PERAN KELUARGA TERHADAP TUMBANG ANAK
Saat di layar televisi kita melihat
berbagai tindak kekerasan, pelecehan seksual dan tindak kriminal lainnya yang
terjadi baik dalam keluarga maupun di lingkungan lain, maka muncul pertanyaan
di benak kita : ”Apa yang terjadi dengan bangsa kita ? Pertanyaan yang sama
juga muncul ketika kita mengetahui berbagai tindak KKN di lingkungan
pemerintahan, BUMN, atau perusahaan swasta yang merugikan keuangan negara dalam
hitungan yang tidak terbayangkan. Bahkan ketika gaji kita dipotong tanpa alasan
yang jelas atau kepangkatan kita tertunda hanya karena kurang komisi. Apa yang
didengar, dilihat dan dialami oleh kita tersebut mengacu kepada satu hal, yaitu
karakter.
Karakter dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perkembangannya
Karakter didefinisikan secara
berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai
penilaian subyektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang lainnya
menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja,
sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi
terhadap intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon
(1983) mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap
kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau
tidak dapat diterima oleh masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003),
kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan
Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong;
(6) Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8)
Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Jadi, menurut
Ratna Megawangi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki
kesembilan pilar karakter tersebut.
Karakter, seperti juga kualitas diri
yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada
setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan
(nurture). Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki
potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk
potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini,
Confusius – seorang filsuf terkenal Cina - menyatakan bahwa manusia pada
dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak
diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka
manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi,
2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan
nilai-nilai kebajikan - baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih
luas - sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jika sosialisasi dan pendidikan (faktor
nurture) sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya
hal itu dilakukan ? Menurut Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan
karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson – yang terkenal dengan
teori Psychososial Development – juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini
Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia,
yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti (dalam
Hurlock, 1981). Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan
pada anak di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki
nilai-nilai kebajikan. Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981)menyatakan bahwa
usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola
penyesuaian personal dan sosial.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa
karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya
dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi
atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum
dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui
sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
Pembinaan Karakter Anak yang Dilakukan
oleh Keluarga
Pada dasarnya, tugas dasar perkembangan
seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia
ini bekerja. Dengan kata lain, tugas utama seorang anak dalam perkembangannya adalah
mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh,
anak harus belajar memahami bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu
(hukum-hukum fisika), seperti : benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau
ke samping (hukum gravitasi bumi); benda tidak hilang melainkan pindah tempat
(hukum ketetapan obyek), dll. Selain itu, anak juga harus belajar memahami
aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga ada hukum dan sanksi yang
mengatur perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Garbarino & Brofenbrenner
(dalam Vasta, 1992), jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa
tersebut harus memiliki aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa
yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil
dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu
ada etika dalam bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial
lainnya. Jika tidak, hidup ini akan ”semrawut” karena setiap orang boleh
berlaku sesuai keinginannya masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain.
Akhirnya antar sesama menjadi saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling
membunuh, sehingga hancurlah bangsa itu.
Memahami ”aturan main” dalam kehidupan
dunia dan menginternalisasikan dalam dirinya sehingga mampu mengaplikasikan
”aturan main” tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya
merupakan tugas setiap anak dalam perkembangannya. Kebiasaan membuang sampah
pada tempatnya, antri, tidak menyeberang jalan dan parkir sembarangan, tidak
merugikan atau menyakiti orang lain, mandiri (tidak memerlukan supervisi) serta
perilaku-perilaku lain - yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap
aturan sosial - merupakan hasil dari perkembangan kualitas moral dan mental
seseorang yang disebut karakter.
Tentu saja kebiasaan baik atau buruk
pada diri seseorang - yang mengindikasikan kualitas karakter ini - tidak
terjadi dengan sendirinya. Telah disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor
nurture juga berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan
yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang
peranan penting, bahkan mungkin lebih penting, dalam pembentukan karakter
seseorang.
Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan
tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan
yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat
berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan
keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media
massa, komunitas bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan
karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang
berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak
mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan
karakter merupakan ”PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih
melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan
bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang
berkarakter baik, sebab menurut Aristoteles (dalam Megawangi, 2003), hal itu
merupakan hasil dari usaha seumur hidup individu dan masyarakat.
a. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan
Utama Pendidikan Karakter Anak
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga
memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka
berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat,
sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka
masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa
berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang
merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari
lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan
tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi
Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai
wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan
kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat
dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna
tercapainya keluarga, sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William
Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan
efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan
Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat,
keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan
sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki
kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa
keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak.
Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka
akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah)
untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan
berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu,
setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat
tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
b. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan
Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan
syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut
Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu
maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.
Maternal bonding (kelekatan psikologis
dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena
aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain
(trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan
menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar
kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama
kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan
sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara
ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan
anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi
pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan
perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh
negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby (dalam Megawangi, 2003),
normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya
ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena
tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah
kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan
anak yang optimal.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan
mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja
hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik
antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat
perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus,
menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia
di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang
gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang
kreatif.
c. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan
Pendidikan Karakter Anak dalam keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan
nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola
asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan
sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan
kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis
(seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma
yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya.
Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak
dalam rangka pendidikan karakter anak.
Secara umum, Baumrind mengkategorikan
pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola
asuh Authoritative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini
hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes
yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh
permisif.
Pola asuh otoriter mempunyai ciri
orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh
bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk
membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua
memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola
asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh
tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pola asuh otoriter mempunyai ciri :
Kekuasaan orangtua domina; Anak tidak diakui sebagai pribadi; Kontrol terhadap
tingkah laku anak sangat ketat; Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh.
Pola asuh demokratis mempunyai ciri :Ada
kerjasama antara orangtua – anak; Anak diakui sebagai pribadi; Ada bimbingan
dan pengarahan dari orangtua; Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
Pola asuh permisif mempunyai ciri :
Dominasi pada anak; Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua; Tidak ada
bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Kontrol dan perhatian orangtua sangat
kurang.
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh
orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola
asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala
keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan
kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola
asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung
jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola
asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan
pendidikan karakter anak oleh keluarga.
Pola asuh otoriter cenderung membatasi
perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga
antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si
otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan
(dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga
dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya
kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung
menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh
terhadap kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif yang cenderung
memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif
bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari
orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi
kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak
bingung dan berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih
kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang
demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan
tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak
mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif
mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut
Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya
cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif
atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak
yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk
mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan.
Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan
tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah,
1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang
efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena : (a) menyebabkan marah dan
frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya perasaan-perasaan
menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu
dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak
pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada; (d)
tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.
Hasil penelitian Rohner (dalam
Megawangi, 2003) menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat
mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasan emosinya).
Penelitian tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection
Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance)
atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi,
perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa
kelak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak
yang diterima adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal
(diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati,
dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala,
pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak
yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar,
sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati),
ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang
tua dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak
mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat
undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas
terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua,
walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan
bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang,
dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh
ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya
diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola
asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang,
dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami
penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau
kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini
akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan
terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa
minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis
pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan
keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan
berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa
kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan
kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang
baik secara verbal maupun fisik.
Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk
anaknya.
Bersikap kasar secara verbal, misainya
menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
Bersikap kasar secara fisik, misalnya
memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
Terlalu memaksa anak untuk menguasai
kemampuan kognitif secara dini.
Tidak menanamkan "good character'
kepada anak.
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh
seperti di atas, menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai
kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.
Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh
orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami
kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika
dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari
orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak
disenangi oleh orang lain.
Secara emosiol tidak responsif, dimana
anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin
menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
Menjadi minder, merasa diri tidak
berharga dan berguna.
Selalu berpandangan negatif pada
lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan
orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak
toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan
sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
Keseimbangan antara perkembangan
emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar,
dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
Orang tua yang tidak memberikan rasa
aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak
menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada
"peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
Penutup
Karakter merupakan kualitas moral dan
mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah -
nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter
yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus
terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
Meskipun semua pihak bertanggung jawab
atas pendidikan karakter calon generasi penerus bangsa (anak-anak), namun
keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak.
Untuk membentuk karakter anak keluarga harus memenuhi tiga syarat dasar bagi
terbentuknya kepribadian yang baik, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan
stimulasi fisik dan mental. Selain itu, jenis pola asuh yang diterapkan orang
tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak di
rumah. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada
kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Kegagalan keluarga dalam melakukan
pendidikan karakter pada anak-anaknya, akan mempersulit institusi-institusi
lain di luar keluarga (termasuk sekolah) dalam upaya memperbaikinya. Kegagalan
keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat
yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki
kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter
anak-anak mereka dalam keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja
Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran
Menonoton Film Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
Coon, Dennis. (1983). Introduction to
Psychology : Exploration and Aplication. West Publishing Co.
http://encyclopedia.thefreedictionary.com.
Diakses tanggal 26 April 2004.
Hurlock, E.B. 1981. Child Development.
Sixth Edition. McGraw Hill Kogakusha International Student.
Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter
untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
Vasta, Ross, at all. (1992). Child
Psychology : The Modern Science. John Wiley & Sons Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar