JURNAL
KEPERAWATAN MATERNITAS
Abstract
Isu tentang pengobatan selama kehamilan mulai diperhatikan
karena fisiologis dari kehamilan mempengaruhi farmakokinetik dari pengobatan
yang digunakan dan beberapapengobatan dapat mencapai fetus dan menyebabkan
gangguan (kerusakan ).Mempelajari pengobatan yang aman dalam
kehamilan dan laktasi adalah suatu tantangan; jadi Food and Drug Administration
(FDA) Amerika membatasi kategori obat beresiko bagi kehamilan, terutama untuk
ibu dalam masalaktasi. Pemahaman yang lebih baik pada peran perubahan
fisiologis selama kehamilan, fungsi plasenta, efek pengobatan pada fetus dan
mekanisme pengangkutan obat ke payudara ibu menyusui dapat membantu
perawat mengajarkan kepada klien mereka baik sebelum masa konsepsi; selama
kehamilan dan masa laktasi. Artikel ini memberikan tunjauan literatur baru
sehingga perawat dapat lebih memperhatikan prinsip dasar keterlibatan
penggunaan obat untuk kehamilan dan wanita menyusui.
Tujuan
Tujuan dari artikel ini adalah untuk memberikan
tinjauan literatur baru dan merangkum prinsip dasar keterlibatan
penggunaan obat untuk kehamilan dan wanita menyusui. Perawat dan mahasiswa
keperawatan mencoba secara hati-hati untuk memberikan informasi tentang
pengobatan dalam kehamilan dan sering berhadapan dengan peringatan nonspesifik
yang menyatakan ”penggunaan obat selama kehamilan tidak dianjurkan
kecuali obat itu mempunyai potensi keuntungan yang lebih jelas daripada potensi
resiko terhadap fetus”. Pengetahuan tentang karakteristik fisiologis yang unik
pada kehamilan dan masa laktasi dalam hubungan dengan cara pemberian obat dan
pengetahuan dari ketersediaan sumber untuk memberikan beberapa informasi
diperlukan untuk membantu memberika perawatan yang terbaik.
Pemahaman tentang pengobatan yang
digunakan selama kehamilan dan masa laktasi dipengaruhi oleh peristiwa sejarah,
termasuk krisis Thalidomide tahun 1960-an dan efek teratogenik yang ditemukan
yang dihubungkan dengan penggunaan Diethystibesterol (DES) tahun 1971
(melton,1999).
Wanita hamil (atau wanita usia
subur) mungkin menggunakan obat untuk terapi (pengobatan) kondisi kronik
seperti epilepsi, hipertensi atau gangguan psikiatrik. Pengobatan mungkin
diresepkan untuk mengobati kondisi selama sakit tetapi tidak berhubngan dengan
kehamilan seperti ; infeksi saluran pernafasan atas/ nyeri muskuloskeletal.
Obat lain yang biasa digunakan untuk pengobatan dengan gangguan yang
dihubungkan dengan kehamilan seperti kehamilan preterm, hipertensi yang dipacu
oleh kehamilan, untuk meningkatkan kematangan servik/menginduksi
kelahiran/untuk mendorong kematangan (maturitas) paru-paru dari fetus yang
dilahirkan preterm. Obat yang biasanya banyak digunakan dalam studi Oklahoma
(Splinter et al., 1997) adalah vitamin, analgesik, sediaan kalsium dan zat besi
serta antibiotik. Pada studi di Eropa (Vigan et al., 1999) obat yang biasanya
digunakan adalah intiinfeksi, antimual dan terapi pengobatan aborsi.
Farmakokinetik dalam kehamilan dan laktasi
Perubahan fiisologis dalam kehamilan
Perubahan fisiologis yang unik dalam
kehamilan berakibat pada farmakokinetik dari obat yang digunakan oleh wanita
hamil. Selama kehamilan, volume plasma wanita meningkat antara 30-50 % dan
cardiac output dan rata-rata filtrasi glomerulus juga meningkat sesuai dengan
proporsinya. Faktor ini mungkin berkontribusi pada rendahnya konsentrasi
beberapa obat saat bersirkulasi (terutama yang di ekskresikan oleh ginjal) pada
wanita hamil dan mungkin pada tingkat subterapeutik obat. Peningkatan lemak
tubuh selama kehamilan mungkin meningkatkan volume dari distribusi obat yang
larut dalam lemak. Penurunan konsentrasi albumin plasma selama kehamilan
meningkatkan volume distribusi dari obat yang berikatan dengan protein tinggi
seperti antikonvulsan dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
(Yankowitz & Niebyl,2001). Loebstein, Lalkin and Koren (1997) menunjukkan
bahwa obat-obat yang tidak berikatan lebih rentan terhadap peningkatan
clearance oleh ginjal dan hati, yang menyeimbangkan efek dari peningkatan
distribusi volume. Penurunan waktu pengosongan gaster yang dihubungkan
dengan efek progesteron yang memungkinkan perubahan absorbsi dari obat,
terutama pada trisemester III, perlambatan waktu efek; maka perlu mempersiapkan
rute intravena yang tepat untuk pengobatan (Yankowitz & Niebyl, 2001). Mual
dan muntah yang dihubungkan dengan kehamilan mungkin juga berefek pada absobsi
obat. Kehamilan yang dihubungkan dengan peningkatan pH gaster akan berefek pada
absorbsi asam lemah dan basa (Loebstein et al. 1997). Bersamaan dengan hal itu
biasanya digunakan obat lain dalam kehamilan seperti antasida dan suplemen
nutrisi seperti vitamin, zat besi yang bisa mengikat dan mengionaktivasi
beberapa obat (Yankowitz & Niebyl,2001). Absorbsi obat IM secara umum lebih
cepat dihubungkan dengan peningkatan aliran darah, yang mempertinggi penyerapan
obat secara sistemik dan lamanya tingkat aksi obat. Tapi terdapat pengecualan
yaitu terjadi keterlambatan pada kehamilan ketika aliran darah ke ektermitas
akan melambat, yang akan berpotensial untuk penurunan absorbsi obat pada area
ektremitas (Yankowitz &Niebyl, 2001). Akhirnya, estrogen dan
progesteron mengganggu aktivitas enzim hepar, yang dapat menambah akumulasi
obat atau mengurangi pengeluaran dari beberapa obat (Hansen & Yankowitz,
2002). Waktu yang paling mudah terjadi gangguan pada fetus adalah setelah
periode embriogenesis, dimana pada akhir minggu ke-2 sampai minggu ke-8 setelah
konsepsi (35-70 hari setelah periode menstruasi terakhir). Paparan oleh
teratogen (agen teratogenik) selama masa ini dapat menghasilkan malformasi
mayor ( Mis: abnormalitas anggota badan, palatoskisis, dan abnormalitas
jantung).
Tranfer obat pada plasenta
Sebagian besar obat dipindahkan dari
sirkulasi maternal kepada sirkulasi fetal dengan difusi. Tingkat tranfer
tergantung pada konsentrasi kimia dari obat seperti derajat ikatan kimia,
disosiasi ion, daya larut lemak dan berat molekul (Kraemer, 1997). Protein
fetal tampak kurang dalam mengikat obat yang ada daripada protein maternal,
dan plasma albumin maternal menurun selama kehamilan, ketika albumin fetal
secara progesif meningkat. Hal ini menghasilkan perbedaan konsentrasi yang
tergantung pada usia kehamilan. Hanya obat yang tidak berikatan yang mampu
untuk melintasi plasenta, oleh karena itu obat-obat yang berikatan (seperti
digoxin dan ampicillin dapat mencapai konsentrasi lebih tinggi
dalam fetus). (Loebstein et al., 1997).
Karena pH fetus biasanya sedikit lebih
asam daripada pH maternal, basa lemah lebih mudah melewati plasenta. Meskipun,
sekali melintasi plasenta dan membuat kontak dengan keasaman pada darah fetal,
molekul ini lebih terion; fenomena ini dikenal sebagai ”ion yang terjebak”
(Loebstein et al., 1997). Obat yang larut dalam lemak juga akan lebih dapat
melewati membran sel dan kemudian dengan cepat dapat melewati plasenta, sebagai
contoh antibiotik dan opiat merupakan obat yang sangat larut dalam lemak
dan cepat melewati plasenta (kraemer, 1997).
Berat molekul obat juga mempengaruhi
kemampuan untuk melewati plasenta. Seperti aturan umum, obat dengan
besar molekul lebih besar juga memiliki berat molekul yang lebih tinggi.
Seperti obat dengan beratmolekul rendah ( < 500 g/mol)akan lebih mudah
melewati plasenta, ketika dengan berat molekul antara 600-1000 g/mol akan melewati
plasenta lebih lambat, beberapa obat dengan berat molekul tinggi(> 1000
g/mol) seperti heparin dan insulin tidak bisa melewati plasenta dengan nilai
yang signifikan (Kraemer, 1997).
Transfer obat transplasenta
meningkat pada trisemester 3, ini dihubungkan dengan peningkatan aliran
darah maternal dan plasenta, penurunan ketebalan dan peningkatan daerah
permukaaan plasenta. Ion yang terjebak mungkin menghasilkan konsentrasi obat
pada fetus yang melebihi konsentrasi obat pada ibu. Walaupun untuk kebanyakan obat
konsentrasi darah fetal dijaga antara 50 – 100 % dari konsentrasi darah
maternal ( Yankowitz & Niebyl, 2001).
Efek obat yang merugikan pada fetus
Efek merugikan pada fetus
termasuk teratogenesis, perkembangan abnormal /hasil dari defek pada fetus atau
mutagenesis dimana dapat menyebabkan perubahan permanen pada material
genetik. Efek teratogenik termasuk aborsi spontan, abnormalitas struktur
atau hambatan pertumbuhan fetal ( larimore & Petrie, 2000). Efek obat
yang merugikan termasuk perubahan tingkah laku karena gangguan neuron, dimana
gejalanya tidak muncul segera (Yaffe, 2002). Effek dari obat tergantung pada
dosis obat yang dapat mencapai fetus. Dosis ini dipengaruhi oleh dosis
maternal, distribusi dari obat pada aliran darah ibu, fungsi plasenta, genetik
fetal dan status fisiologis, demikian juga adanya paparan dengan obat lain,
kimiawi/lingkungan yang berbahaya (Yankowitz & niebyl, 2001). Faktor lain
yang signifikan adalah usia kehamilan pada waktu terpapar. Selama 2 minggu
pertama setelah konsepsi, paparan jadi dapat merusak sebagian besar pada embrio
(menyebabkan aborsi spontan) atau hanya beberapa sel (memberi kesempatan
pada embrio untuk pulih tanpa ada perkembangan defeks) (Lewis 2000). Waktu yang
paling membahayakan untuk fetus adalah saat periode embriogenesis yaitu pada
akhir minggu ke-2 sampai minggu ke-8 setelah kosepsi (35-70 hari setelah
periode menstruasi terakhir). Paparan dengan teratogen pada waktu ini dapat
mengahsilkan malformasi mayor seperti abnormalitas anggota badan, palatoskisis
atau abnormalitas jantung (melton, 1999). Setelah periode ini, paparan dapat
menyebabkan defisit fungsional atau gangguan pertumbuhan atau lamanya kehamilan
(yankowitzt & niebyl, 2001). Efek pada neonatal lebih pada fungsionalnya
daripada struktural (misal: penutupan yang tidak sempurna dari duktus
arteriosus yang dihubungkan dengan paparan ibuprofen pada akhir kehamilan
)(Melton, 1999). Beberapa obat merupakan kontraindikasi untuk digunakan di
semua semester (1-3) pada kehamilan. Misal ACE Inhibitor (digunakan pada terapi
hipertensi) telah dihubungkan dengan keterbatasan pertumbuhan intrauterin,
oligohidramion, gangguan ginjal fetal (larimore & Petrie, 2000).
Isotretinion (Acutane), obat yang biasa diresepkan untuk obat jerawat,
merupakan kontraindikasi pada semua trimester saat hamil obat lain secara umum
dihindari pada masa kehamilan termasuk wafarin (sebagai koagulan). Sampai saat
ini, penggunaan hipoglikemik oral juga tidak didukung penggunaannya
selama kehamilan, tetapi beberapa peneliti baru-baru ini (Langer, Conway,
Berkus, Xenakis & Gonzales, 2000) telah mendemonstrasikan keamanan obat
ini, dan obat ini sangat berguna untuk terapi diabetes.
Transfer obat ke ASI
Obat-obat dapat diekresikan kedalam
ASI, langkah pertama adalah diabsorsinya obat dalam sirkulasi maternal dan
kemudian melewati sirkulasi maternal ini masuk kedalam ASI. Konsentrasi
obat pada sirkulasi maternal tergantung dosis, bioavailibilitas sistemik dan
distribusi, serta tingkat clearance obat ( Hale, 2000). Sebagian besar faktor
ini mempengaruhi pergerakan obat ke dalam ASI. Obat yang mempunyai ikatan
protein yang tinggi lebih sedikit yang terlepas dari sirkulasi maternal dan
yang ditransfer ke dalam ASI lebih rendah konsentrasinya daripada didalam
plasma, dan hanya obat yang tidak terikat protein yang dapat meningggalkan
sirkulasi maternal dan masuk kedalam ASI (Hale, 2000). Obat yang larut dalam
lemak lebih mudak masuk kedalam ASI daripada obat yang larut dalam air
(Loebstein et al, 1997). Karena secara signifikan ASI mempunyai pH yang lebih
rendah dari plasma maternal, asam lemah akan terionisasi di plasma maternal dan
menurunkan asam lemahke dalam susu, dan basa lemah tidak akan terionisasi dan
kemudian akan mencapai tempat dimana banyak asam susu dimana mereka
terperangkap. Obat dengan berat molekul besar (mis; heparin, insulin) terlalu
besar untuk melewati alveolar acini (jaringan gladula tempat dimana susu
disintesisi) (Hale, 2000).
Apakah bayi terpengaruh efek obat dalam
ASI tidak terlalu jelas. Obat yang keluar melalui ASI kedalam bayi saat menyusu
dimetabolisme dengan cara yang sama seperti minum obat oral. Obat harus melalui
traktus gastrointestinal, dimana lingkungan asam (asam lambung) dapat
menetralkan banayk obat. Obat lain jarang diabsorbsi secara oral, oleh karena itu
jarang pula diabsorbsi kedalam pembuluh darah bayi. Sebagai tambahan banyak
obat yang mencapai hepar dan tak pernah mencapai kompartemen plasma; semua
masalah absorbsi ini akan memelihara bayi dalam mengurangi efek dari banyak
obat (Hale, 2000). Oleh karena itu secara umum beberapa obat yang dapat
diberikan secara aman kepada neonatus mungkin aman pula diberikan selama masa
menyusui (Briggs, 2002). Adalah sesuatu yang tidak biasa apabila proses
menyususi dihentikan karena ibu sedang dalam terapi pengobatan. Namun demikian,
tingkat konsentrasi obat yang diserap bayi dapat diminimalkan dengan menyusui
bayi terlehih dulu sebelum minum obat (Loebstein et al, 1997). Ibu yang sedang
menyusui dapat memonitor masalah pada bayi mereka yang dihubungkan dengan penggunaan
oabt dan bila masalah pada bayi meningkat, ibu haru menghubungi pemberi
pelayanan kesehatan; menghentikan pemberianpengobatan dapat memulihkan masalah
(Larimore & Patrie, 2000). Pengobatan saat menyusui dikontrainidikasika
hanya pada situasi yang sangat jarang. Beberapa obat seperti lithium secara
mutlak di kontraindikasi saat menyusui, tapi membutuhkan pertimbangan
penggunaan obat lain yang mungkin lebih aman. (Hale, 2000)
Kesimpulan
Fisiologi kehamilan dan laktasi yang
unik merupakan tantangan bagi terapi famaseutik pada gangguan kronik dan akut,
an untuk manajemen gejala dari banyaknya keluhan. Pada setiap kasus, resiko
baik pada ibu dan fetus atau neonatus harus dipertimbangkan. Data penelitian
terbatas karena banyak kesulitan dalam mempelajari efek merugikan dari obat
selama kehamilan.
Sumber-sumberyang memberikan data
penelitian tentang penggunaan obat dalam kehamilan dan laktasi telah dituliskan
dalam artikel ini dan telah direkomendasikan kepada perawat klinik (yang
praktik) dan mahasiswa keperawatan. Perawat yang bekerja di banyak tatanan akan
menemukan informasi yang berguna untuk konseling, pnekes dan dukungan kepada
wanita hamil.
Implikasi perawatan
Karena adanya hambatan dalam informasi
nyata tentang penggunaaan obat dalam kehamilan dan karena pabrik-pabrik farmasi
memberi peringatan penggunaan obat selama kehamilan, maka banyak klein
dan perawat harus meningkatkan pengetahuan tentang resiko teratogenik yang
dihubungkan dengan obat. Karena kecemasan yang dapat dimengerti oleh wanita tentang
resiko terhadap bayi yang baru lahir mereka. Ini adalah salah satu hal yang
harus dimengerti ketika penyakit mempunyai lebih banyak resiko kepada fetus
daripada terapi obat, sebagai salah satu contoh adalah epilepsi, asthma,
diabetes atau hipertensi masif. (briggs, 2002).
Perawat berada pada posisi dimana
sebagai pemberi informasi dan atau menyakinkan kembali tentang penggunaan
terapi dan pengetahuan tentang prinsip dasar dari terapi obat dalam kehamilan
dan laktasi dan sumber-sumber yang disediakan untuk mendapatkan informasi yang
lebih lengkap akan sangat lebih berharga sebagai sumber untuk memberikan
nasehat (Konseling).
Perawat adalah orang yang berkerja
dalam bermacam-macam tatanan dapat menggunakan sumber-sumber yang ada untuk
memberikan nasehat kepada wanita selama masa prakonsepsi. Karena banyak
kehamilan adalah tak direncanakan, konseling ini harus diberikan kepada
semua wanita usia subur. Perawat yang merawat wanita dengan kondisi kronik
seperti diabetes, hipertensi/epilepsi seharusnya memperhatikan/memperlajari
penelitian-penelitian baru tentang terapi yang tepat untuk kondisi-kondisi
kronik saat kehamilan itu dikehendaki. Jika kehamilan tidak dikehendaki
dan obat yang digunakan mungkin merusak/menyerang perkembangan fetus,
informasi ini harus diberitahukan kepada wanita yang bersangkutan dan
pertimbangan yang tepat dari pilihan konrasepsi harus dibicarakan. Wanita yang
terpapar obat yang mungkin teratogenik dan tidak bermaksud untuk hamil (tidak
sengaja hamil) memiliki resiko tertinggi untuk hasil kehamilan yang rendah
(Postlethwaite, 2003)
Perawat yang berkerja di tingkat
perawatan prenatal mungkin terlibat dalam konseling prekonsepsi dan prenatal
harus melakukan diskusi dan mengkaji riwayat yang menyeluruh tentang
penggunaan obat (resep, herbal dan obat-obatan bebas) dengan cermat sehingga
dari informasi yang diperoleh dapat ditentukan keuntungan dan resikonya.
Misalnya kelompok yang mungkin berisiko adalah remaja yang aktif secara seksual
yang mungkin dapat mendapatkan terapi untuk jerawat atau psoriasis (Melton,
1999) atau wanita usia 40-1n yang mendapatkan obat agen antilipemik
(Postlethwaite, 2003).
Perawat antepartum mempunyai tugas
mengkaji kemungkinan efek samping/efek yang merugikan bagi ibu atau fetus dari
obat yang diresepkan selama kehamilan dengan resikotinggi (misal
terbutaline/ritodrine) untuk terapi kehamilan prematur.
Perawat perinatal akan mengkaji
riwayat penggunaan obat selama hamil yang dibutuhkan untuk mengkaji efek yang
ditimbulkan pada neonatus, misalnya gejala menarik diri mungkin ditunjukkan
oleh neonatus dari ibu yang menggunakan methadone (Yankowitz & Neibyl,
2001). Pengetahuan tentang efek terhadap neonatus dari penggunaan obat selama
hamil dan saaat melahirkan juga sangat penting (Payton & Brucker, 1999).
Sebagian besar obat yang diresepkan
kepada ibu tidak mungkin mempunyai efek yang negatif kepada bayi/suplai ASI
(American Academy of pediatricc committe on Drug, 2001), perawat dapat
mendukung/membela (menjai advokat) ibu yang sedang menyusui. Nilai dari menyusui
untuk ibu dan bayi tidak perlu diperdebatkan (Hale,2000). Menyusui seharusnya
tidak dihentikan karena kecemasan dari sebagian dokter dan ibu, dengan tidak
adanya bukti bahwa ada rsiko terhadap bayi. Perawat mempunyai posisi klinik
untuk mengajarkan, meyakinkan kembali, menuntuk dan mendukung wanita tentang
penggunaan obat pada wanita laktasi.
Perawat mengajarkan bagaimana cara
menghindari penggunaan obat secara nonfarmakologis dan terpai termasuk terapi
panas/dingin, latihan, diit, relaksasi, masase/intervensi non medis lainnya.
Teratogen tidak terbatas pada obat yang
diresepkan/obat bebas. Paparan pada radiasi, alkohol, tembakau atau paparan
lingkungan ynag toksik dapat mempengaruhi efek merugikan terhadap fetus (
Stevenson, 1998). Perawat dapat dilibatkan dalam kampanye yang mendukung
kepedulian masyarakat tentang resiko dari obat dan zat kimia (termasuk
substansinya seperti alkohol dan nikotin) dalam perkembangan fetus, terutama
pada trimester I, juga tentang keuntungan dari substasi lain seperti asam
folat. Semua perawat yang bekerja dengan wanit usia subur seyogyanya menjadi
familiar dengan resiko dari paparan teratogen untuk memberikan konseling saat
prekonsepsi dan atau kontrasepsi.
6. Gaya hidup, penggunaan obat intravena atau pasangan yang menggunakan obat intravena; merokok, alcohol, gizi buruk, tingkat stress yang tinggi.
7. Pemeriksaan fisik bagian luar,
Inspeksi :
• Rambut pubis, distribusi, bandingkan sesuai usia perkembangan klien
• Kulit dan area pubis, adakah lesi eritema, visura, lekoplakia, dan eksoria.
• Labia mayora, minora, klitoris, meatus uretra terhadap pembengkakan ulkus, keluaran, dan nodul.
Pemeriksaan bagian dalam,
Inspeksi :
• Serviks : ukuran, laserasi, erosi, nodula, massa, keluaran, dan warnanya
Palpasi :
• Raba dinding vagina : nyeri tekan dan nodula
• Serviks : posisi, ukuran, konsistensi, regularitas, mobilitas, dan nyeri tekan
• Uterus : ukuran, bentuk, konsistensi, dan mobilitas.
• Ovarium : ukuran, mobilitas, bentuk, konsistensi, dan nyeri tekan.
B.
Diagnosa keperawatan :
• Gangguan rasa nyaman nyeri b.d proses inflamasi
• Hipertermi b.d peningkatan tingkat metabolisme
• Ansietas b.d perubahan status kesehatan
• Gangguan rasa nyaman nyeri b.d proses inflamasi
• Hipertermi b.d peningkatan tingkat metabolisme
• Ansietas b.d perubahan status kesehatan
C.
Intervensi
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1.Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses inflamasi Setelah dillukakan tindakan selama 1x 24 jam di harapkan klien :
a.Nyeri berkurang Klien mengtakan :
• Menunjukkan ekspresi wajah rileks
• Meresa nyaman a. Kaji skala/intensitas nyeri
P: Provoking Incident
Q: Quality or Quantity of Pain
R : Region : radiation, relief
S : Severity (scale) of Pain
T : Time
b. Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.distraksi,relaksasi,kompres, Berikan instruksi bila perlu.
c. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
d. Pertahankan posisi semifowler sesuai indikasi a. Untuk mengetahui tingkatan nyeri
b. relaksasi dapat membantu menurunkan tegangan dan rasa takut, yang memperberat nyeri.
c. Metode IV sring digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
d. Memudahkan drainase atau luka karena gravitasi dan membantu meminimalkan nyeri karena gerakan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1.Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses inflamasi Setelah dillukakan tindakan selama 1x 24 jam di harapkan klien :
a.Nyeri berkurang Klien mengtakan :
• Menunjukkan ekspresi wajah rileks
• Meresa nyaman a. Kaji skala/intensitas nyeri
P: Provoking Incident
Q: Quality or Quantity of Pain
R : Region : radiation, relief
S : Severity (scale) of Pain
T : Time
b. Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.distraksi,relaksasi,kompres, Berikan instruksi bila perlu.
c. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
d. Pertahankan posisi semifowler sesuai indikasi a. Untuk mengetahui tingkatan nyeri
b. relaksasi dapat membantu menurunkan tegangan dan rasa takut, yang memperberat nyeri.
c. Metode IV sring digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
d. Memudahkan drainase atau luka karena gravitasi dan membantu meminimalkan nyeri karena gerakan
2.Hipertermi b.d peningkatan tingkat
metabolisme
a.Setelah dilakukan tindakan selama 1x 24 jam diharapakaSuhu tubuh klien dalam batas normal Klien tamapak :
• Tidak mengalami komplikasi
• Suhu tubuh normal 36-37o c a. Kaji TTV
Suhu,TD,RR.nadi
b. Pantau suhu klien (derajat dan pola), perhatikan menggigil atau diaphoresis
c. Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
d. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik (aspirin, asetaminofen) a. untuk mengtahui keadaan umum klien
e. Suhu 38,90- 41, 10C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membentu dalam diagnosis, misalnya kurva demam lanjut berakhir lebih dari 24jam menunjukkan pneumonia pneumokokal.
f. Suhu ruangan atau jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
g. Untuk mempermudah dalam pembirian tindakan
a.Setelah dilakukan tindakan selama 1x 24 jam diharapakaSuhu tubuh klien dalam batas normal Klien tamapak :
• Tidak mengalami komplikasi
• Suhu tubuh normal 36-37o c a. Kaji TTV
Suhu,TD,RR.nadi
b. Pantau suhu klien (derajat dan pola), perhatikan menggigil atau diaphoresis
c. Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
d. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik (aspirin, asetaminofen) a. untuk mengtahui keadaan umum klien
e. Suhu 38,90- 41, 10C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membentu dalam diagnosis, misalnya kurva demam lanjut berakhir lebih dari 24jam menunjukkan pneumonia pneumokokal.
f. Suhu ruangan atau jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
g. Untuk mempermudah dalam pembirian tindakan
3 Ansietas b.d perubahan status
kesehatan
a.setelah dilkukan tindakan selama 1x 24 jam klien tampkan rileks Klien tampak:
• Kesadaran terhadap perasaan, dam cara yang sehat untuk menghadapi masalah
• Kecamasan klin berkurang
• Klien tidak tampak sedih
• Klien tampak rileks a. Evaluasi tingkat ansietas, catat respon verbal, dan nonverbal klien. Dorong ekspresi bebas akan emosi.
b. Berikan informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan a. Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, meningkatkan perasaan sakit, penting pada prosedur diagnostic dan kemungkinan pembedahan
b. Mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas.
a.setelah dilkukan tindakan selama 1x 24 jam klien tampkan rileks Klien tampak:
• Kesadaran terhadap perasaan, dam cara yang sehat untuk menghadapi masalah
• Kecamasan klin berkurang
• Klien tidak tampak sedih
• Klien tampak rileks a. Evaluasi tingkat ansietas, catat respon verbal, dan nonverbal klien. Dorong ekspresi bebas akan emosi.
b. Berikan informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan a. Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, meningkatkan perasaan sakit, penting pada prosedur diagnostic dan kemungkinan pembedahan
b. Mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas.
D. IMPLIMENTASI
no diagnosa impelimentasi evaluasi
1 Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses inflamasi
1 Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses inflamasi
a. mengkaji skala/intensitas nyeri
P: Provoking Incident
Q: Quality or Quantity of Pain
R : Region : radiation, relief
S : Severity (scale) of Pain
T : Time
b. menganjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.distraksi,relaksasi,kompres, Berikan instruksi bila perlu.
c. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
d. mempertahankan posisi semifowler sesuai indikasi S :
Klien Mengatakan Nyeri Berkurang
O:Klien Tampak Nyaman
A:intervensi di optimalakan
P:masalah teratasi
2 Hipertermi b.d peningkatan tingkat metabolisme
a. mengkaji TTV
Suhu,TD,RR.nadi
b. memantau suhu klien (derajat dan pola), perhatikan menggigil atau diaphoresis
c. memantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
d. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik (aspirin, asetaminofen) S:
klien mengatakan panasnya menurun
O: klien tampak rileks
A : masalah teratasi
P: intervensi di hentikan
3 Ansietas b.d perubahan status kesehatan
a. mengevaluasi tingkat ansietas, catat respon verbal, dan nonverbal klien. Dorong ekspresi bebas akan emosi.
b. memberikan informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan S: klien mengatakan tidak cemas
O: klien tamapk rileks
A: masalah teratasi
P: intervensi di hentikan
P: Provoking Incident
Q: Quality or Quantity of Pain
R : Region : radiation, relief
S : Severity (scale) of Pain
T : Time
b. menganjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.distraksi,relaksasi,kompres, Berikan instruksi bila perlu.
c. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
d. mempertahankan posisi semifowler sesuai indikasi S :
Klien Mengatakan Nyeri Berkurang
O:Klien Tampak Nyaman
A:intervensi di optimalakan
P:masalah teratasi
2 Hipertermi b.d peningkatan tingkat metabolisme
a. mengkaji TTV
Suhu,TD,RR.nadi
b. memantau suhu klien (derajat dan pola), perhatikan menggigil atau diaphoresis
c. memantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
d. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik (aspirin, asetaminofen) S:
klien mengatakan panasnya menurun
O: klien tampak rileks
A : masalah teratasi
P: intervensi di hentikan
3 Ansietas b.d perubahan status kesehatan
a. mengevaluasi tingkat ansietas, catat respon verbal, dan nonverbal klien. Dorong ekspresi bebas akan emosi.
b. memberikan informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan S: klien mengatakan tidak cemas
O: klien tamapk rileks
A: masalah teratasi
P: intervensi di hentikan
E. EVALUASI
no diagnosa Evaluasi
1 Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses inflamasi
no diagnosa Evaluasi
1 Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses inflamasi
S :Klien Mengatakan Nyeri Berkurang
O:Klien Tampak Nyaman
A:intervensi di optimalakan
P:masalah teratasi
2 Hipertermi b.d peningkatan tingkat metabolism
O:Klien Tampak Nyaman
A:intervensi di optimalakan
P:masalah teratasi
2 Hipertermi b.d peningkatan tingkat metabolism
S:klien mengatakan panasnya menurun
O: klien tampak rileks
A : masalah teratasi
P: intervensi di hentikan
3 Ansietas b.d perubahan status kesehatan
O: klien tampak rileks
A : masalah teratasi
P: intervensi di hentikan
3 Ansietas b.d perubahan status kesehatan
S: klien mengatakan tidak cemas
O: klien tamapk rileks
A: masalah teratasi
P: intervensi di hentikan
O: klien tamapk rileks
A: masalah teratasi
P: intervensi di hentikan
BAB VI
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infeksi adalah berhubungan dengan berkembang-biaknya mikroorganisme dalam tubuh manusia yang disertai dengan reaksi tubuh terhadapnya (Zulkarnain Iskandar, 1998 ).
Infeksi pacapartum (sepsis puerperal atau demam setelah melahirkan) ialah infeksi klinis pada saluran genital yang terjadi dalam 28 hari setelah abortus atau persalinan. Infeksi bisa timbul akibat bakteri yang sering kali ditemukan didalam vagina (endogenus) atau akibat pemaparan pada agen pathogen dari luar vagina (eksogenus), (Bobak, Lowdermilk, Jensen, 2004).
Kuman-kuman yang sering menyebabkan infeksi antara lain adalah Streptococcus haemoliticus anaerobic, Staphylococcus aureus, Escherichia Coli, Clostridium Welchii. Selain itu ada juga beberapa faktor dalam kehamilan atau persalinan yang dapat menyebabkan infeksi pascapersalinan antara lain : anemia, KPD, trauma, kontaminasi bakteri dan kehilangan darah.
Adapun jenis-jenis infeksi pasca partum adalah : infeksi uterus (endometritis, miometritis, dan parametritis), syok bakteremia, peritonitis,infeksi saluran kemih dan septicemia. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi pasca partum dapat berupa : Mengurangi atau mencegah faktor-faktor predisposisi seperti anemia, malnutrisi dan kelemahan serta mengobati penyakit-penyakit yang diderita ibu, Pemeriksaan dalam jangan dilakukan kalau tidak ada indikasi yang perlu, Koitus pada hamil tua hendaknya dihindari atau dikurangi dan dilakukan hati-hati karena dapat menyebabkan pecahnya ketuban. Kalau ini terjadi infeksi akan mudah masuk dalam jalan lahir. Hindari partus terlalu lama dan ketuban pecah lama/menjaga supaya persalinan tidak berlarut-larut, Menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin, Perlukaan-perlukaan jalan lahir karena tindakan baik pervaginam maupun perabdominam dibersihkan, dijahit sebaik-baiknya dan menjaga sterilitas, Mencegah terjadinya perdarahan banyak, bila terjadi darah yang hilang harus segera diganti dengan tranfusi darah, Semua petugas dalam kamar bersalin harus menutup hidung dan mulut dengan masker; yang menderita infeksi pernafasan tidak diperbolehkan masuk ke kamar bersalin, Alat-alat dan kain-kain yang dipakai dalam persalinan harus suci hama, Hindari pemeriksaan dalam berulang-ulang, lakukan bila ada indikasi dengan sterilisasi yang baik, apalagi bila ketuban telah pecah.
B. Saran
1. Bagi keluarga
a. Di harapkan keluarga dapat membantu ,mensupport, dan berpartisispasi dalam proses persalinan.
b. Di harapkan keluarga memberikan perhatian terhadap klien.
2. Bagi Perawat
a. Di harapkan perawat dapat melaksanakan tugas dan perannya sebagai perawat yang professional dengan melaksanakan prosedur dan asuhan keperawatan yang menitikberatkan pada aspek psikologis bukan pada farmakologi.
b. Diharapkan perawat, dokter, maupun petugas medis lainnya dapat berkolaborasi dengan baik.
c. Diharapkan perawat, dokter, maupun petugas medis lainnya dapat bekrja dan menjalankan perannya dengan maksimal.
3. Bagi rumah sakit
a. Diharapkan rumah sakit dapat meningkatkan mutu keperawatan dan kesehatan dengan memberikan fasilitas yang memadai.
4. Bagi institusi pendidikan
a. Diharapkan agar lebih meningkatkan mutu pendidikan khusunya dibidang keperawatan guna menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas.
a. Diharapkan agar lebih meningkatkan mutu pendidikan khusunya dibidang keperawatan guna menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Rayburn, WF dan Carey, JC. (2001). Obstetri dan Ginekologi. Jakrta: Widya Medika
Chamberlain, G dan Dewhurst, SJ. (1994). Obstetri dan Ginekologi Praktis, Jakarta: Widya Medika
Tiejen, L, Bossemeyer, D dan Mcintosh, N. (2004). Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Jakrta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Kasdu dan Dini. (2005). Solusi Problem Persalinan. Jakarta : Puspa Swara
http://bk17s.wordpress.com/2008/06/11/infeksi-alat-genital/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar