BAB
I
PENDAHULUAN
A.latar belakang
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme
yang bekerjamelindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi danmembunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas
patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik.Selain dapat
menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapatmenyebabkan penyakit,
diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitasadalah respon imun
yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitasterbagi menjadi
empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksihipersensitif, yaitu
reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.
Autoimunitas adalah
kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri
sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan
tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang
diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas sering
disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan
demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan.
Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit
seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE),
sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit
Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan
alergi.
Kesalahpahaman bahwa
sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak mampu mengenali antigen diri
bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad kedua puluh, mengajukan konsep
autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap
yang sendiri jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap
menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia.
Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral dari
sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut ‘autoimunitas alami’),
biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena toleransi imunologi diri
antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan alloimmunity .
Sistem imun tubuh telah
berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan
membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja
timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons
imun terhadap antigen diri yang dianggap asing.
B.TUJUAN
1.memahami
definisi dari hipersensitivitas
2.
mengetahaui pembagian hipersensitivitas itu srndiri
3.supaya
bisa memahami perbedaan tipe hipersensitivitas
4.
memahami asuhan keperawatan pada hipersensitivitas
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
hipersensitivitas
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik,
terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi
4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe
I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan
Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
a.
hipersensitivitas
tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga
sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan
dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai
dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30
menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan
untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan
intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan
kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).
Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik
seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu
b.
Hipersensitivitas
Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan
oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk
melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan
terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan
antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada
target sel
Hipersensitivitas
dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe
dari hipersensitivitas tipe II adalah:
Pemfigus
(IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
Anemia
hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi
antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan
lisis sel darah merah), dan
Sindrom
Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal.
c.
Hipersensitivitas
Tipe III
Hipersensitivitas
tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya
pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar
dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang,
kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran,
atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi
terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita
penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar
pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak
Patogenesis
kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan
antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya
artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam
dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya
kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi
Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan
sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju.
d.
Hipersensitivitas
Tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal
sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat
(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel
T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan
diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan
leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).[5]
Hipersensitivitas tipe IV dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala,
serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat
pada tabel di bawah ini
Tipe
Waktu reaksi Penampakan klinis Histologi Antigen dan situs
Kontak 48-72 jam Eksim (ekzema) Limfosit,
diikuti makrofag; edema epidermidis Epidermal (senyawa organik, jelatang atau
poison ivy, logam berat , dll.)
Tuberkulin
48-72 jam Pengerasan (indurasi) lokal Limfosit, monosit, makrofag Intraderma (tuberkulin, lepromin, dll.)
Granuloma
21-28 hari Pengerasan Makrofag, epitheloid dan sel raksaksa, fibrosis Antigen
persisten atau senyawa asing dalam tubuh (tuberkulosis, kusta, etc.)
Jenis
Hipersensitivitas
|
Mekanisme
Imun Patologik
|
Mekanisme
Kerusakan Jaringan dan Penyakit
|
Tipe I
Hipersensitivitas cepat
|
IgE
|
Sel mast dan mediatornya (amin vasoaktif,
mediator lipid, dan sitokin)
|
Tipe II
Reaksi melalui antibodi
|
IgM, IgG terhadap permukaan sel atau matriks antigen
ekstraseluler
|
Opsonisasi & fagositosis sel
Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas
pengaruh komplemen dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor
hormone)
|
Tipe III
Kompleks imun
|
Kompleks imun (antigen dalam sirkulasi dan IgM atau
IgG)
|
Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh komplemen
dan Fc-R
|
Tipe IV (melalui sel T)
Tipe IVa
Tipe Ivb
|
|
|
B. Mekanisme Alergi ─ Hipersensitivitas
Hipersensitivitas
terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah
antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai
anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau
sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks
et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi adalah sebagai berikut:
- Fase
Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel
mast dan basofil.
- Fase
Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan
ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
- Fase
Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan
aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat
dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke
sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap
semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang
disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi
oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop
yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor
IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada
makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.
C. Nutrisi dan Alergi
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi
yang berbahaya. Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat
bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target: kulit (urtikaria,
angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma), saluran cerna
(nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik)
(Rengganis dan Yunihastuti, 2007). Urtikaria akibat alergi makanan biasanya
timbul setelah 30-90 menit setelah makan dan biasa disertai gejala lain
seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu, bronkospasme, hingga gangguan
vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE (Baskoro et.al, 2007).
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk
menimbulkan reaksi alergi. Alergen dalam makanan terutama berupa protein yang
terdapat di dalamnya. Namun, tidak semua protein dalam makanan mampu
menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi pada orang dewasa adalah
kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab alergi tersering pada
anak adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar
alergi hilang setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan
eliminasi makanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan kerang cenderung
menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang sangat lama.
Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama
dalam codfish adalah Gad c1 telah diisolasi dari fraksi miogen. Udang
mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai alergen utama. Otot
udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a1 (tropomiosin).
Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi
melalui IgE dan menunjukkan manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan
saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkan oleh pelepasan histamine, leukotrien,
prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan dapat menimbulkan efek luas,
berupa respon urtikaria di seluruh tubuh, karena distribusi random IgE pada sel
mast yang tersebar di seluruh tubuh (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). .
D. Penegakan Diagnosis Penyakit Alergi
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita
penyakit alergi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan
terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi.
Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain
juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur
penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.
1) Riwayat
Penyakit.
Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya
keterkaitan penyakit dengan alergi.
2) Pemeriksaan
Fisik.
Pemeriksaan
fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit
alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan
difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3) Pemeriksaan
Laboratorium.
Dapat
memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun tidak untuk menetapkan
diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan
hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4) Tes
Kulit.
Tes kulit berupa
skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab
keluhan pasien.
5) Tes
Provokasi.
Adalah tes
alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingga
timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan
ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat
berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Tanjung dan Yunihastuti,
2007).
E. Penatalaksanaan Penyakit Alergi
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan
lini pertama, kedua, dan ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan
antihistamin berupa AH1 klasik yang bekerja dengan menghambat kerja
histamin. Pengobatan lini kedua adalah dengan penggunaan kortikosteroid,
sementara pengobatan lini ketiga adalah penggunaan imunosupresan (Baskoro
et.al, 2007)
BAB
III
ASKEP
HIPERSENSITIVITAS(dermatitis)
A. Pengkajian
A.
Biodata
Biodara terdiri dari nama, jenis
kelamin. Umur, agama, suku bangsa, pendidkan pendapatan pekerjaan,nomor akses,
alamat dan lain- lain
Dermatitis kontak dapat terjadi pada
semua orang di semua umur sering terjadi pada remaja dan dewasa muda dapat
terjadi pada pria dan wanita.
Bila
dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis
kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat
peka (hipersensitif). Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh
penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak alergik kira-kira hanya
20%. Sedangkan insiden dermatitis kontak alergik terjadi pada 3-4% dari
populasi penduduk. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi namun
dermatitis kontak alergik lebih jarang dijumpai pada anak-anak. Lebih sering
timbul pada usia dewasa tapi dapat mengenai segala usia. Prevalensi pada wanita
dua kali lipat dari pada laki-laki.
Bangsa kaukasian lebih sering terkena dari pada ras bangsa lain.
Nampaknya banyak juga timbul pada bangsa Afrika-Amerika namun lebih sulit
dideteksi. Jenis pekerjaan merupakan hal penting terhadap tingginya insiden
dermatitis kontak.
B.
Riwayat Kesehatan
a)
Riwayat Kesehatan Sekarang
1.
Keluhan Utama
Pada kasus dermatitis kontak biasanya
klien mengeluh kulitnya terasa
gatal serta nyeri.Gejala
yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan kesehatan adalah
nyeri pada lesi yang timbul.
2.
Riwayat keluhan utama
Provoking Inciden, yang menjadi faktor
presipitasi dari keluhan utama. Pada beberapa kasus dematitis kontak timbul Lesi kulit ( vesikel ),terasa panas
pada kulit dan kulit akan berwarna merah, edema yang diikuti oleh pengeluaran
secret. Kembangkan pola PQRST pada
setiap keluhan klien
b)
Riwayat Kesehatan masa Lalu
Seperti apakah klien
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya, apakah pernah menderita alergi serta
tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya selain itu perlu juga dikaji
kebiasaan klien.
c)
Riwayat Kesehatan keluarga
Apakah ada salah seorang anggota
keluarganya yang mengalami penyakit yang sama, tapi tidak pernah ditanggulangi
dengan tim medis. Dermatitis pada sanak saudara khususnya pada masa kanak-kanak
dapat berarti penderita tersebut juga mudah menderita dermatitis atopik
B. Diagnosa keperawatan
1.
Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan fungsi barier
kulit
2.
Nyeri dan gatal yang berhubungan dengan lesi kulit
3.
perubahan pola tidur yang berhubungan dengan pruritus
4.
Perubahan citra tubuh yang berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik.
5.
Kurang pengetahuan tentang perawatan kulit dan cara – cara menangani kelainan
kulit.
6.
Resiko infeksi berhubungan dengan lesi, bercak – bercak merah pada kulit
C. Rasional
DX I
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
1.
pantau keadaan kulit pasien
2.
Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera termal akibat penggunaan
kompres hangat dengan suhu yang terlalu tinggi dan akibat cidera panas yang
tidak terasa ( bantalan pemanasan, radiator )
3.
Anjurkan pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
Kolaborasi
4.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti histamine dan salep kulit
|
Mandiri
|
DX 2
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
1.
Periksa daerah yang terlibat
2.
Upaya untuk menemukan penyebab gangguan rasa nyaman
3.
Mencatat hasil – hasil observasi secara rinci dengan memakai terminology
deskriptif
4.
Mengantisipasi reaksi alergi yang mungkin terjadi ; mendapatkan riwayat
pemakaian obat.
5.
Kendalikan factor – factor iritan
6.
Pertahankan kelembaban kira – kira 60 % ; gunakan alat pelembab.
7.
Pertahankan lingkungan dingin
8.
Gunakan sabun ringan ( Dove ) atau sabun yang dibuat untuk kulit sensitive (
Neutrogena, Avveno ).
9.
Lepaskan kelebihan pakaian atau peralatan di tempat tidur.
10. Cuci linen tempat tidur
dan pakaian dengan sabun ringan
11. Hentikan pemajanan
berulang terhadap detergen, pembersih, dan pelarut.
12. Gunakan tindakan
perawatan kulit untuk mempertahankan integritas kulit dan meningkatkan
kenyamanan pasien.
13. lakukan kompres penyejuk
dengan air suam – suam kuku ataukompres dingin guna meredakan rasa gatal.
14. Atasi kekeringan (
serosis ) sebagaimana dipreskripsikan.
Kolaborasi:
15. Oleskan lotion dan krim kulit segera setelah mandi
16. Gunakan terapi topical seperti yang dipreskripsikan.
17. Anjurkan pasien untuk menghindari pemakaian salep ayau
lotion yang dibeli tanpa resep dokter.
18. Jaga agar kuku selalu terpangkas.
|
Mandiri
Kolaborasi
|
DX 3
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri :
1.
Bantu pasien melakukan gerak badan secara teratur
2.
jaga kamar tidur agar tetap memiliki ventilasi dan kelembaban yang baik.
Kolaborasi:
|
Mandiri :
3.
Pruritus noeturnal mengganggu tidur yang normal.
4.
Tindakan ini mencegah kehilangan air. Kulit yang kering dan gatal biasanya
tidak dapat disembuhkan tetapi bisa dikendalikan.
5.
Kafein memiliki efek puncak 2 – 4 jam sesudah dikonsumsi.
6.
Tindakan ini memudahkan peralihan dari keadaan terjaga menjadi keadaan
tertidur.
|
DX 4
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
1. Kaji adanya gangguan pada citra
diri pasien ( menghindari kontak mata, ucapan yang merendahkan diri sendiri,
ekpresi keadaan muak terhadap kondisi kulitnya ).
2. Identifikasi stadium psikososial
tahap perkembangan.
3. Berikan kesempatan untuk
pengungkapan. Dengarkan ( dengan cara yang terbuka, tidak menghakimi ) untuk
mengekspresikan berduka / ansietas tentang perubahan citra tubuh.
4. Nilai rasa keprihatinan dan
ketakutan pasien. Bantu pasien yang cemas dalam mengembangkan kemampuan untuk
menilai diri dan mengenali serta mengatasi masalah.
5. dorong sosialisasi dengan orang
lain
|
Mandiri:
1.
Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan yang tampak
nyata bagi pasien. Kesan sesorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh
pada konsep diri
2.
Terhadap hubungan antara stadium perkembangan, citra diri dan reaksi serta
pemahaman pasien terhadap kondisi kulitnya
3.
Pasien membutuhkan pengalaman yang harus didengarkan dan dipahami.
4.
Tindakan ini memberikan kesempatan pada petugas kesehatan untuk menetralkan
kecemasan yang tidak perlu terjadi dan memulihkan realitas situasi. Ketakutan
merupakan unsure yang merusak adaptasi pasien.
5.
Meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.
|
DX 5
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Tentukan apakah pasien mnegetahui ( memahami dan salah mengerti ) tentang
kondisi dirinya.
2.
Jaga agar pasien mendapatkan informasi yang benar ; memperbaiki kesalahan
konsepsi / informasi
3.
Peragakan penerapan terapi yang diprogramkan ( kompres basah ; obat topical )
4.
Berikan nasihat kepada pasien untuk menjaga agar kulit tetap lembab dan fleksibel
dengan tindakan hidrasi dan pengolesan krim serta lotion kulit.
5.
Dorong pasien untuk mendapatkan status nutrisi yang sehat
|
1.
Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan
2.
Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang dapat mereka perbuat.
Kebanyakan pasien merasakan manfaatnya.
3.
Memungkinkan pasien memperoleh kesempatan untuk menunjukkan cara yang tepat
unutk melakukan terapi.
4.
Stratum korneum memerlukan air agar fleksibilitas kulit tetap terjaga.
Pengolesan krim atau lotion untuk melembabkan kulit akan memcegah agar kulit
tidak menjadi kering, kasar, retak, dan bersisik.
5.
Penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang. Perubahan pada kulit
dapat menandakan status nutrisi yang abnormal.
|
DX 6
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Miliki indeksi kecurigaan yang tinggi terhadap suatu infeksi pada pasien yang
system kekebalannya teganggu.
2.
Berikan petunjuk yagn jelas dan rinci kepada pasien mengenai program terapi
3.
Laksanakan pemakaian kompres basah seperti yang diprogramkan untuk mengurangi
intensitas inflamasi
|
1.
Setiap keadaan yang mneggangu status imun akan memperbesar resiko terjadinya
infeksi kulit.
2.
Pendidikan pasien yang efektif bergantung pada ketrampilan – ketrampilan
interpersonal professional kesehatan dan pada pemberian instruksi yang jelas
yang diperkuat dengan instruksi tertulis.
3.
Kompres basah akan menghasilkan pendinginan lewat pengisatan yang menimbulkan
vasokontriksi pembuluh drah kulit dan dengan demikian mengurangi eritema
serta produksi serum.
|
D. Evaluasi
Ø Diagnosa I
1.
Tidak adanya
maserasi.
2. Tidak ada tanda – tanda
cedara termal.
3. Tidak ada infeksi.
4. Memberikan obat topikal
yang diprogramkan
Ø Diangnosa II
1. Mencapai peredaran
gangguan rasa.
2. Mengutarakan dengan kata
– kata bahwa gatal telah reda.
3. Memeperlihatkan tidak
adanya gejala ekskoriasi kulit karena garukan.
4. Mematuhi terapi yang
diprogramkan.
5. Pertahankan keadekuatan
hidrasi dan lubrikasi kulit.
6.
Menunjukan
kulit utuh; kulit menunjukan kemajuan dalam penampilan yang sehat.
Ø Diagnosa III
1.
Mencapai tidur
yang nyenyak.
2. Melaporkan peredaran
rasa gatal.
3.
Mempertahankan
kondisi lingkungan yang tepat.
4. Menghindari konsumsi
kafein pada sore hari dan menjelang tidur malam hari.
5. Mengenali tindakan untuk
meningkatkan tidur.
Ø Diagnosa IV
1. Mengalami Mengembangkan
peningkatan kemampuan untuk menerima diri sendiri.
2. Mengikuti dan turut
berpartisipasi dalam tindakan perawatan mandiri.
3. Melaporkan perasaan
dalam mengendalikan situasi.
4. Menguatkan kembali
dukungan positif dari diri sendiri
5. Mengutarakan
perhatian terhadap diri sendiri yang sehat.
6. Tampak tidak begitu
memperhatikan kondisi.
7.
Menggunakan tekhnik menyembunyikan kekurangan dan menekankan teknik
untuk meningkatkan penampilan.
Ø Diagnosa V
1. pola tidur / istirahat
yang memuaskan
2. Perubahan
citra tubuh yang berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik.
3. Kurang pengetahuan tentang perawatan
kulit dan cara – cara menangani kelainan kulit. Memiliki
pemahaman terhadap perawatan kulit.
4.
Mengikuti
terapi seperti yang diprogramkan dan dapat mengungkapkan rasional tindakan yang
dilakukan.
5.
Menjalankan
mandi, pencucian, barutan basah sesuai yang diprogramkan.
6. Gunakan obat tropikal
dengan tepat.
7.
Memahami
pentingnya nutrisi untuk kesehatan kulit.
Ø Diagnosa VI
1. Tetap
bebas dari infeksi.
2.
Mengungkapkan tindakan perawatan kulit yang meningkatkan kebersihan dan
mencegah kerusakan.
3.
Mengidentifikasikan tanda dan gejala infeksi untuk dilaporkan.
4.
Mengidentifikasi efek merugikan dari obat yang harus dilaporkan ke petugas
perawatan kesehatan.
5. Berpartisipasi
dalam tindakan perawatan kulit ( misalnya mandi, dan penggantian balut ).
BAB
IV
PENUTUP
a. kesimpulan
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang
bekerjamelindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi
danmembunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas
dapat berlangsung dengan baik.Selain dapat menghindarkan tubuh diserang
patogen, imunitas juga dapatmenyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas
dan autoimun. Hipersensitivitasadalah respon imun yang merusak jaringan tubuh
sendiri.
Autoimunitas adalah
kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya
sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan
jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang
menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas
sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan
dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan
jaringan.
b.saran
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and
Suddarth.2001.Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Harahap,
Marwali, dkk. 2000. Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit. Bandung: Alumni
Fritz
H. Kayser (2004). Medical Microbiology. Thieme. ISBN 978-1-58890-245-0.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar