non-selektif, ireversibel
Reaksi seperti hipertensi dilaporkan terjadi pada pasien yang menggunakan MAOI non-selektif, ireversibel yang juga mengkonsumsi whole broad beans (Vicia alba) atau polong utuh yang masih berkulit, karena pada kulitnya mengandung dopa akan tetapi tidak pada polongnya. Termasuk di dalam interaksi ini adalah pargyline dan phenelzine.

(c)    Levodopa + MAO-A inhibitor selektif (Moclobamide)
Sebuah penelitian pada 12 orang sehat yang diberikan dosis tunggal Madopar (levodopa + benserazide) dengan 200 mg moclobemide dua kali sehari melaporkan bahwa objek percobaan menderita mual, muntah dan peningkatan dizziness, akan tetapi reaksi peningkatan tekanan darah yang signifikan tidak terlihat.

(d)   Levodopa + MAO-B inhibitor selektif (Selegiline)
Kombinasi levoopa dan seleginine telah digunakan secara luas. Tidak terjadi reaksi hipertensi yang serius pada penggunaan MAOI non-selektif. Tidak ada interaksi farmakokinetik yang dilaporkan, dan interaksi serius jarang terjadi. Beberapa penelitian melaporkan efek kombinasi yang menguntungkan pada kombinasi tersebut, akan tetapi dikatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan mortalitas. Retensi urinasi juga diasosiasikan pada penggunaan kombinasi obat ini.

Mekanisme
Keseluruhan levodopa dikonversi secara enzimatis di dalam tubuh, pertama menjadi dopamine, dan kemudian menjadi noradrenalin (norepinefrin), keduanya akan dirusak oleh monoamine oksidase. Akan tetapi dengan adanya MAOI efek penghancuran tersebut dapat terhambat, sehingga kadar plasma dopamine dan noradreanalin akan meningkat. Bagaimana tepatnya hal tersebut dapat meningkatkan tekanan darah secara tajam belum jelas, akan tetapi baik dopamine maupun noradrenalin akan secara langsung menstimulus reseptor alfa pada sistem kardiovaskular

20.  Levodopa + Papaverin
Bukti Klinis :
(a)    Penurunan efek levodopa
Seorang wanita dengan parkinsonisme diterapi menggunakan levodopa (yang selanjutnya dilakukan penambahan carbidopa), mulai menunjukkan parkinsonisme yang semakin memburuk dalam satu minggu saat diberikan 100 mg papaverin setiap hari untuk mengobati insufisiensi pembuluh serebral.  Kondisi tersebut tetap tampak bahkan setelah penghentian papaverin. Respons normal terhadap levodopa kembali pulih setelah satu minggu. Empat pasien lainnya juga menunjukkan respons serupa.

(b)   Efek levodopa tetap
Sebuah studi acak ganda  (double blind crossover) dilakukan pada 9 pasien parkinsonisme yang diobati menggunakan levodopa (antara 100 sampai 750 mg per hari) dan inhibitor dopa-dekarboksilase. Dua di antaranya juga manggunkan bromocriptine 40 mg per hari dan triheksilphenidyl (benzhexol) 15 mg per hari.

Mekanisme
Papaverin memblok reseptor dopamine pada otak, sehingga menghambat efek levodopa. Selain itu papaverim memiliki aktivitas mirip-reserpin pada vesikel di neuron adrenergik (yang dapat menurunkan simpanan katekolamin).

21.  Levodopa + Penicillamine
Penicillamine dapat meningkatkan kadar plasma levodopa pada beberapa pasien. Hal ini dapat meningkatkan terapi pada parkinsonisme, akan tetapi ROTD levodopa juga dapat meningkat.

Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen.
Pasien parkison mengalami peningkatan kadar plasma levodopa sebesar 60% setelah pemberian 600 mg penicillamin per hari. Hal ini menyebabkan meningkatnya terapi akan tetapi diikuti pula oleh diskinesia. Diperhatikan bahwa pasien perlahan-lahan mengalami penurunan kadar tembaga (copper) dan ceruloplasmin plasma. Hal ini disebabkan karena terjadinya efek kelasi tembaga oleh penicillamine. Penicillamine dapat ,mempengaruhi farmakokinetik levodopa.

Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen
Seorang pasien (yang sangat sensitif terhadap levodopa) ditemukan bahwa pasien tersebut dapat mencegah pergerakan involunter dari lidah, leher dan lengan yang disebabkan oleh levodopa (125 mg). Pasien tersebut dapat menekan efek samping levodopa dengan menggunakan fenilbutazon. Fenilbutazon juga menurunakan efek terapi dari levodopa.

Efek terapi levodopa dikurangi atau dihilangkan dengan adanya fenitoin.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen
Suatu studi pada pasien yang menggunakan levodopa 630 hingga 4600 mg, ditemukan bahwa jika dilakukan pemberian bersama dengan fenitoin (dosis 500 mg per hari selama 5 sampai 19 hari) maka dapat menghilangkan efek dyskinesia, tetapi efek menguntungakan dari levodopa untuk penyakit parkinson juga berkurang atau hilang

Efek levodopa berkurang atau hilang pada penggunaan bersama dengan piridoksin tetapi interaksi ini tidak terjadi jika levodopa diberikan bersama dengan carbidopa atau benserazide (misal :. Sinemet, Madopar).
Bukti Klinis
(a) Levodopa
Suatu studi pada 25 pasien yang diobati dengan levodopa menunjukkan bahwa jika mereka diberikan piridoksin dosis tinggi (750 hingga 1000 mg per hari),efek levodopa benar-benar hilang dalam 3 sampai 4 hari, dan beberapa penurunan efek dalam 24 jam. Dosis harian 50 hingga 100 mg piridoksin juga mengurangi atau menghilangkan efek dari levodopa, dan peningkatkan tanda dan gejala parkinson terjadi 8 dari 10 pasien yang menggunakan 5 sampai 10

Mekanisme

Konversi levodopa menjadi dopamine di dalam tubuh membutuhkan adanya pyridoxal-5-phosphate (berasal dari pyridoxine) seagai kofaktor.jika konsumsi piridoksin tinggi, maka metabolisme perifer levodopa di luar otak meningkat sehingga hanya sedikit yang dapat masuk ke dalam susunan saraf pusat. Pyridoksin juga dapat menyebabkan metabolisme levodopa dengan Schiff-base formation. Adanya inhibitor dopa-decarboxylase seperti carbidopa atau benserazide, metabolisme perifer levodopa diturunkan dan levodopa dapat masuk ke susunan saraf pusat dalam jumlah yang lebih besar.

Efek levodopa diantagonis dengan penggunaan alkaloid rauwolfia seperti reserpine.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen
Reserpine dan alkaloid rauwolfia lain menurunkan miniamin di dalam otak, termasuk dopamine, sehingga menurunkan efeknya. Hal ini dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan parkinson, dan dapat mengantagonis efek dari levodopa.

Level plasma carbidopa diturunkan dengan penggunaan spiramycin, oleh karena itu dapat menurunkan efek terapeutiknya.

Bukti Klinis

Observasi pada pasien Parkinson yang menggunakan levodopa/carbidopa (Sinemet) menjadi sedikit tidak terkontrol jika diberikan bersama dengan spiramisin. Studi dilanjutkan pada 7 orang sehat yang diberikan 250 mg levodopa dengan 25 mg carbidopa. Setelah menggunakan spiramisin 1 g dua kali sehari selama 3 hari, AUC dari levodopa turun 57%, sementara level maksimum plasma turun dari 2162 menjadi 1680 nanograms/ml (tidak signifikan). Kerelativan ioavailabilitas levodopa hanya 43%.

Mekanisme
Spiramycin menurunkan absorpsi carbidopa, dengan membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi di dalam usus atau dengan meningkatkan transit di dalam usus. Sehingga carbidopa yang diabsorpsi tidak mencukupi, sehingga efek levodopa turun.
Semakin memburuknya parkinson pada pasien yang diberikan tacrin. Efek levodopa diantagonis ketika dosis takrin meningkat
Bukti Klinis
Parkinson ringan pada wanita tua yang juga menderita Alzheimer semakin memburuk, terjadi tremor yang parah, stiffness dan disfungsi gait (cara berjalan) dalam waktu 2 minggu saat meningkatkan dosis takrin dari 10 mg menjadi 20 mg empat kali sehari.

Mekanisme

Parkinsson disebabkan karena ketidakseimbangan antara dua neurotransmiter (dopamine and acetylcholine) di dalam basal ganglia otak. Tacrine (antikolinesterase sentral) meningkatkan jumlah asetilkolin di dalam otak, yang dapat menyebabkan eksaserbasi gejala parkinson.
Terjadi efek hipertensif ketika imipramine atau amitriptyline digunakan bersama dengan Sinemet.

Bukti Klinis
Adanya hipertensi (tekanan darah 210/110 mmHg) yang berhubungan dengan agitasi, tremor dan rigidity terjadi pada wanita uang menggunakan 6 tablet of Sinemet (levodopa 100 mg + 10 mg carbidopa) per hari, kemudian hari berikutnya pasien tersebut menggunakan imipramin 25 mg tiga kali sehari. Saat penggunakan imipramin dihentikan, pasien tersebut kembali pada keadaan nornal setelah 24 jam. Reaksi serupa terjadi lagi saat pasien tersebut meminum 25 mg amitriptyline tiga kali sehari. Reaksi hipertensif yang mirip (meningkat dari 190/110 menjadi 270/140 mmHg) terjadi dalam waktu 34 jam pada pasien lain yang mengkonsumsi amitriptyline 20 mg pada malam ketika diberikan setengah tablet Sinemet dan 10 mg metoclopramide tiga kali sehari.

Mekanisme
Tidak diketahui. Usus halus merupakan tempat absorpsi utama dari levodopa. Menunda efek pengosongan lambung yang dapat disebabkan oleh antikolinergik, nampak adanya penurunan lebel plasma levodopa, karena mukosa lambung memetabolisme levodopa.

29.  Lisuride + berbagai macam obat
Eritromisin dan makanan dapat bereaksi secara klinik dengan lisuride. Antagonis dopamine dapat diperkirakan mengurangi efek dari lisuride, dan lisuride dapat memperburuk efek dari obat-obt psikotropik.

Bukti Klinis
Terhadap 12 orang sehat, lisuride dengan dosis 200 mcg secara oral atau 50 mcg secara iv diberikan 30 menit setelah penggunaan eritromisin (dosis tidak diketahui) sehari 2 kali selama empat hari. Lalu pada 30 orang sehat lainnya diberikan 200 mcg lisuride secara oral dalam keadaaan puasa atau terdapat makanan. Maka dapat terlihat eritromisin dan makanan dapat merubah farmakokinetik dan farmakokinetik dari lisuride.
Lisuride merupakan agonis dopamine, maka obat-obat antagonis dopamine seperti haloperidol, sulpirirde dan metoklopramid dapat melemahkan efek obat-obat psikotropik.

30.  Piribedil + Clonidine
Clonidine dapat dilaporkan, bahwa efeknya melawan efek yang dihasilkan dari piribedil.
           
Berdasarkan pengamatan pada 5 pasien yang mengkonsumsi piribedil bersamaan dengan clonidine (1,5 mg perhari untuk 10-24 hari) dapat memperburuk proses Parkinson. Maka, penggunaan obat antikolinergik dapat mengurangi dengan efek dari interaksi tersebut.

31.  Pramipexole + berbagai macam obat
Cimetidine, Probenecid dan amantadine dapat mengurangi clearance pramipexole dari dalam tubuh. Pramipexole tidak diharapkan berinteraksi dengan obat-antikolinergik, levodopa (pengurangan dosis mungkin diperlukan) atau selegine, tetapi penggunaannya harus diperhatikan jika obat tersebut dikombinasikan dengan obat antipsikotik.

Berdasarkan pengamatan terhadap 12 orang sehat, ditemukan cimetidine (multiple dose) mengurangi clearance dari pramipexole dengan dosis 250 mcg (single dose) sebesar 35 % dan meningkatkan waktu paruh sebesar 40 %. Amantadine dan cimetidine, keduanya dieliminasi oleh rute tersebut ( contoh melalui renal kationik sistem transport sekresi), maka tingkat ekskresi kedua obat tersebut berkurang.

Probenecid (multiple dose) diberikan kepada 12 orang sehat dapat mengurangi clearance pramipexole sebesar 10, 3%. Dapat disimpulkan bahwa hendaknya pengurangan dosis pramipexole dipertimbangkan ketika amantadin atau cimetidine diberikan secara bersamaan dengan pramipexole.

Meskipun tidak ada interaksi farmakokinetik diantara pramipexole dan levodopa, pramipexole merubah aksi levodopa , maka penurunan dosis levodopa seiring dengan penaikan dosis pramipexole. Penggunaan secara bersamaan dengan  obat-obat antipsikoti, harus dapat dihindari, sebab sebagian besar aksi antagonis dopamine akan mengantagonis efek pramipexole, agonis dopamine.

Meskipun tidak terdapat interraksi farmakokinetik pramipexol dengan levodopa, tetapi jika pada penggunaan Pramipexole dengan dosis tinggi, maka levodopa dosisnya harus ditambah.
Aksi Antagonis dopamine dapat akan mengantagonis atau menghambat efek dari pramipexole, antagonis dopamine.

32.  Ropinirole + berbagai macam obat
Oestrogen dapat mengurangi clearancero pinerole. Cimetidin, Ciproploxacin, fluvoxamin dapat meningkatkan efek ropinerole, dan dopamine antagonis seperti metoklopramid dan sulpiride mengurangi efek ropinerole.
Ropinirole merupakan agonis dopamine, jadi obat antipsikotik dan obat-obat lain yang bertindak pada reseptor sentral dopamine antagonis (sulpiride dan metoclopramide), harus dihindari karena dapat mengurangi keefektifan ropinerole.
Ropinirol dan levodopa tidak memiliki interaksi farmakokinetik pada kondisi steady-state. Meskipun demikian, maka disarankan mengurangi dosis levodopa sekitar 20%. Oestrogen  yang digunakan dalam Hormonal Replacement Therapy (HRT) dapat mengurangi clearance ropinirole.
Berdasarkan pengamatan secara invitro menunjukkan sitokrom P45o dengan isoenzim CYP1A2 yang sebagian besar bertanggung jawab terhadap metabolisme ropinerole, dengan CYP3A yang mempunyai sedikit peranan dalam metabolisme ropinirol. Adanya interaksi dengan obat-obat yang merangsang atau menghambat CYP1A2.
Penggunaan bersama dengan obat-obat seperti cimetidin, ciprofloxacin dan fluvoxamine dapat miningkatkan efek ropinirenol, maka jika digunakan bersamaan dosis ropinerol hendaknya dikurangi.

33.  Selegine + Antidepressant
Beberapa kasus sindrom serotonin dan kerusakan serius pada SSP telah terlihat pada penggunaan selegiline dan trisiklik antidepresan atau SSRI­ S .
v  SSRIS
a.       Citalopram
Pengamatan dilakukan secara acak terhadap 18 orang , dimana tidak menunjukkan adanya interaksi farmakodinamik dan farmakokinetik pada penggunaan bersama citalopram dan selegiline. Pemberian 20 mg citalopram sekali dalam sehari  untuk pemakaian 10 hari dimana 4 hari citalopram digunakan bersama selegiline dengan pemberian dosis 10 mg sekali sehari. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya perubahan, teteapi bioavaibilitas selegiline sedikit berkurang sekitar 30% dengan adanya citalopram. Tetapi dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi klinik yang terjadi diantara selegiline dan citalopram.

v  Antidepresan Tetrasiklik
Pada seseorang yang sedang menggunakan selegiline, levodopa/carbidopa, lisuride, maprotiline, teofilin, efedrin menyebabkan hipertensi (tekanan darah 300/150 mg), vasokonstriksi, bingung, nyeri perut, berkeringat dan takikardi (110 bpm) meningkatkan dosis teofilin dan efedrin. Semua obat tersebut diberhentikan penggunaannya, dan pasien diberikan nicardipin secara iv. Orang tersebut sembuh dalam waktu yang singkat. Dapat diperkirakan hal tersebut adalah ‘pseudophaeochromocytoma’ yang disebabkan oleh selegiline/maprotilen/interaksi efedrin.

v  Antidepresan Trisiklik
Pada tahun 1989 dan 1994 FDA menerima 16 laporan mengenai interaksi selegiline dan antidepresan trisiklik, yang berhubungan dengan adanya sindrom serotonin. Oleh karena ini pihak Amerika menetapkan bahwa penggunaan bersama selegiline dengan antidepresan trisiklik harus dihindari.
Salah satu penelitian menyatakan pada 4568 pasien yang menggunakan selegiline dan antidpresan (termasuk trisiklik) hanya ditemukan 11 orang (0,24%) yang mengalami sindrom serotonin dan 2 orang (0,04%) yang mengalami gejala yang serius.
Penelitian lainnya yang dirancang untuk mengevaluasi toleransi dan efikasi dari kombinasi selegiline dan antidepresan trisiklik yang diidentifikasi dari 28 pasien yang menggunakan kedua obat tersebut. Berdasarkan pengamatan, 17 pasien sudah pasti menerima kebaikan/manfaat dan 6 pasien lainnya kemungkian menerima kebaikan/manfaat dari kombinasi kedua obat tersebut.
Sedangkan pada penelitian lainnya yaitu pada 25 angka kejadian pada penggunaan kombinasi selegiline-trisiklik tidak ditemukan adanya kasus serotonin sindrom.
v  Antidepresan lainnya
a.       Trazodone
Berdasarkan pengamatan pada pasien dengan penyakit Parkinson dengan selegiline 5-10 mg perhari (dan obat antiparkinson lainnya seperti levodopa/carbidopa, bromocriptin, amantadin, pergolide antikolinergik) menyebutkan bahwa penambahan tazadone 25 sampai 150 mg perhari menyebabkan tidak adanya efek samping dan pasien menunjukkan bahwa adanya manfaat dari kombinasi tersebut, termasuk peningkatan gejala-gejala parkinson
b.      Venlafaxine
Seseorang dengan peningkatan sindrom serotonin 15 hari setelah memberhentikn penggunaan selegiline 50 mg (perhari)dan selama 30 menit pada awal penggunaan venlafaxine 37,5 mg.

34.  Selegiline + Cocain
Cocain dan selegiline tidak berinteraksi secara langsung
Berdasarkan pengamatan terhadap 5 orang yang diberikan cocaine dengan dosis 0,20 dan 40 mg, lalu satu jam kemudian diberikan selegiline dengan dosis 10 mg secara oral. Maka, Coccaine akan meningkatkan denyut jantung,tekanan darah, diameter pupil dan euphoria. Bagaimanapun, pemberian selegiline mengurangi diameter pupil, tetapi tidak merubah dilatasi pupil atu efek lainnya yang ditimbulkan setelah pemberian cocaine. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kedua obat tersebut aman jika digunakan secara bersamaan dan tidak menguatkan efek cocaine.

INTERAKSI OBAT DENGAN UJI LAB
Agar dapat memantau keadaan kesehatan kita, perlu dilakukan tes laboratorium secara berkala.  Pemeriksan laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan khusus dengan mengambil bahan/sample dari penderita, dapat berupa urine (air kencing), darah, sputum (dahak), atau sample dari hasil biopsy

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu :
  1. Mendeteksi penyakit
  2. Menentukan resiko
  3. Memantau perkembangan penyakit
  4. Memantau pengobatan dan lain-lain
  5. Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensi membahayakan.

Dalam makalah ini akan dibahas hal yang dapat mempengaruhi pemeriksaan laboratorium adalah penggunaan obat oleh pasien sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan meningkatkan jumlah leukosit dan trombosit. Pemberian transfusi darah akan mempengaruhi komposisi darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus darah tepi maupun penilaian hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.
Darah
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
Eritrosit (sel darah merah)
juta/µl
4,0 – 5,0 (P)
4,5 – 5,5 (L)
Hemoglobin (Hb)
g/dL
12,0 – 14,0 (P)
13,0 – 16,0 (L)
Hematokrit
%
40 – 50 (P)
45 – 55 (L)
Hitung Jenis
Basofil
%
0,0 – 1,0
Eosinofil
%
1,0 – 3,0
Batang1
%
2,0 – 6,0
Segmen1
%
50,0 – 70,0
Limfosit
%
20,0 – 40,0
Monosit
%
2,0 – 8,0
Laju endap darah (LED)
mm/jam
< 15 (P)
< 10 (L)
Leukosit (sel darah putih)
103/µl
5,0 – 10,0
MCH/HER
Pg
27 – 31
MCHC/KHER
g/dL
32 – 36
MCV/VER
Fl
80 – 96
Trombosit
103/µl
150 – 400
Catatan:
1. Batang dan segmen adalah jenis neutrofil.
Kadang kala dilaporkan persentase neutrofil saja, dengan nilai rujukan 50,0–75,0 persen





Fungsi Ginjal
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
Kreatinin
U/L
60 – 150 (P)
70 – 160 (L)
Urea
mg/dL
8 – 25
Natrium
mmol/L
135 – 145
Klorid
mmol/L
94 – 111
Kalium
mmol/L
3,5 – 5,0


Fungsi Hati
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
ALT (SGPT)
U/L
< 23 (P)
< 30 (L)
AST (SGOT)
U/L
< 21 (P)
< 25 (L)
Alkalin fosfatase
U/L
15 – 69
GGT (Gamma GT)
U/L
5 – 38
Bilirubin total
mg/dL
0,25 – 1,0
Bilirubin langsung
mg/dL
0,0 – 0,25
Protein total
g/L
61 – 82
Albumin
g/L
37 – 52










                                                                                                                       
Profil Lipid
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
Kolesterol total
mg/dL
150 – 200
HDL
mg/dL
45 – 65 (P)
35 – 55 (L)
Trigliserid
mg/dL
120 – 190





Lain-lain

Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
Glukosa (darah, puasa)
Mg/dL
70 – 100
Amilase
U/L
30 – 130
Asam Urat
Mg/dL
2,4 – 5,7 (P)
3,4 – 7,0 (W)




Beberapa Tes laboratorium yang sering dilakukan diantaranya ialah :
Tes darah lengkap
Tes ini mengukur tiap komponen dalam darah. Tes darah lengkap sangat penting karena beberapa jenis obat-obatan dapat menyebabkan rendahnya jumlah darah merah atau darah putih, yang kemudian dapat menyebabkan anemia atau kelainan darah lain. Tes ini mengukur jumlah sel darah putih, hemoglobin, hematocrit dan platelet dalam darah. Dengan menggunakan tes ini, jumlah sel darah putih yang tinggi dapat berarti tubuh melakukan perlawanan terhadap infeksi yang mungkin tidak terdeteksi; jumlah sel darah merah yang rendah dengan hemoglobin dan hematocrit bisa jadi merupakan anemia akibat konsumsi obat; dan jumlah platelet yang rendah dapat mempengaruhi pembekuan darah. 
Skrining kimia darah
Tes ini merupakan skrining umum untuk mengukur apakah organ-organ tubuh anda (jantung, hati, ginjal, pankreas), otot dan tulang, bekerja dengan benar dengan mengukur kimia-kimia tertentu dalam darah. Tes ini penting untuk mendeteksi infeksi atau efek samping obat. Salah satu fokus terpenting dalam tes ini adalah monitor enzim hati. Hati merupakan organ tubuh penting karena hati membantu memproses obat-obatan, dan karena obat-obatan ini menuntut lebih banyak dari hati anda, ada kemungkinan terjadi toksisitas hati yang dapat mempengaruhi kesehatan umum anda. Albumin, alkalin, fosfat dan bilirubin juga perlu dimonitor untuk memastikan hati anda bekerja dengan baik. Fokus penting lain adalah untuk memonitor tingkat lipid jantung anda. Tes ini membantu memonitor kolesterol LDL (kolesterol jahat), kolesterol HDL (kolesterol sehat) serta trigliserida. Mengenal jenis-jenis lipid ini sangatlah penting untuk membantu memonitor kemungkinan penyakit jantung. Tes kimia darah ini sebaiknya dilakukan setiap tiga bulan, hasilnya dapat diperoleh dalam dua atau tiga hari kerja.
Tes laboratorium merupakan bagian penting dari perawatan kesehatan komprehensif  dengan membantu memonitor perkembangan penyakit di dalam tubuh. Tes-tes ini dapat menjadi indikator untuk mendeteksi masalah-masalah kesehatan. Namun, ketika anda menggunakan hasil lab sebagai perbandingan dalam memonitor kesehatan anda, perlu juga untuk memahami bahwa suatu hasil tes yang tidak terduga belum tentu mengindikasikan adanya masalah kesehatan yang serius, yang lebih penting adalah untuk melihat tren dari hasil tes dalam jangka waktu tertentu, daripada hanya berpatokan pada satu hasil tes saja. Selain itu, terdapat banyak faktor dapat membuat hasil tes darah anda berbeda, ingatlah: bila anda tidak nyaman dengan tes darah pertama anda, minta dokter untuk mengulang tes. Penting untuk semua orang untuk memiliki pengertian umum tentang cara membaca ringkasan hasil tes laboratorium. Namun, lebih penting lagi untuk berbicara dengan dokter anda mengenai hasil lab anda dan minta kepadanya untuk mengartikan hasil tes dan bagaimana hasil tersebut dapat mempengaruhi perencanaan pengobatan anda.
Macam-macam uji laboratorium:
·         Alkalin Fosfatase
Merupakan suatu enzym yang dibuat di liver, tulang dan plasenta dan biasanya ada dalam konsentrasi tinggi pada saat pertumbuhan tulang dan didalam empedu. Enzim ini menghidrolisis ester fosfat dalam medium alkali.
Alkalin fosfatase dilepaskan kedalam darah  pada saat luka dan pada aktivitas normal seperti pada pertumbuhan tulang dan pada saat kehamilan. Tingginya tingkat alkalin fosfat dalam darah mengindikasikan adanya penyakit dalam tulang atau lever dan konsentrasi akan meningkat jika terjadi obstruksi aliran empedu.
Tes untuk alkalin fosfat dikerjakan untuk mendiagnosa penyakit-penyakit liver atau tulang, atau untuk melihat apakah pengobatan untuk penyakit tersebut bekerja.
Uji alkalin fosfat ada dalam tes darah rutin, termasuk dalam bagian tes fungsi liver. Kisaran normal alkalin fosfat dalam darah adalah 44 sampai 147 IU/L.
Obat-obat yang dapat mempengaruhi konsentrasi alkalin fosfat diantaranya ialah :
  1. Obat AINS
Dapat menurunkan angka alkalin fosfatase
  1. Parasetamol
Meningkatkan  angka alkalin fosfat
Mekanisme : Parasetamol dapat mengganggu metabolisme sel hati yang dapat menyebabkan nekrosis. Terjadinya nekrosis ini akan meningkatkan angka alkalin fosfatase.

·         Bilirubin
Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun merupakan petunjuk adanya penyakit hati dan saluran empedu.
Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu.

Obat-obat yang mempengaruhi Bilirubin:
  1. Fenobarbital
Dapat menurunkan kadar bilirubin
Fenobarbital meningkatkan aktivitas glukoronil transferase (enzim yang digunakan pada konyugasi dengan asam glukuronat sehingga dengan cepat diekskresi melalui empedu dan urin)

  1. Estrogen, Steroid Anabolik
Dapat meningkatkan kadar bilirubin
Menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin. Hal ini menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan karena terjadinya gangguan transfer bilirubin melalui membran hepatosit yang sehingga terjadi retensi bilirubin dalam sel
Obat-obat yang mempunyai mekanisme yang sama adalah halotan (anestetik), isoniazid, dan klorpromazin

·         Glukosa
Obat-obat yang mempengaruhinya:
1.    Atenolol
Interaksi dengan test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot rangka sehingga mengurangi efek hiperglikemia dari epinefrin yang dilepaskan oleh adanya hipoglikemia sehingga kembalinya kadar gula pada hipoglikemia diperlambat.   
2.      Kortikosteroid golongan glukokortikoid
Interaksi dengan test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi penggunaan glukosa di jaringan perifer dengan cara menghambat uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan mungkin melalui hambatan transporter glukosa.
Kadar normal: 7-20mg/DL

·         Blood Urea Nitrogen (BUN) test
BUN adalah konsentrasi urea pada plasma atau darah yang merupakan indikator penting fungsi ginjal. Test ini digunakan untuk melihat apakah ginjal bekerja dengan baik atau tidak dimana pada fungsi ginjal normal, kadar urin nitrogen adalah 3,6-7,1 mmol/L atau 10-20/dL. BUN test dilakukan dengan mengukur jumlah nitrogen yang berada dalam darah yang berasal dari urea.
Obat yang mempengaruhi:
1.         Furosemid
Furosemid dapat meningkatkan BUN
Mekanisme: furosemid adalah obat golongan diuretik kuat yang dapat menyebabkan  ekskresi glomerular sodium dan air yang tinggi (20-30%), sehingga menyebabkan dehidrasi. Jika terjadi dehidrasi maka aliran darah ke ginjal menjadi berkurang.
2.         Vankomisin
Vankomisin dapat meningkatkan Blood Urea Nitrogen
Mekanisme: Vankomisin dapat menyebabkan 
ginjal tidak bekerja dengan baik, pengeluaran urea nitrogen menjadi  terhambat sehingga kadarnya dalam darah meningkat.
3.         Piroksikam
Piroksikam sedikit dapat meningkatan kadar BUN pada permulaan terapi yang kemudian menetap kadarnya (plateau) seperti halnya pada pengobatan dengan fenilbutazon, indometasin dan aspirin. Prostaglandin pada ginjal merupakan hormon dalam pengaturan sirkulasi darah di dalam medula dan korteks adrenal.
Mekanisme kerja:
Penghambatan sintesis prostaglandin oleh obat ains menyebabkan kenaikan kadar Blood Urin Nitrogen

Transaminase
untuk mendeteksi adanya kerusakan hati, pemeriksaannya dengan pengukuran SGOT dan SGPT. Keduanya terdapat dalam sel hati dalam jumlah yang besar dan ditemukan dalam serum dalam jumlah yang kecil. Kadarnya dalam serum akan meningkat ketika sel rusak atau membran sel terganggu
·         SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat trans)
Penurunan kadar SGOT terjadi pada saat kehamilan, diabetik ketoasidosis dan beri-beri, sedangkan peningkatan kadar SGOT pada kondisi infark miokard akut (IMA), ensefalitis,  nekrosis, hepar, penyakit dan trauma muskuloskeletal, pankreatiis akut, eklampsia, dan gagal jantung kongestif.
Obat yang dapat meningkatkan nilai SGOT : Antibiotik, narkotik, vitamin (asam folat, piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa, guanetidin), teofilin, golongan digitalis, kortison, flurazepam, indometasin, isoniasid, rifampisisn, kontrasepsi oral, salisislat, injeksi intramuskular.
1.      Isoniazid
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Sehingga hal ini menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase
·         Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT)
Peningkatan Kadar : Hepatitis (virus) akut, hepatotoksisitas yang menyebabkan nekrosis hepar (toksisitas obat atau kimia); agak atau meningkat sedang : sirosis, kanker hepar, gagal jantung kongestif, intoksikasi alkohol akut; peningkatan marginal: infark miokard akut (IMA)
Obat yang dapat meningkatkan SGPT : Antibiotik, narkotik, metildopa, guanetidin, sediaan digitalis, indometasin, salisilat, rifampisin, flurazepam, propanolol, kontrasepsi oral, timah, heparin.
1.      Rifampisin
Mekanisme Kerja: Rifampisin dapat meningkatkan hepatotoksik sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase.

·         Kolesterol
Obat-obat yang dapat menurunkan nilai kolesterol : Tiroksin, estrogen, aspirin, antibiotik (tetrasiklin dan neomisin), asam nikotinik, heparin, kolkisin.
Obat-obat yang dapat meningkatkan nilai kolesterol : Pil KB, epinefrin, fenotiazin, vitamin A dan D, sulfonamid, fenitoin (Dilantin).
1.      Vitamin C dosis tinggi menurunkan kadar kolestesterol melalui mekanisme:
*   Memperlebar arteri sehingga memperkecil deposit kolesterol pada dinding arteri
*   Meningkatkan aktifitas fibrinolisis, yang bertanggungjawab untuk memindahkan penumpukan kolesterol dari arteri
*   Mengeliminasi kelebihan kolesterol dalam aliran darah dengan membawa ke empedu

·           Trigliserida
Penurunan kadar : β-lipoproteinemia kongenital, hipertiroidisme, malnutrisi protein, latihan
Obat-obat yang dapat menurunkan nilai trigliserida : Asam askorbat, kofibrat (Atromid-S), fenformin, metformin.
Peningkatan Kadar : Hiperlipoproteinemia, IMA, hipertensi, hipotiroidisme, sindrom nefrotik, trombosis serebral, sirosis alkoholik, DM yang tidak terkontrol, sindrom Down’s, stress, diet tinggi karbohidrat, kehamilan.
Metformin
Mekanisme : Metformin dapat menurunkan absorbsi glukosa dari saluran lambung-usus . Metformin hanya mengurangi kadar glukosa darah dalam keadaan hiperglikemia serta tidak menyebabkan hipoglikemia bila diberikan sebagai obat tunggal.

·         Kreatinin Serum
Kreatinin adalah produk sampingan dari hasil pemecahan fosfokreatin (kreatin) di otot yang dibuang melalui ginjal. Normalnya kadar kreatinin dalam darah 0,6 – 1,2 mg/dl. Bila fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin darah bisa meningkat.

  1. Obat Golongan AINS
Obat golongan ini : diklofenak, indometasin, asetosal, ibuprofen, piroksikam, asam mefenamat, ketoprofen, naproksen, meloksikam, oksaprozin, dll
Obat golongan ini dapat menyebabkan resiko menurunnya fungsi ginjal, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya kadar kreatinin dalam darah.
  1. Amfoterisin B
Amfoterisin B dapat menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus yang juga berakibat pada penurunan fungsi ginjal, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya kadar kreatinin dalam darah.

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN IO
Waspada terhadap masalah yang muncul akibat dari interaksi obat, penting bagi farmasis yang bekerja di rumah sakit maupun di apotek. Untuk mencegah interaksi obat, seorang farmasis harus waspada terhadap semua obat yang digunakan oleh pasien tersebut, baik obat yang diresepkan maupun obat yang dapat dibeli bebas. Di rumah sakit, hal ini melibatkan farmasis untuk melihat daftar obat dan rekam medik pasien rawat inap; di apotek, menggunakan catatan medik pasien terkomputerisasi; dan secara umum, komunikasi dengan pasien, keluarga pasien dan dengan tim kesehatan yang lain. Pendekatan yang menyeluruh dianjurkan, dengan dititikberatkan pada pasien dan pengobatannya secara keseluruhan, tidak semata-mata memperhatikan reaksi yang timbul, namun juga terhadap keluhan akut berhubungan dengan penggunaan obat tertentu.
Seorang farmasis harus proaktif, mengantisipasi interaksi obat yang mungkin terjadi dan bertindak sebelum muncul masalah, bukan sekedar reaktif  yang hanya bertindak bila interaksi obat telah terjadi. Salah satu tujuan utama farmasi klinis dan layanan kefarmasian adalah untuk meminimumkan risiko pada pasien. Oleh karena itu, memeriksa adanya interaksi obat merupakan tugas farmasis yang utama. Sebagai tambahan, pendekatan ini dapat ditempatkan dalam konteks strategi manajemen risiko klinis secara umum dalam mendorong peningkatan kualitas.
Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi, kemungkinan terjadinya interaksi obat sangat besar. Bagaimanapun, meskipun beribu-ribu laporan interaksi obat yang tidak diinginkan muncul di literatur biomedis, hanya sejumlah kecil yang bermakna secara klinis saat ini terutama terlibat dalam pengetahuan atau memperkirakan terjadinya kejadian dimana interaksi obat yang potensial terjadi mempunyai akibat yang bermakna secara klinis dan, jika demikian, langkah-langkah apa yang diambil untuk mencegah hal tersebut, atau terapi alternatif apa yang mungkin terjadi dari kombinasi dua atau lebih obat.
Untuk memperkirakan akibat yang mungkin terjadi kombinasi dua atau lebih obat, seorang farmasis perlu memiliki:
-          Pengetahuan praktis tentang mekanisme farmakologi yang terlibat dalam interaksi obat.
-          Waspada terhadap obat-obat yang berisiko tinggi menyebabkan interakis obat.
-          Persepsi terhadap kelompok pasien yang rentan mengalami interaksi obat.

DEFINISI
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa makanan, asap rokok, etanol dan bahan-bahan kimia lingkungan dapat mempengaruhi efek obat. Bila mana kombinasi terapeutik mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan sebagai interaksi yang bermakna klinis.
Interaksi obat dapat membahayakan, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya. Namun, interaksi beberapa obat dapat menguntungkan. Sebagai contoh, efek hipotensi diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dapat berguna dalam pengobatan hipertensi. Interaksi obat juga meliputi reaksi fisikokimia diantara obat-obat parenteral bila dicampur bersama-sama, mengakibatkan pengendapan atau inaktivasi. Bagaimanapun, bab ini akan dititik beratkan interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh, yang berpotensi merugikan perawatan pasien.
EPIDEMIOLOGI
Banyak penelitian gagal membedakan antara interaksi obat yang mungkin terjadi dan kejadian interaksi obat yang betul-betul merugikan atau membahayakan pasien. Jadi angka-angka yang dilaporkan terlalu tinggi. Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2,2 % - 30 % dalam penelitian pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat (Jankel CA & Speedie SM, 1990). Dari kemungkinan tersebut hingga 11,1 % pasien yang benar-benar mengalami gejala yang diakibatkan oleh interaksi obat (Jankel CA & Speedie SM, 1990). Pada suatu penelitian selama 10 minggu, dari 691 pasien yang masuk rumah sakit, ditemukan 68 (9,8 %) pasien masuk rumah sakit karena penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton LA et al, 1994). Bagaimanapun, berdasarkan data yang ada, tidak mungkin kita memperoleh data yang menetapkan kejadian interaksi obat yang bermakna klinis, tetapi kemungkinan kejadian interaksi obat tersebut jumlahnya cukup kecil (kurang dari 1 %).
Interaksi obat dapat menyebabkan seseorang masuk rumah sakit, meskipun hal ini relatif jarang terjadi. Meskipun kejadian interaksi obat yang bermakna klinis kecil, tetapi sejumlah besar pasien mempunyai resiko morbiditas (angka kesakitan) atau bahkan mortalitas (angka kematian) dalam pengobatan mereka.

MEKANISME INTERAKSI OBAT
Ada beberapa keadaan dimana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik; namun mekanisme tersebut sering dijumpai. Mekanisme tersebut dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetika obat dan interaksi obat yang mempengaruhi respon farmakodinamik obat. Beberapa interaksi obat yang dikenal merupakan kombinasi lebih dari satu mekanisme.
1.      Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi (tabel.1)
Tabel.1 Interaksi farmakokinetik obat
a.       Absorpsi di saluran pencernaan
·      Kecepatan
·      Jumlah
b.      Ikatan obat protein (pendesakan obat)
·      Obat bebas (aktif)
·      Obat terikat (tidak aktif)
c.       Metabolisme hepatik
·      Induksi enzim (penurunan konsentrasi obat)
·      Inhibisi enzim (peningkatan konsentrasi obat)
d.      Klirens ginjal
·       Peningkatan ekskresi (penurunan konsentrasi obat)
·       Penurunan ekskresi (peningkatan konsentrasi obat)









a.       Absorpsi
Kebanyakan obat diberikan secara oral mengabsorbsi melalui membran mukosa dari saluran gastrointestinal. Dan kebanyakan interaksi yang terjadi menurunkan absorbsi daripada meningkatkan absorbsi. Perbedaan yang jelas terdapat pada penurunan laju absorbsi dan mengubah absorbsi secara keseluruhan. Obat yang diberikan untuk penyakit kronis dalam dosis regimen multiple (contohnya: antikoagulan oral), laju absorbsi biasanya tidak digunakan tetapi absorbsi secara keseluruhannya tidak diubah. Selain obat yang diberikan dalam dosis tunggal dirancang agar absorbsinya obat (contoh: obat hipnotik atau analgesik), sehingga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk pencapaian tersebut. Penurunan laju absorbsi biasanya menunjukan hasil yang tidak baik pada pencapaian efek terapi.
Tabel 2. Beberapa obat yang menyebabkan interaksi absorpsi
Obat
Interaksi obat
Efek interaksi
Digoksin
Metoklopramide
Propantelin
Menurunkan absorpsi digoksin
Peningkatan absorpsi digoksin
Digoksin
Levotiroksin
Warfarin
Kolestiramin
Menurunkan absorpsi karena adanya pengkatan/kompleks dengan kolestiramin
Ketokonazol
Antasida
H2 bloker
Penghambat pompa proton
Menurunkan absorpsi ketokonazol karena penurunan disolusi
Penicilamin
Antasida (Al3+ atau Mg2+), preparat besi dan makanan
Pembentukan khelat penisilamin terlarut sedikit sehingga menyebabkan penurunan absorpsi penisilamin
Metoreksat
Neomisin
Menginduksi malabsorpsi
Antibiotic kuinolon
Antasida (Al3+ atau Mg2+), susu, Fe2+
Pembentukan kompleks absorpsi yang buruk
tetrasiklin
Antasida (Al3+, Mg2+, Ca2+ atauBi2+), susu, Zn2+, Fe2+
Pembentukan khelat terlarut yang buruk sehingga menyebabkan penurunan absorpsi antibiotic

·         Efek dari perubahan pada pH saluran cerna
Perjalanan obat melalui membran mukosa melalui difusi pasif tergantung pada jumlah  bentuk non ionik larut lemak .Maka dari itu absorpsi bergantung pada pKa obat, kelarutan dalam lemak, pH saluran cerna dan parameter lain yang berhubungan dengan formulasi farmasetik obat. Oleh karena itu absorpsi asam salisilat dalam lambung lebih besar pada pH asam daripada pH basa. Secara teoritis diharapkan perubahan pH lambung oleh obat seperti H2 bloker memiliki efek absorpsi yang bermakna, tetapi kenyataannya tidak terlalu pasti karena adanya mekanisme lain seperti khelasi, adsorpsi, dan perubahan motilitas lambung yang dapat mengubahnya. Namun pada beberapa kasus efek dapat signifikan. Peningkatkan pH akibat hambatan pompa proton, H2 bloker dan antasida dapat mengurangi absorpsi Ketokonazol secara bermakna

·         Adsorpsi, khelasi dan mekanisme pembentukkan kompleks lain
Arang aktif ditujukan sebagai agen adsorpsi dalam saluran cerna untuk pengobatan over dosis obat atau menghilangkan zat toksik, tetapi pasti akan mengubah absorpsi obat pada dosis terapeutik. Antasida juga dapat mengadsorpsi sejumlah besar obat, tetapi mekanisme lain juga berpengaruh. Contohnya tetrasiklin dapat mengkhelat logam divalen dan trivalen seperti kalsium, aluminium, bismuth dan besi, membentuk kompleks yang sangat sulit diabsorpsi dan mengurangi efek anti bakteri.
Ion logam dapat ditemukan pada produk susu dan antasida. Pembagian dosis terpisah 2 sampai 3 jam dapat mengurangi efek interaksi ini. Reduksi bioavailibilitas penisilamin berkurang secara bermakna disebabkan antasida juga karena khelasi meskipun adsorpsi juga berpengaruh. Kolestiramin dan resin penukar ion ditujukan untuk mengikat asam empedu dan metabolik kolesterol dalam saluran cerna, mengikat sejumlah obat seperti digoksin, warfarin, levotiroksin sehingga absorpsi obat berkurang. (Tabel. 2) daftar obat yang dapat mengkhelat, mengkompleks atau adsorpsi obat lain.

Beberapa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi dalam dosis rendah mempunyai risiko hamil bila pada saat yang sama, dia juga menggunakan antibiotik berspektrum luas (misalnya amoksisilin, tetrasiklin). Mekanismenya adalahgangguan siklus enterohepatik komponen estrogen akibat hilangnya bakteri usus yang berperan dalam dekonjugasi estrogen.
Obat-obat lain dapat mempengaruhi waktu pengosongan lambung, sebagai contoh metoklorpropamid mempercepat waktu pengosongan lambung, sedangkan opiat memperlambat waktu pengosongan lambung. Bioavailabilitas levodopa berkurang bila digunakan bersama dengan obat antikolinergik. Hal ini terjadi karena perlambatan waktu pengosongan lambungakan meningkatkan paparan levodopa dengan metabolisme lokal pada mukosa usus. Interaksi ini pada umumnya lebih mempengaruhi kecepatan absorbsi obat daripada jumlah obat yang diabsorbsi. Bagaimanapun, penundaan waktu pengosongan lambungda]] dapaat meningkatkan absorbsi zat-zat yang bersifat asam dan obat-obat yang sukar larut. Sebagian besar interaksi yang berkaitan dengan absorbsi, tidak bermakna secarak klinis dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat, biasanya dengan selang waktu meminum 2 jam.

b.      Distribusi
Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat ikatan dengan protein plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan sementara konsentrasi obat bebas (aktif), biasanya peningkatan tersebut diikuti dengan peningkatan metabolisme atau ekskresi. Konsentrasi total obat turun menyesuaikan dengan peningkatan dengan peningkatan fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya dengan protein tinggi, misalnya fenitoin, warfarin dan tolbutamid. Bagaimanapun, efek farmakologi keseluruhan minimal kecuali bila pendesakan tersebut diikuti dengan inhibisi metabolik.

c.       Metabolisme hepatik
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P450 monooksigenase. Induksi enzimoleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesa protein, jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada induksi enzim.
Banyak enzim yang terlibat dalam metabolisme hepatik diantaranya adalah sitokrom P450. Sebagai contoh, warfarin dibersihkan dari tubuh memalui metabolisme hepatik (dimetabolisme oleh sistem oksidase P450 hepatik-the hepatic mixed function oxidase P450 system) sehingga penghambat enzim seperti simetidin dan antibiotik golongan makrolida (eritromisin, klaritomisin) memperkuat efek warfarin.
Sebaliknya, penginduksi enzim seperti karbamazepin, barbiturat, fenitoin (dilaporkan dapat meningkatkan atau menurunkan efek) dan rifampisin, dapat menyebabkan kegagalan terapeutik warfarin. Eritromisin dapat menyebabkan peningkatan kadar lofastatin dalam darah karena eritromisin menghambat aktifitas enzim CYP 3A4 hati.
Yang menarik, makanan kaya protein dianggap menstimulasi enzim hati, sedangkan makanan yang kaya karbohidrat mempunyai efek yang berlawanan. Zat kimia lain, seperti asap rokok dan etanol dapat meningkatkan aktifitas enzim hati. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi eliminasi dan akhirnya juga mempengaruhi keefektifan obat-obat tertentu.

d.      Eliminasi
Obat dieliminasi melalui ginjal denga  filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati. Gangguan pada proses ini terutama digambarkan dalam interaksi yang mempengaruhi digoksin dan Litium.
Kuinidin, verapamil, dan amiodaron dapat meningkatkan konsentrasi digoksin dalam serum hingga dua kali lipat dengan menghambat klirens ginjal (dan non-ginjal) digoksin. Diuretik thiazida, serta furosemid dan bumetanid dengan efek yang lebih lemah, menguangi ekskresi Litium dengan meningkatkan reabsorbsi Litium dari tubulus proksimal. Interaksi ini dapat menyebabkan keracunan Litium yang serius.
Metotreksat dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) berkompetisis dalam ekskresi melalui ginjal; penggunaan secara bersamaan obatobat tersebut dapat meningkatkan kadar metotreksat dan meningkatkan risiko toksisitas, namun kombinasi ini tetapa dapat diberikan dengan berhasil di bawah supervisi khusus. Yang perlu diperhatikan tentang interaksi tipe ini adalah tergantung pada jumlah obat dan/atau metabolitnya yang diekskresi melalui ginjal.
Asam lemah dan basa lemah berkompetisi pada bagian sistem transpor tubuler ginjal yang berbeda. Hal ini merupakan dasar penggunaan probenesid untuk meningkatkan konsentrasi penisilin atau sefalosporin dalam darah. Probenesid juga meningkatkan potensi toksisitas metotreksat; simetidina mengurangi ekskresi prokainamid dengan cara yang sama.



2.      Interaksi Farmakodinamik
a.      Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang palng umum adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau inti yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat contohnya Etanol, antihistamin, benzodiazepine (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolan, bromazepam, alprazolam), fenotiazin (klorpromazin, tioridazin, lufenazin, perfenazin, proklorperazin, trifluoperazin), metildopa. Klonidin dapat meningkatkan efek sedasi.
      Semua obat inflamasi nonsteroid dapat mengurangi daya lekat platelet, dan  meningkatkan efek antikoagulan warfarin. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalema yang sangat berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretic hemat kalium (contoh amilorida, triamteren) dan penghambat enzim pengkonversi angiotensin (contoh captopril, enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II (contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propranolol (dan pengeblok beta yang lain), keduanya memiliki efek inotropik negative, dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang retan.

b.      Antagonisme
Sebaliknya, antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memilki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat. Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat yang bersifat beta-agonis dengan obat yang bersifat pengeblok beta (salbutamol untuk pengobatan asma dengn propanolol untuk pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretik tiazida dan obat anti diabet.
      Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme yang antagonis. Sebagai contoh, bakterisida, seperti penisilin, yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya antibiotika yang bersifat bakteriostatik, seperti tetrasiklin, yang menghambat sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.

c.       Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali fisiologis atau biokimia. Pengeblok beta no-selektif seperti propanolol dapat memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemia pada pasien diabet yang diobati dengan insulin dengan menghambat mekanisme kompensasi pemecahan glikogen. Respons kompensasi ini diperantarai oleh reseptor beta Znamun obat kardioselektif seperti atenolol lebih jarang menimbulkan respons hipoglikemia apabila digunakan bersama dengan insulin. Lagi pula obat-obat pengeblok beta mempunyai efek simpatik seperti takikardia dan tremor yang dapat menutupi tanda-tanda bahaya hipoglikemia; efek simpatik ini lebih penting dibandingkan dengan akibat interaksi obat pada mekanisme kompensasi diatas.

d.      Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pengurangan kadar kalium dalam plasma sesudah pengobatan dengan diuretik, kortikosteroid atau amfoterisina akan meningkatkan risiko kardiotoksisitas digoksin. Hal yang sama, hipokalemia
 
3.      Interaksi Farmasetik
Disebut sebagai Drug incompatibility yaitu tidak dapat bercampurnya obat interaksi yang terjadi karena adanya perubahan/reaksi fisika dan kimia antara 2 obat atau lebih yang dapat dikenal/dilihat,yang berlangsung diluar tubuh dan mengakibatkan aktivitas farmakologi obat tersebut hilang/berubah
Contoh :
1.                   Hidrolisis
aspirin + Na-bikarbonat à gummy (aspirin terhidrolisis)
2. Perubahan pH Oksitetrasiklin-HCl + Difenhidramin à presipitat 
3. Degradasi sinar matahari
Fenitoin-Na à kekeruhan (fenitoinlepas)
Teofilin à perubahan warna

INTERAKSI OBAT  atau BERMAKNA KLINIS
Contoh obat-obat yang interaksinya bermakna klinis :
·         Obat yang rentang terapinya sempit
Antiepilepsi, digoksin, lithium, siklosporin, teofilin dan warfarin.
·         Obat yang memerlukan pengaturan dosis teliti
Obat antidiabetes oral, antihipertensi
·         Penginduksi enzim
Asap rokok, barbiturat (contoh fenobarbital), fenitoin, griseofulvin, karbamazepin, rifampisin
·         Penghambat enzim
Amiodaron, diltiazem, eritromisin, fluoksetin, ketokonazol, metrodinazol, natrium valproat, simetidin, ciprofloksasin., verapamil.

Pencegahan terhadap interaksi obat Farmakokinetik dan Framakodinamik :
1.      Hindari kombinasi obat yang berinteraksi dan jika dibutuhkan pertimbangan obat pengganti
Jika terjadi resiko interaksi pemakaian obat daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada interaksi obat tersebut apakah merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang sepsifik.
Contoh :
Kortikosteroid dengan obat diuretic dapat menyebabkan kehilangan banyak kalium sehingga tubuh menjadi lemas, aritmia jantung, tekanan darah rendah
Pencegahannya adalah dapat menggunakan diuretic hemat kalium untuk menghindari interaksi obat yang terjadi.
Simetidin memperlambat metabolisme hepatic oksidatif obat dengan mengikat mikrosomal sitokrom P450 (menghambat enzim) sedangkan antagonis H2 yang lain, Ranitidin tidak bermakna dalam menghambat metabolisme hepatic mikrosomal obat.

2.      Sesuaikan dosis obat saat memulai atatu menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan interaksi yaitu dengan cara pengurangan dosis ( jika terjadi toksik), peningkatan dosis (jika terjadi pengurangan khasiat)
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuain obat dilakukan apada saat mulai atau menghentikan penggunaan bat yang menyebabkan interaks.
·         Penurunan dosis
Penggunaan atropine dengan CTM menyebabkan efek yang sinergis, dapat menimbulkan efek mulut kering lebih hebat. Dikarenakan CTM juga memiliki efek antikolinergik yang kuat, penggunaan obat ini secara bersamaan dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah sehingga menimbulkan sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain, untuk menghindarinya dosis harus dikurangi.
Dosis pemiliharaan glikosida jantung digoksin harus dikurangi menjadi setengahnya pada saat kita mulai memberikan Amiodaron (Antiaritmia).

·         Peningkatan dosis
Kombinasi fenitoin dengan asam folat dapat menyebabkan efek asam folat berkurang akibatnya kemungkinan dapat terjadi defisiensi asam folat. Untuk menghindarinya dapat digunakan tambahan vitamin yang mengandung 1 mg asam folat. Tetapi jika asam folat terlalu banyak akan dapat menurunkan efek dari fenitoin.

3.      Lakukan pemantauan kondisi klinis pasien dan jika perlu ukur kadar obat dalam darah
Pemantauan diperlukan untuk pasien yang menggunakan obat pada penykit-penyakit tertentu, obat yang  indeks terapi sempit, yang respon segaranya sulit diperkirakan, dan bila kadar obat dalam darah dan efek terapi diperkirakan saling berhubungan.
Contoh : hipoglikemia agent dengan fenilbutazon
Mekanisme ;
Fenilbutazon dapat menghambat ekskresi renal dari Glibenklamid, Tolbutamid dan metabolit aktif dari acetoheksamid sehingga obat itu tertahan dalam tubuh lebih lama dan efek dari hipoglikemik meningkat dan diperpanjang. Fenilbutazon ini dapat menhambat metabolism dari sulfonamide. Cara pencegahannya penggunaan obat (fenilbutazon dengan hipoglikemia agent) secara bersama-sama harus dipantau.

4.      Interval waktu antara obat dengan makanan
Contoh :penggunaan tetrasiklin dengan obat pencahar, susu, dan Fe dapat menyebabkan interaksi dengan menurunkan efek dari tetrasiklin. Cara pencegahannya adalah jangan menelan secara bersama-sama dalam jangka waktu dua jam. Sebaiknya di minum di antara dua waktu makan

5.      Lanjutkan pengobatan seperti sebelumnya bila kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi yang terjadi tidak bermakna secara klinis.

Pencegahan interaksi farmasetik:
ü  obat intravena diberikan secara suntikan bolus
ü  hindari pemberian obat lewat cairan infuse kecuali cairan glukosadansalin
ü  hindari pencampuran obat dalam cairan infuse atau jarum suntik
ü  bacalah petunjuk pemakain obat dari brosurnya
ü  mencampur cairan infuse dengan seksama dan amati adanya perubahan. Tdk ada perubahan belum tentu tdk ada interaksi
ü  Penyiapan larutan obat hanya kalau diperlukan
ü  Bila lebih dari 1 obat yang diberikan secara bersamaan, gunakan jalur infuse yang berbeda kecuali yakin tidak ada interaksi
ü  Jam pencampuran obat dan cairan infu harus dicatat dalam label. Dan tuliskan infuse harus habis

Contoh interaksi obat dan Cara pencegahannya :
a.    Interaksi Obat Diare Dengan Beberapa Obat Dan Cara Pencegahannya
1.      Adsorben dengan digoksin
Bila kedua obat ini digunakan secara bersamaan maka efek digoksin dapat berkurang. Adsorben mengurangi kemampuan tubuh untuk menyerap digoksin,digoksin adalah obat yang digunakan untuk mengobati layu jantung atau menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur. Akibatnya: Kondisi penderita tidak terkendali dengan baik,untuk mencegah interaksi ini jarak penggunaan digoksin dengan adsorben tidak boleh kurang dari dua jam.
2.      Adsorben dengan klindamisin/lincomisin
Bila digunakan secara bersamaan maka efek dari klindamisin atau lincomisin bisa berkurang. Adsorben mengurangi kemampuan tubuh untuk menyerap kedua obat ini,klindamisin maupun lincomisin merupakan antibiotika yang dicadangkan untuk mengobati beberapa jenis infeksi berbahaya jika penicillin tidak dapat digunakan atau jika pasien alergi terhadap penisillin. Akibatnya: Infeksi yang sedang ditangani kemungkinan tidak bisa sembuh. Untuk mencegah atau mengurangi interaksi sebaiknya adsorben digunakan dengan jarak tiga atau empat jamdari waktu penggunaan antibiotika ini.


3.      Difenoksilat(lomotil) dengan digoksin
Bila digunakan secara bersamaan maka efek dari digoksin dapat meningkat. Dengan memperlambat gerakan usus halus difenoksilat menaikkan penyerapan digoksin oleh tubuh Digoksin digunakan untuk mengobati layu jantung atau menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur ,Akibatnya efek samping merugikan terjadi karena terlalu banyak digoksin. Gejalanya antara lain : mual,sakit kepala,tidak ada nafsu makan,gangguan penglihatan, bingung,tak bertenaga,bradikardia,atau takhikardia,dan aritmia jantung. Efek ini dapat diperkecil bila obat jantung yang digunakan merupakan obat yang mudah larut seperti lanoxin.
4.      Loperamida dengan digoksin
Bila kedua obat ini digunakan secara bersamaan maka efek digoksin dapat meningkat. Dengan memperlambat gerakan usus halus loperamida menaikkan penyerapan digoksin oleh tubuh. Digoksin digunakan untuk mengobati layu jantung dan menormalkan kembali denyut jantung yang tidak teratur. Akibatnya: Efek samping merugikan mungkin dapat terjadi karena terlalu banyak digoksin. Gejalanya antara lain: Mual,sakit kepala,tak ada nafsu makan, gangguan penglihatan, bingung,tak bertenaga,bradikardia,takhikardia,aritmia jantung. Efek ini dapat diperkecil bila bila obat jantung yang digunakan adalah obat yang mudah larut seperti lanoxin.
b.    Warfarin dan Simetidin
Interaksi yang terjadi yaitu farmakokinetik (penghambatan enzim) Simetidin dapat menghambat enzim hepatic yang terlibat dalam metabolisme dan klirens warfarin ; jadi efek warfarin diperpanjang dan meningkat.
Makna klinis yang terjadi adalah warfarin memiliki entang terapi yang sempit dan penggunaan anti koagulan yang berlebihan dapat menyebabakan perdarahan yang serius.
Saran untuk interaksi ini yaitu dapat dilakukan dengan pemeriksaan nilai INR (International Normalized Ratio) secara rutin dan bila mungkin mengurangi dosis Warfarin. Pilihan lain dapat menggunakan antagonis  H2 lain seperti Ranitidin yang tidak berinteraksi dengan Warfarin.
c.    Penghambat enzim pengubah angiotensin dan diuretika hemat kalium
Interaksi yang terjadi yaitu farkodinamik (gangguan kesetimbangan cairan dan elektrolit). Penghambat  enzim pengubah angiotensin dan diuretika hemat kalium keduanya dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah.
Makna klinis yang terjadi yaitu kombinasi obat ini, bersama dengan gagal ginjal (renal failure) dan dehidrasi dapat menyebabkan hiperkaliemia. Hal ini dapat mengancam jiwa, mnyebabkan aritmia jantung (cardiac arrhythmias) dan akhirnya asystolic cardiac arrest.
Saran untuk interaksi ini dengan diuretika hemat kalium harusnya diberikan bersama dengan penghambat enzim pengubah angiotensin, kecuali jika kadar kalium dalam darah dipantau dengan baik. Bila perlu dosis dikurangi, atau salah satu obat dihentikan pemakaiaannya, misalnya dengan menggunakan loop diuretic (yang dapat menyebabkan hipokalemia) dan pertimbangkan pula untuk menggunakan kaptopril( penghambat enzim pengubah angiotensin yang hasil kerjanya pendek)pada pasien yang fungsi ginjalnya jelek
d.   Digoksin dan amiodaron
Interaksi yang terjadi farmakodinamik yaitu(meskipun belum diketahui  secara pasti). Amiodaron mengurangi ekskresi digoksin baik yang melalui ginjal maupun yang bukan ginjal, amiodaron menyebabkan pendesakan digoksin dari jaringan dan tempat ikatan protein plasma.
Makna klinis yang terjadi yaitu meningkatkan kadar digoksin dalam darah. Interaksi ini terdokumentasi sebagai interaksi klinis yang penting. Hal ini terjadi setelah beberapa hari dan berkembang dalam waktu 1 sampai 4 minggu. Kadar digoksin dalam darah normal berkisar antara 0,8 – 2,0 mg/L. Jika kadar digoksin dalam darah lebih besar dari nilai normal maka akan terjadi toksisitas digoksin ( anoreksia, mual, muntah, diare, aritmia, gangguan penglihatan, kebingungan dan penyumbatan jantung.
Saran: dosis digoksin perlu diturunkan hingga 1/3 atau ½ nya bila amiodaron diberikan pada pasien dengan pengobatan digoksin. Kemudian dilakukan penyesuain dosis kembali sesudah 1 atau 2 minggu atau satu bulan, oleh karena itu efek interaksi ini akan menetap untuk beberapa minggu setelah penghentian amiodaron. Pengurangan dosis amiodaron mungkin diperlukan tetapi harus dilakukan secara perlahan – lahan dan bertahap turun setiap minggunya dan disesuaikan dengan kondisi dan pasiennya.
e.    Eritromisin dan teofilina
Tipe interaksi obat : Farmakokinetik (penghambatan enzim). Eritromisina menghambat metabolisme teofilina oleh hati; oleh sebab itu eritromisina mengurangi klirens teofilina dan meningkatkan konsentrasi teofilina dalam darah.
Makna klinis : Efek ini telah terdokumentasi dengan baik dan sudah dikenal. Pasien tertentu mempunyai resiko tinggi menghasilkan kadar teofilina tinggi dalam darah. Pasien yang kadar teofilin dalam darahnya sudah tinggi atau pasien yang memperoleh pengobatan dengan teofilina dosis tinggi, merupakan pasien berisiko tinggi. Teofilina mempunyai rentang  terapi sempit; konsentrasi teofilina dalam plasma berkisar antara 10 – 20 mg/liter diperlukan untuk memperoleh efek bronkodilatasi yang memuaskan. Kadar teofilina dalam plasma yang lebih besar dari nilai tersebut dapat menyebabkab toksisitas, misalnya takikardia, palpitasi, mual, gangguan pencernaan, insomnia, aritmia dan konvulsi.
Saran : pemantauan kadar teofilina dalam darah diperlukan untuk menentukan apakahpasien tersebut berisiko mengalami keracunan akibat interaksi obat. Dokter seharusnya diberitahu untuk memantau kondisi pasien dan memperhatikan bilamana pasien tersebut mualdan muntah. Disarankan untuk mengurangi dosis teofilina bila pasien tersebut memperoleh pengobatan dengan eritromisina, namun semuanya bergantung pada kadar teofilina dalam darah.
f.     Makanan yang mengandung kalsium dan tetrasiklin
Tipe interaksi obat :: Tetrasiklin mempunyai afinitas yang kuat pada kation divalen dan trivalen.  Kation kation tersebut meliputi ion kalsium (Ca2+) yang terdapat dalam makanan yang mengandung kalsium (juga dalam susu); Ion aluminium dan magnesium yang terdapat dalam antasida dan ;ion besi ,yang terdapat dalam multivitamin. Kelat (chelates) yang jadi akibat interaksi ion- tetrasiklin misalnya kelat kalsium tetrasiklin, lebih sulit diabsorbsi dari saluran pencernaan. Jadi kadar tetrasiklin dalam plasma lebih rendah dan aktivitas antibakterinya berkurang.
Makna klinis : merupakan interaksi yang sudah dikenal. Pengurangan kadar tetrasiklin dalam plasma dapat mencapai 50-80 %, menghasilkan efek antibiotika yang dapat diabaikan (tidak efektif).
Saran : pemberian tetrasiklin dan makanan yang mengadung kalsium (atau antasida yang mengandung kalsium, aluminium, magnesium) harus dipisah. Biasanya, pasien disarankan untuk minum tetrasiklin satu jam sebelum makanan. Untuk mengatasi efek iritasi pada lambung, pasien disarankan untuk minum banyak air. Sebagai tambahan ada kemungkinan organisme penyebab infeksi sensitif terhadap antibiotika  yang lain, sehingga lebih baik menggunakan antibiotika lain daripada menggunakan tetrasiklin.

Pasien Yang Rentan Terhadap Interaksi Obat
·         Orang lanjut usia
·         Orang yang minum lebih dari satu macam obat
·         Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
·         Pasien dengan penyakit akut
·         Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
·         Pasien yang memiliki karakteristik genetic  tertentu
·         Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter
Pasien lanjut usia mempunyai resiko yang lebih tinggi , karena :
·         Lebih berkemungkinan memperoleh terapi berbagai macam obat sehingga berpotensi gangguan fungsi ginjal dan hati.
·         Kepatuhan pasien yang kurang
·         Adanya gangguan degenerative yang mempengaruhi banyak sistem dan mengganggu mekanisme kompensasi homeostatic.
Contohnya, obat golongan diuretic dapat mengurangi ekskresi litium, pasien dapat distabilisasi dengan baik pada pengobatan kombinasi. Tetapi penyakit ikutan yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit dapat mengubah kadar litium dalam plasma, sehingga menyebabkan hilangnya efek atau toksisitas litium.
Penanggulangan interaksi obat
1.      Penambahan senyawa dari makanan
Contoh :
-          Fenitoin dengan vitamin D dapat menyebabkan efek vitamin D berkurang, akibatnya terjadi defisiensi yang menimbulkan riketsia pada anak-anak. Cara penanggulangannya adalah memakan makanan yang kaya vitamin D dan cukup terkena sinar matahari.
2.      Mengeluarkan obat dari saluran cerna dengan cara merangsang muntah atau emesis, lavage, laksansia dan adsorben (contoh : norit, bersifat menyerapa racun dan zat-zat lain dilambung).
3.      Dialisis
Adalah suatu proses untuk membersihkan darah berguna untuk menghilangkan atau mengurangi zat-zat sisa metabolisme yang berbahaya










DAFTAR PUSTAKA

1.      InfoPOM BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK  INDONESIA.Volume : IV Edisi 5: Mei 2003
2.      Pharmaceutical care untuk penyakit Diabetes Mellitus Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DIRJEN Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DEPKES RI 2005
3.      Oral Antidiabetic Agents [Developed - April 1994; September 1995 revised; June 1996; June 1997; June 1998; July 1999; June 2000; June 2001; September 2001; July 2002; June 2003; October 2007revised; November 2007, February 2008] MEDICAID DRUG USE REVIEW CRITERIA FOR OUTPATIENT USE
4.      Anonim., InfoPOM Antidiabetik Oral, Volume : IV Edisi 5: Mei 2003, Badan Pengawasan Makanan dan Obat.
5.      Stockley. I.H., Stockley’s Drug Interactions, 2005, University of Nottingham Medical School, Nottingham, UK, Pharmaceutical Press.
6.      http://www.hsc.virginia.edu/uvahealth/adult_nontrauma/fooddrug.cfm diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 11:00 WIB.
7.      www.pom.go.id Pusat Informasi Obat Nasional diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 11:14 WIB.
9.      http://www.mayoclinic.com/health/maois/MH00072/NSECTIONGROUP=2 diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 15:43 WIB.
10.  Anonim. Farmakologi Dan Terapi, edisi 4.1995. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran – Universitas Indonesia.
11.  Ivan H. Stockley. Stockley’s Drug Interactions. UK, Nottingham: University of Nottingham Medical School.
12.  Mansoer, Soewarni. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Bagian farmasi FK UNSU.
13.  Suwandi, Usman. 1992. Mekanisme Kerja Antibiotik. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar