BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Anatomi dan Fisiologi Cairan dan Elektrolit
1. Pengertian
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam
rangka menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di
dalam tubuh adalah merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis.
Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan
berbagai cairan tubuh.
Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari
air ( pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia
yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika
berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui
makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian
tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal
dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan
cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya; jika salah
satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.1
Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berada di dalam sel di seluruh tubuh, sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.
Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berada di dalam sel di seluruh tubuh, sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.
2. Elektrolit Utama Tubuh Manusia
Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh
terdiri dari elektrolit dan nonelektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut
yang tidak terurai dalam larutan dan tidak bermuatan listrik, seperti :
protein, urea, glukosa, oksigen, karbon dioksida dan asam-asam organik.
Sedangkan elektrolit tubuh mencakup natrium (Na+), kalium (K+), Kalsium (Ca++),
magnesium (Mg++), Klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat (HPO42-), sulfat
(SO42-).
Konsentrasi elektrolit dalam cairan tubuh
bervariasi pada satu bagian dengan bagian yang lainnya, tetapi meskipun
konsenterasi ion pada tiap-tiap bagian berbeda, hukum netralitas listrik
menyatakan bahwa jumlah muatan-muatan negatif harus sama dengan jumlah
muatan-muatan positif.
Komposisi dari elektrolit-elektrolit tubuh baik
pada intraseluler maupun pada plasma terinci dalam tabel di bawah ini :
Plasma Interstitial
a. Kation :
Natrium (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg ++)
Natrium (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca++), Magnesium (Mg ++)
b. Anion :
Klorida (Cl-), Bikarbonat (HCO3-), Fosfat (HPO42-), Sulfat (SO42-), Protein
Klorida (Cl-), Bikarbonat (HCO3-), Fosfat (HPO42-), Sulfat (SO42-), Protein
3.
Perpindahan
Cairan dan Elektrolit Tubuh
Perpindahan cairan dan elektrolit tubuh terjadi
dalam tiga fase yaitu :
a. Fase I :
Plasma darah pindah dari seluruh tubuh ke dalam
sistem sirkulasi, dan nutrisi dan oksigen diambil dari paru-paru dan tractus
gastrointestinal.
b. Fase II :
Cairan interstitial dengan komponennya pindah dari darah kapiler dan sel
c. Fase III :
Cairan dan substansi yang ada di dalamnya berpindah dari cairan interstitial masuk ke dalam sel. Pembuluh darah kapiler dan membran sel yang merupakan membran semipermiabel mampu memfilter tidak semua substansi dan komponen dalam cairan tubuh ikut berpindah. Metode perpindahan dari cairan dan elektrolit tubuh dengan cara :
1. Diffusi
2. Filtrasi
3. Osmosis
4. Aktif Transport
Difusi dan osmosis adalah mekanisme
transportasi pasif. Hampir semua zat berpindah dengan mekanisme transportasi
pasif. Diffusi sederhana adalah perpindahan partikel-partikel dalam segala arah
melalui larutan atau gas.Beberapa faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya
difusi zat terlarut menembus membran kapiler dan sel, yaitu :
1.
Permeabilitas
membran kapiler dan sel
2.
Konsenterasi
3.
Potensial
listrik
4.
Perbedaan
tekanan.
Osmosis adalah proses difusi dari air yang
disebabkan oleh perbedaan konsentrasi. Difusi air terjadi pada daerah dengan
konsentrasi zat terlarut yang rendah ke daerah dengan konsentrasi zat terlarut
yang tinggi. Perpindahan zat terlarut melalui sebuah membran sel yang melawan
perbedaan konsentrasi dan atau muatan listrik disebut transportasi aktif.
Transportasi aktif berbeda dengan transportasi pasif karena memerlukan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP). Salah satu contonya adalah transportasi pompa kalium dan natrium.
Natrium tidak berperan penting dalam perpindahan air di dalam bagian plasma dan bagian cairan interstisial karena konsentrasi natrium hampir sama pada kedua bagian itu. Distribusi air dalam kedua bagian itu diatur oleh tekanan hidrostatik yang dihasilkan oleh darah kapiler, terutama akibat oleh pemompaan oleh jantung dan tekanan osmotik koloid yang terutama disebabkan oleh albumin serum.
Transportasi aktif berbeda dengan transportasi pasif karena memerlukan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP). Salah satu contonya adalah transportasi pompa kalium dan natrium.
Natrium tidak berperan penting dalam perpindahan air di dalam bagian plasma dan bagian cairan interstisial karena konsentrasi natrium hampir sama pada kedua bagian itu. Distribusi air dalam kedua bagian itu diatur oleh tekanan hidrostatik yang dihasilkan oleh darah kapiler, terutama akibat oleh pemompaan oleh jantung dan tekanan osmotik koloid yang terutama disebabkan oleh albumin serum.
Proses perpindahan cairan dari kapiler ke ruang
interstisial disebut ultrafilterisasi.
B.
Pengaturan
Volume Cairan Tubuh
Di dalam tubuh seorang yang sehat volume cairan
tubuh dan komponen kimia dari cairan tubuh selalu berada dalam kondisi dan
batas yang nyaman. Dalam kondisi normal intake cairan sesuai dengan kehilangan
cairan tubuh yang terjadi. Kondisi sakit dapat menyebabkan gangguan pada
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
Dalam rangka mempertahankan fungsi tubuh maka
tubuh akan kehilanagn cairan antara lain melalui proses penguapan ekspirasi, penguapan
kulit, ginjal (urine), ekresi pada proses metabolisme.
a. Intake Cairan :
Selama aktifitas dan temperatur yang sedang
seorang dewasa minum kira-kira 1500 ml per hari, sedangkan kebutuhan cairan
tubuh kira-kira 2500 ml per hari sehingga kekurangan sekitar 1000 ml per hari
diperoleh dari makanan, dan oksidasi selama proses metabolisme.
Pengatur utama intake cairan adalah melalui
mekanisme haus. Pusat haus dikendalikan berada di otak Sedangkan rangsangan
haus berasal dari kondisi dehidrasi intraseluler, sekresi angiotensin II
sebagai respon dari penurunan tekanan darah, perdarahan yang mengakibatkan
penurunan volume darah. Perasaan kering di mulut biasanya terjadi bersama
dengan sensasi haus walupun kadang terjadi secara sendiri. Sensasi haus akan
segera hilang setelah minum sebelum proses absorbsi oleh tractus
gastrointestinal.
b. Output Cairan :
Kehilangan caiaran tubuh melalui empat rute (proses) yaitu :
1. Urine :
Proses pembentukan urine oleh ginjal dan ekresi melalui
tractus urinarius merupakan proses output cairan tubuh yang utama. Dalam
kondisi normal output urine sekitar 1400-1500 ml per 24 jam, atau sekitar 30-50
ml per jam. Pada orang dewasa. Pada orang yang sehat kemungkinan produksi urine
bervariasi dalam setiap harinya, bila aktivitas kelenjar keringat meningkat
maka produksi urine akan menurun sebagai upaya tetap mempertahankan
keseimbangan dalam tubuh.
2. IWL (Invisible Water Loss) :
IWL terjadi melalui paru-paru dan kulit, Melalui kulit dengan
mekanisme difusi. Pada orang dewasa normal kehilangan cairan tubuh melalui
proses ini adalah berkisar 300-400 mL per hari, tapi bila proses respirasi atau
suhu tubuh meningkat maka IWL dapat meningkat.
3. Keringat :
Berkeringat terjadi sebagai respon terhadap kondisi tubuh
yang panas, respon ini berasal dari anterior hypotalamus, sedangkan impulsnya
ditransfer melalui sumsum tulang belakang yang dirangsang oleh susunan syaraf
simpatis pada kulit.
4. Feces :
Pengeluaran air melalui feces berkisar antara 100-200 mL per
hari, yang diatur melalui mekanisme reabsorbsi di dalam mukosa usus besar
(kolon).
C.
Faktor
yang Berpengaruh pada Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Faktor-faktor yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
antara lain :
Faktor-faktor yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
antara lain :
a. Umur :
Kebutuhan intake cairan bervariasi tergantung dari usia, karena
usia akan berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat badan.
Infant dan anak-anak lebih mudah mengalami gangguan keseimbangan cairan
dibanding usia dewasa. Pada usia lanjut sering terjadi gangguan keseimbangan
cairan dikarenakan gangguan fungsi ginjal atau jantung.
b. Iklim :
Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan
kelembaban udaranya rendah memiliki peningkatan kehilangan cairan tubuh dan
elektrolit melalui keringat. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di
lingkungan yang panas dapat kehilangan cairan sampai dengan 5 L per hari.
c. Diet :
Diet seseorang berpengaruh terhadap intake cairan dan
elektrolit. Ketika intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar
protein dan lemak sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun
padahal keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga
hal ini akan menyebabkan edema.
d. Stress :
Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan
pemecahan glikogen otot. Mekanisme ini dapat meningkatkan natrium dan retensi
air sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume darah.
e. Kondisi Sakit :
Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh Misalnya :
1.
Trauma
seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui IWL.
2.
Penyakit
ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh.
3.
Pasien
dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami gangguan pemenuhan intake
cairan karena kehilangan kemampuan untuk memenuhinya secara mandiri.
f. Tindakan Medis :
Banyak tindakan medis yang berpengaruh pada keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh seperti : suction, nasogastric tube dan lain-lain.
g. Pengobatan :
Pengobatan seperti pemberian deuretik, laksative dapat berpengaruh
pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh.
h. Pembedahan :
Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, dikarenakan
kehilangan darah selama pembedahan.
D.
Konsep
Dasar Gangguan Volume Cairan
1. HIPOVOLEMIA (Kekurangan Volume Cairan)
a. Pengertian
Kekurangan Volume cairan (FVD) terjadi jika air dan elektrolit hilang pada proporsi yang sama ketika mereka berada pada cairan tubuh normal sehingga rasio elektrolit serum terhadap air tetap sama. (Brunner & suddarth, 2002).
1) Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan
Kekurangan Volume cairan (FVD) terjadi jika air dan elektrolit hilang pada proporsi yang sama ketika mereka berada pada cairan tubuh normal sehingga rasio elektrolit serum terhadap air tetap sama. (Brunner & suddarth, 2002).
1) Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan
ekstraseluler
(CES).
2) Hipovolemia adalah
penipisan volume cairan ekstraseluler (CES)
3) Hipovolemia adalah kekurangan cairan di dalam bagian-bagian
3) Hipovolemia adalah kekurangan cairan di dalam bagian-bagian
ekstraseluler
(CES)
b. Etiologi
Hipovolemia ini terjadi dapat disebabkan karena :
Hipovolemia ini terjadi dapat disebabkan karena :
1)
Penurunan
masukan.
2) Kehilangan cairan yang abnormal melalui :
kulit, gastro intestinal, ginjal abnormal, dan lain-lain.
3) Perdarahan.
c. Patofisiologi
Kekurangan volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstraseluler dalam jumlah yang proporsional (isotonik). Kondisi seperti ini disebut juga hipovolemia. Umumnya, gangguan ini diawali dengan kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan interseluler menuju intravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan ekstraseluler. Untuk untuk mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan pemindahan cairan intraseluler.
Kekurangan volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstraseluler dalam jumlah yang proporsional (isotonik). Kondisi seperti ini disebut juga hipovolemia. Umumnya, gangguan ini diawali dengan kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan interseluler menuju intravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan ekstraseluler. Untuk untuk mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan pemindahan cairan intraseluler.
Secara umum, defisit volume cairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kehilangan cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan cairan, perdarahan dan pergerakan cairan ke lokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah untuk mengembalikanya ke lokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat). Cairan dapat berpindah dari lokasi intravaskuler menuju lokasi potensial seperti pleura, peritonium, perikardium, atau rongga sendi. Selain itu, kondisi tertentu, seperti terperangkapnya cairan dalam saluran pencernaan, dapat terjadi akibat obstruksi saluran pencernaan.
d.
Manifestasi
Klinis
Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien
dengan hipovolemia antara lain : pusing, kelemahan, keletihan, sinkope,
anoreksia, mual, muntah, haus, kekacauan mental, konstipasi, oliguria.
Tergantung pada jenis kehilangan cairan hipovolemia dapat disertai dengan
ketidak seimbangan asam basa, osmolar atau elektrolit. Penipisan (CES) berat
dapat menimbulkan syok hipovolemik.
Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi hipolemia adalah dapat berupa peningkatan rangsang sistem syaraf simpatis (peningkatan frekwensi jantung, inotropik (kontraksi jantung) dan tahanan vaskuler), rasa haus, pelepasan hormone antideuritik (ADH), dan pelepasan aldosteron. Kondisi hipovolemia yang lama dapat menimbulkan gagal ginjal akut.
2. Komplikasi
Akibat lanjut dari kekurangan volume cairan dapat mengakibatkan :
1) Dehidrasi (Ringan, sedang berat).
Akibat lanjut dari kekurangan volume cairan dapat mengakibatkan :
1) Dehidrasi (Ringan, sedang berat).
2) Renjatan hipovolemik.
3) Kejang pada dehidrasi hipertonik.
3. HIPERVOLEMIA (Kelebihan Volume Cairan)
a. Pengertian
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami kelebihan cairan intraseluler atau interstisial. (Carpenito, 2000). Kelebihan volume cairan mengacu pada perluasan isotonok dari CES yang disebabkan oleh retensi air dan natrium yang abnormal dalam proporsi yang kurang lebih sama dimana mereka secara normal berada dalam CES. Hal ini selalu terjadi sesudah ada peningkatan kandungan natrium tubuh total, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan air tubuh total. (Brunner & Suddarth. 2002).
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami kelebihan cairan intraseluler atau interstisial. (Carpenito, 2000). Kelebihan volume cairan mengacu pada perluasan isotonok dari CES yang disebabkan oleh retensi air dan natrium yang abnormal dalam proporsi yang kurang lebih sama dimana mereka secara normal berada dalam CES. Hal ini selalu terjadi sesudah ada peningkatan kandungan natrium tubuh total, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan air tubuh total. (Brunner & Suddarth. 2002).
b. Etiologi
Hipervolemia ini dapat terjadi jika terdapat :
Hipervolemia ini dapat terjadi jika terdapat :
1)
Stimulus
kronis pada ginjal untuk menahan natrium dan air.
2)
Fungsi
ginjal abnormal, dengan penurunan ekskresi natrium dan air.
3)
Kelebihan
pemberian cairan intra vena (IV).
4)
Perpindahan
cairan interstisial ke plasma.
c. Patofisiologi
Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang seimbang. Karena adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum masih normal. Kelebihan cairan tubuh hampir selalu disebabkan oleh peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan / adanya gangguan mekanisme homeostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan.
Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang seimbang. Karena adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum masih normal. Kelebihan cairan tubuh hampir selalu disebabkan oleh peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan / adanya gangguan mekanisme homeostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan.
d. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien
dengan hipervolemia antara lain : sesak nafas, ortopnea. Mekanisme kompensasi
tubuh pada kondisi hiperlemia adalah berupa pelepasan Peptida Natriuretik
Atrium (PNA), menimbulkan peningkatan filtrasi dan ekskresi natrium dan air
oleh ginjal dan penurunan pelepasan aldosteron dan ADH.
Abnormalitas pada homeostatisis elektrolit, keseimbangan asam-basa dan osmolalitas sering menyertai hipervolemia. Hipervolemia dapat menimbulkan gagal jantung dan edema pulmuner, khususnya pada pasien dengan disfungsi kardiovaskuler
e. Komplikasi
Akibat lanjut dari kelebihan volume cairan adalah :
Akibat lanjut dari kelebihan volume cairan adalah :
1) Gagal ginjal, akut atau kronik
2) Berhubungan dengan peningkatan preload, penurunan
kontraktilitas, dan
penurunan curah
jantung
3) Infark miokard
4) Gagal jantung kongestif
5) Gagal jantung kiri
6) Penyakit katup
7) Takikardi/aritmia
Berhubungan dengan hipertensi porta, tekanan osmotik koloid
plasma rendah, retensi natrium
8) Penyakit hepar : Sirosis, Asites, Kanker
9) Berhubungan dengan kerusakan arus balik vena
10) Varikose vena
11) Penyakit vaskuler perifer
12) Flebitis kronis
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Fisik
Oedema, peningkatan berat badan, peningkatan TD (penurunan TD
saat jantung gagal) nadi kuat, asites, krekles (rales). Ronkhi, mengi, distensi
vena leher, kulit lembab, takikardia, irama gallop
2)
Protein
rendah
3)
Anemia
4)
Retensi
air yang berlebihan
5)
Peningkatan
natrium dalam urine
g.
Penatalaksanaan
Medis
Tujuan terapi adalah mengatasi masalah pencetus dan
mengembalikan CES pada normal. Tindakan dapat berupa hal berikut :
1)
Pembatasan
natrium dan air.
2)
Diuretik.
3)
Dialisi
atau hemofiltrasi arteriovena kontinue : pada gagal ginjal atau kelebihan beban
cairan yang mengancam hidup.
E.
Klasifikasi cairan tubuh makhluk hidup
Secara
fisik,molekul pembentuk tubuh manusia dapat dibedakan menjadi jenis cairan dan
jenis matriks molekul padat. Pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit dl
tubuh diatur oleh :
1. Ginjal
Ginjal merupakan organ
yang memiliki peran cukup besar dalam pengaturan kebutuhan cairan dan
elektrolit. Fungsi dari ginjal yaitu sebagai pengatur air, pengatur konsentrasi
garam dalam darah,pengatur keseimbangan asam basa darah dan pengatur ekskresi
bahan buangan atau kelebihan garam.
2. Kulit
Kulit merupakan bagian
penting dalam pengaturan cairan yang terkait dengan proses pengaturan panas.
Banyaknya darah yang mengalirmelalui pembuluh darah dalam kulit mempengaruhi
jumlah keringat yang dikeluarkan. Proses pelepasan panas kemudian dapat
dilakukan dengan cara penguapan. Proses pelepasan panas lainnya dapat dilaukan
dengan cara pemancaran yaitu dengan melepaskan panas ke udara sekitarnya. Ada 2
cara, cara pertama konduksi yaitu pengalihan panas ke benda yang disentuh,
sedangkan cara kedua konveksi yaitu mengalirkan udara yang telah panas
kepermukaan yang lebih dingin.
3. Paru-paru
Paru-paru berperan
dalam pengeluaran cairan dengan menghasilkan insensible water loss ±
400ml/hari. Proses pengeluaran cairan terkait dengan respons akibat perubahan
frekuensi dan kedalaman pernapasan (kemampuan bernapas), misalnya orang yang
melakukan olahraga berat.
4. Gastrointestinal
Gastrointestinal
merupakan organ saluran pencernaan yang berperan dalam mengeluarkan cairan
melalui proses penyerapan dan pengeluaran air. Dalam kondisi ormal, cairan yang
hilang dalam sistem ini sekitar 100-200ml/hari.
F.
Fungsi Cairan dalam Tubuh Manusia,
antara lain :
a. Sebagai
alat transportasi nutrient, elektrolit dan sisa metabolisme.
b. Sebagai
komponen pembentuk sel, plasma, darah, dan komponen tubuh lainnya.
c. Sebagai
pengatur suhu tubuh dan lingkungan seluler.
G.
Transpor Cairan dalam Tubuh
a. Difusi
Pergerakan molekul
melintasi membrane semi permeable dari kompartemen berkonsentrasi tinggi
menujukompartemen rendah. Laj difusi dipengaruhi: ukuran molekul, konsentrasi
larutan dan temperature larutan.
b. Filtrasi
Proses perpindahan
cairan dan solute (substansi yang terlarut dalam cairan) melintasi membran
bersama-sama dari kompartemen bertekanan tinggi menuju kompartemen bertekanan
rendah. Contoh filtrasi adalah pergerakan cairan dan nutrien dari kapiler
menuju cairan interstitial disekitar sel.
c. Osmosis
Pergerakan dari solven
(pelarut) murni (air) melintasi membrane sel dari konsentrasi rendah (cairan)
menuju berkonsentrasi tinggi (pekat).
d. Transport
aktif
Proses transport aktif
memerlukan energi metabolisme. Proses transport aktif penting untuk
mempertahankan keseimbangan natrium dan kalsium antara cairan intraseluler dan
ekstraseluler. Dalam kondisi normal, konsentrasi natrium lebih tinggi pada
cairan intrasluler dan kadar kalium lebih tinggi pada cairan ekstraseluler.
H.
Faktor yang mempengauhi kebutuhan cairan
dan elektrolit
1. Usia
Bayi dan anak di masa
pertumbuhan memiliki proporsi cairan tubuh yang lebih besar dibandingkan orang
dewsa. Karenanya, jumlah cairan yang diperlukan dan jumlah cairan yang hilang juga lebih besar
disbanding orang dewasa. Besarnya kebutuhan cairan pada bayi dan anak-anak juga
dipengaruhi oleh laju metabolic yang tinggi serta kondisi ginjal mereka yang
belum teratur dibaning ginjal orang dewasa.
2. Aktivitas
Aktivitas menyebabkan
peninkatan proses metabolism dalam tubuh .hal ini mengakibatkan peningkatan
pengeluaran cairan melalui keringat. Kehilangan cairan yang tidak disadari
(insensible water loss) juga mengalami peningkatan laju pernapasan dan aktivasi
kelenjar keringat.
3. Iklim
Dalam situasi ini,
cairan yang keluar umumnya tidak dapat disadari (insensible water loss, IWL).
Besarnya IWL pada tiap individu bervariasi,dipengaruhi suhu lingkungan, tingkat
metabolisme, dan usia. Individu yang tinggal di lingkungan yang bersuhu tinggi
atau di daerah dengan kelembapan yang rendah akan lebih sering mengalami
kehilangan cairan dan elektrolit.
4. Diet
Jika asupan makanan
tidak seimbang, tubuh berusaha memecah simpanan protein dengan terlebih dahulu
memecah simpanan lemak dan glikogen. Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar
albumin.
5. Stress
Saat stress, tubuh
mengalami peningkatan metabolism seluler, peningkatan konsentrasi glukosa darah
dan glikolisis otot. Mekaisme ini mengakibatkan retensi air dan natrium.
Disamping itu, stress juga menyebabkan peningkatan produksi hormone anti
deuritik yang dapat mengurangi produksi urine.
6. Penyakit
Trauma pada jaringan
dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit dari sel atau jaringan yang
rusak, seperti luka robek atau luka
bakar. Pasien yang menderita diare jug dapat mengalami peningkatan kebutuhan
cairan akibat kehilangan cairan melalui saluran gastro intestinal.
7. Tindakan
medis
Beberapa tindakan medis
meimbulkan efek sekunder terhadap kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh.
Tindakan pengisapan cairan lambung dapat menyebabkan penurunan kadar kalsium
dan kalium.
8. Pengobatan
Penggunaan
beberapa obat seperti diuretik maupun
laksatif secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan kehilangan cairan
dalam tubuh. Akibatnya, terjadi defisit cairan tubuh.
9. Pembedahan
Klien yang menjalani
pembedahan beresiko tinggi mengalami ketidakseimbangan cairan. Beberapa klien
dapat kehilangan banyk darah selama periode operasi, sedangkan beberapa klien
lainnya justru mengalami kelebihan beban cairan akibat asupan cairan berlebih
melalui intravena selama pembedahan atau sekresi hormone ADH selama masa stress
akibat obat-obat anastesia.
I.
Gangguan Keseimbangan Cair dan
Elektrolit
a.
Ketidakseimbangan Cairan
Dua
kelompok dasar, yaitu gangguan keseimbangan isotonis dan osmolar. Isotonis
terjadi ketikasejumlah cairan dan elektrolit hilang bersaman dalam proposi
yangg seimbang. Ketidak seimbangan osmolar terjadi ketika kehilangan cairan
tidak di imbangi gengan perubahan kadar elektrolit dalam proporsi yang seimbang
sehingga menyebabkan perubahan pada konsentrasi dan osmolalitas serum.
b.
Defisit Volume Cairan
Ketika
tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstra seluler dalam jumlah yang proposional (isotonok0. Kondisi seperti
ini disebut juga hipovolemia. Defisit volume cairan disebabkan oleh kehilangan
cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan cairan, perdarahan dan
pergerakan cairan kelokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak
mudah mengembalikannya kelokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler
istirahat)
Defisit Cairan
Faktor
Resiko
|
Tanda
Klinis
|
1.
Kehilangan cairan berlebih
a. Muntah
b. Diare
c. Pengisapan
lambung
d. Drainase
e. Keringat
berlebih
2.
Ketidak cukupan asupan cairan
a. Anoreksia
b. Mual,
muntah
c. Tidak
ada cairan
d. Depresi
3.
Nilai laboratorium
a. Peningkatan
hematokrit
b. Peningkatan
hemoglobin
c. Peningkatan
BUN
d. Penurunan
CVP
|
·
Kehilangan berat badan (mungkin
juga penambahan berat badan pada kasus perpindahan cairan ke lokasi ketiga)
-
2% (ringan)
-
5% (sedang)
-
8% (berat)
·
Penurunan turgor kulit
·
Nadi cepat dan lemah
·
Penurunan Tekanan Darah
·
Hipotesi postural
·
Penurunan volume darah
·
Bunyi nafas jelas
·
Asupan lebih sedikit daripada
haluaran
·
Penurunan volume urine (kurang
dari 30ml/jam), dapat meningkatkan karena kegagalan mekanisme regulasi
·
Mukosa membrane kering, penurunan
salivasi
·
Vena leher datar
·
Pengisian vena lambat
·
Menyatakan haus/ lemas
|
1. Dehidrasi
Disebut juga
ketidakseimbangan hiper osmolar, terjadi akibat kehilangan cairan yang tidak
diimbangi dengan kehilangan elektrolit dalam jumlah porposional, terutama
natrium. Menyebabkan peningkatan kadar natrium, peningkatan omolalitas, serta
dehidrasi intraseluler. Kondisi ini menyebabkan gangguan fungsi sel dan kolaps
sirkulasi.
Kelebihan volume cairan
(hipervolemia)
Disebabkan oleh
peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat
overload cairan atau adanya gangguan mekanisme homeostatispada proses regulasi
keseimbangan cairan. Penyebab :
a. Asupan
natrium yang berlebihan
b. Pemberian
infuse berisi natrium terlalu cepat dan banyak
c. Penyakit
yang mengubah mekanisme regulasi
d. Kelebihan
steroid
Faktor resiko
|
1.
Kelebihan cairan yang mengandung
natrium dari terapi intravena.
2.
Asupan cairan yang mengandung
natrium dari diet atau obat-obatan.
3.
Nilai laboratorium
-
Penurunan hematokrit
-
Penurunan hemoglobin
-
Penurunan BUN
-
Peningkatan CVP
4.
Gangguan sirkulasi
a. Gagal
jantung
b. Gagal
ginjal
c. Sirosis
hati
|
2. Edema
Edema yang sering
terlihat disekitar mata, kaki dan tangan. Edema dapat terjadi ketika ada
peningkatan produksi cairan interstisial atau gangguan perpindahan cairan
interstisial. Ketika :
a. Permeabilitas
kapiler meningkat (karena luka bakar, alergi).
b. Peningkatan
hidrostatik kapiler meningkat (hipervolemia, opstruksi sirkulasi vena).
c. Perpindahan
cairan dari ruangan interstisial terhambat.
d.
J.
INTERAKSI ANTIDIABETIK
ORAL
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat,lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi
fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin
oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin
atau terdapat resistensi insulin maka kadar glukosa dalam darah akan meninggi
(melebihi nilai normal).
Insulin
adalah suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin diperlukan
agar glukosa dapat memasuki sel tubuh, di mana gula tersebut kemudian
dipergunakan sebagai sumber energi. Jika tidak ada insulin, atau jumlah insulin
tidak memadai, atau jika insulin tersebut cacat , maka glukosa tidak dapat
memasuki sel dan tetap berada di darah dalam jumlah besar. Penyakit diabetes
melitus atau kencing manis disebabkan oleh multifaktor, keturunan merupakan
salah satu faktor penyebab. Selain keturunan masih diperlukan faktor-faktor
lain yang disebut faktor pencetus, misalnya adanya infeksi virus tertentu, pola
makan yang tidak sehat, stres, makan obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar
gula darah dan sebagainya. Gejala penyakit kencing manis sangat bervariasi,
dapat timbul secara perlahan-lahan hingga penderita tidak menyadari terdapatnya
perubahan dan baru dapat ditemukan pada saat pemeriksaan penyaring atau
pemeriksaan untuk penyakit lain. Tetapi gejala-gejala diabetes dapat juga
timbul mendadak secara dramatis sekali. Gejala-gejala umum yang dapat ditemukan
pada penderita kencing manis adalah sebagai berikut:rasa haus yang berlebihan,
sering kencing terutama pada malam hari, berat badan turun dengan cepat, cepat
merasa lapar,timbul kelemahan tubuh, kesemutan pada jari tangan dan kaki,
gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, luka atau bisul yang sukar sembuh dan
keputihan.
1. KLASIFIKASI
DIABETES MELLITUS
Klasifikasi
diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu.
Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset).
Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”,
sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut
sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan
lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39
tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya. Pada tahun
1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai
standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes,
Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes
untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan
istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes,
Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes.
WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada
tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes,
antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly
Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes
melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979
yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan
"Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut
juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi
dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap
mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus"
(IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM),
walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1
dan 2 tetap muncul.
Disamping
dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985
ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain,
Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan
Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada
revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes
yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related
Diabetes Mellitus (MRDM). Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang
tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini
terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan
etiologi penyakitnya.
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)
1
|
Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel β umumnya menjurus ke
arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik
(Otoimunologik)
B. Idiopatik
|
2
|
Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin
|
3
|
Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β :
• kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
• kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
• kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
• DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
• Pankreatitis
• Trauma/Pankreatektomi
• Neoplasma
• Cistic Fibrosis
• Hemokromatosis
• Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia:
Glukokortikoid, hormon tiroid, asam
nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down,
Klinefelter, Turner, Huntington,
Chorea, Prader Willi
|
4
|
Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada
masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor
risiko untuk DM Tipe 2
|
5
|
Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) =
GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance)
= TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)
|
2.
ETIOLOGI
dan PATOFISIOLOGI
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes
tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan
kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan
produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β
pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella,
CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang
dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase).
ICCA
merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90%
penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh
non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA
merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik
untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain
yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans
kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ.
Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan
sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan
otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang
menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru
merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih
merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau
Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama
makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap antigen permukaan
sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80%
penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan
dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.
Otoantibodi
terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien
yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya
ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan
dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor
kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga
otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang
sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA
ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah
dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi
otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga
menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang
berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan
menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak
terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia.
Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan
ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk
menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar
gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe
1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon
terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang
dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi
insulin. Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM
Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang
diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini,
salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam
lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di
jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme
glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka,
dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi
insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel
sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati
dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian
besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
B. Diabetes Mellitus
Tipe 2
Diabetes
Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun,
tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak
populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum
sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup
besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi
lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan
merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan
tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab
terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM
Tipe 2. Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal
patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak
(sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe
2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans
secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian
defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif,
tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan
terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam
dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau
rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,
sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal
perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin
fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya
penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi
secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin,
sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir
menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut,
yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Berdasarkan
uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4
kelompok:
a. Kelompok
yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b. Kelompok
yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
c. Kelompok
yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa <
140 mg/dl)
d. Kelompok
yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).
C.
Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes
Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan,
dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat
pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk
terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain
malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan
meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah
menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes
di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko
tersebut.
D. Pra-diabetes
Pra-diabetes
adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal
dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan
cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong
pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun
2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup
tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes. Kondisi pra-diabetes
merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila
tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi
diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan
olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes.
3. PENGGOLONGAN
ANTIDIABETIK ORAL/HIPOGLIKEMIK ORAL
Berdasarkan mekanisme
kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu:
1.
Golongan
Sulfonilurea
Bekerja dengan cara merangsang sekresi
insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel beta pankreas masih dapat
berproduksi. Terdapat beberapa jenis sulfonilurea yang tidak terlalu berbeda
dalam efektivitasnya. Perbedaan terletak pada farmakokinetik dan lama kerja.
Termasuk dalam golongan ini adalah: Klorpropamid, Glikazid, Glibenklamid,
Glipizid, Glikuidon, Glimepirid, Tolazalim dan Tolbutamid.
Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat golongan ini :
a. Golongan sulfonil urea cenderung meningkatkan berat
badan.
b. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien usia lanjut,
gangguan fungsi hati dan ginjal. Klorpropamid dan glibenklamid tidak dianjurkan
untuk pasien usia lanjut dan pasien insufisiensi ginjal. Pada pasien
insufisiensi ginjal dapat digunakan glikuidon, gliklazid atau tolbutamid yang
kerjanya singkat.
c. Wanita menyusui, porfiria dan ketoasidosis merupakan
kontraindikasi bagi pemberian sulfonilurea.
d. Insulin kadang-kadang diperlukan bila timbul keadaan
patologis tertentu seperti infark miokard, infeksi, koma dan trauma. Insulin
juga diperlukan pada keadaan kehamilan.
e. Efek samping, umumnya ringan dan frekuensinya rendah
diantaranya gejala saluran cerna dan sakit kepala. Gejala hematologik termasuk
trombositopenia, agrunolositosis dan anemia aplastik dapat terjadi tetapi
jarang sekali. Hipoglikemi dapat terjadi bila dosis tidak tepat atau diet
terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati/ginjal atau pada orang usia
lanjut. Hipoglikemia sering ditimbulkan oleh ADO kerja lama
f. Interaksi, banyak obat yang berinteraksi dengan
sulfonilurea sehingga risiko terjadinya hipoglikemia dapat meningkat.
g. Dosis, sebaiknya dimulai dengan dosis lebih rendah dengan
1 kali pemberian, dosis dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat.
2. Golongan
Biguanid
Bekerja dengan
cara menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di
jaringan. Termasuk dalam golongan ini adalah Metformin, Fenformin, Buformin.
Efek samping yang sering terjadi (20% dari pemakai obat) adalah gangguan
saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, rasa tidak enak di abdomen dan
diare.
3. Golongan
analog Meglitinid
Bekerja dengan
cara mengikat reseptor sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive potassium chanel. Yang termasuk dalam golongan ini
adalah Repaglinid.
4. Golongan
Thiazolidindion
Bekerja dengan
cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Berikatan
dengan PPARγ
(peroxisome proliferators activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak,
dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Golongan ini merupakan golongan
baru dari ADO. Termasuk kedalam golongan ini adalah Pioglitazone,
Rosiglitazone.
5.
Golongan penghambat alphaglukosidase
Yang termasuk
dalam golongan ini adalah Akarbosa dan Miglitol yang bekerja dengan cara
menghambat alphaglukosidase yang mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida,
sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat.
Tabel 2.Penggolongan obat hipoglikemik
oral
Golongan
|
Contoh Senyawa
|
Mekanisme Kerja
|
Sulfonilurea
|
Klorpropamid
Glibenklamida
Glipizida
Glikazida
Glimepirida
Glikuidon
Tolazalim
Tolbutamid
|
Merangsang sekresi insulin di kelenjar
pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β
pankreasnya masih berfungsi dengan baik
|
Biguanida
|
Metformin
Fenformin
Buformin
|
Bekerja langsung pada hati
(hepar),menghambat glukoneogenesis di hati dan meningkatkan penggunaan
glukosa di jaringan.
|
Meglitinid
|
Repaglinid
|
Bekerja dengan cara mengikat reseptor
sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive
potassium chanel.
|
Tiazolidindion
|
Rosiglitazone
Pioglitazone
|
Meningkatkan kepekaan
tubuh/sensitivitas terhadap insulin di jaringan perifer. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferators activated receptor-gamma) di
otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin
|
Penghambat
enzim alfaglukosidase
|
Akarbosa
Miglitol
|
Menghambat
kerja enzim alfaglukosidase yang mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida,
sehingga memperlambat absorpsi glukosa kedalam darah
|
V. TERAPI
KOMBINASI OBAT ANTIDIABETIK ORAL
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat anti
diabetik oral (ODA) atau ODA dengan insulin. Kombinasi
yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea
akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan
untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat antidiabetik oral
ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi
keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa
kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang
sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.
Tabel 3.Terapi Kombinasi Obat Anti
Diabetik Oral
DRUG
|
AVAILABLE
DOSAGE STRENGTH
|
MAXIMUM
DAILY DOSE
|
Glipizide/Metformin
(Metaglip®, generic)
|
2.5
mg/250 mg, 2.5 mg/500mg,
5
mg/500 mg tablets
|
20
mg/2000 mg per day
|
Glyburide/
Metformin (Glucovance®, generic)
|
1.25
mg/250 mg,2.5mg/500mg,
5
mg/500 mg tablets
|
20
mg/2000 mg per day
|
Rosiglitazone/Metformin
(Avandamet®)
|
2
mg/500 mg, 2 mg/1000 mg,
4
mg/500 mg, 4 mg/1000 mg tablet
|
8
mg/2000 mg per day
|
Pioglitazone/Metformin
(ActoPlus Met®)
|
15
mg/500 mg, 15 mg/850 mg tablets
|
45
mg/2550 mg per day
|
Pioglitazone/Glimepiride
(Duetact®)
|
30
mg/2 mg, 30 mg/4 mg tablets
|
30
mg/4 mg per day
|
Rosiglitazone/Glimepiride
(Avandaryl®)
|
4
mg/1mg, 4 mg/2 mg, 4 mg/4 mg,8 mg/2 mg, 8 mg/4 mg tablets
|
8
mg/4 mg per day
|
Sitagliptin/Metformin
(Janumet®)
|
50
mg/500 mg, 50 mg/1000 mg tablets
|
|
Interaksi obat
Interaksi obat yang
mungkin timbul dari pemakaian insulin dengan obat antidiabetik oral atau dengan
obat yang lain dapat dilihat pada referensi yang lebih detil, misalnya BNF
terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat-obat tersebut di
bawah ini merupakan contoh obat-obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa
darah sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun
obat antidiabetik oral yang diberikan.
Tabel 4.Obat yang dapat menyebabkan
hiperglikemia
Alkohol
(kronis)
Amiodaron
Asparaginase
++
Antipsikotik
atipikal
Beta-agonis
++
Kafein
Calcium
channel blockers +
Kortikosteroid
+++
Siklosporin
++
Diazoxida
+++
Estrogen
+++
Fentanil
Alfa-Interferon
|
Laktulosa
Litium
+
Diuretika
tiazida +++
Niasin
and asam nikotinat ++
Kontrasepsi
oral ++
Fenotiazin
+
Fenitoin
++
Amina
simpatomimetik ++
Teofilin
Preparat
Tiroid +
Antidepresan
trisiklik
|
Keterangan (diadaptasi dari Bressler
and DeFronzo, 1994):
+ kemungkinan bermakna secara klinis.
Studi/laporan terbatas atau bertentangan.
++ bermakna secara klinis. Sangat
penting pada kondisi tertentu.
+++ berpengaruh bermakna secara klinis.
Obat atau senyawa-senyawa
yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat antidiabetik
oral golongan sulfonilurea antara lain: insulin, alkohol, fenformin,
sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, dikumarol,
kloramfenikol, senyawa-senyawa penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase),
guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat. Hormon pertumbuhan,
hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan glukagon bekerja berlawanan
dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu,beberapa jenis obat seperti
guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat,fenilbutazon, dan lain-lain
juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga sebaiknya tidak diberikan
bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu diperhatikan dan diatur
saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan pada periode yang sama.
Tabel 5.Obat yang dapat
menyebabkan hipoglikemia
Asetaminofen
Alkohol (akut)
Steroid Anabolik
Beta-blockers
Biguanida
Klorokuin
Klofibrat
Disopiramida
Guanetidin
Haloperidol
Insulin
Litium karbonat
|
Inhibitor Monoamin oksidase
Norfloxacin
Pentamidin
Fenobarbital
Fenotiazin
Prazosin
Propoksifen
Kinin
Salisilat
Sulfonamida
Sulfonilurea
Antidepresant trisiklik
|
Drug-Drug Interactions
1.
Klorpropamid vs alkohol è
efek disulfiram (efek antabuse)
MK:
proses perombakan enzimatis dari alkohol di hati akan terhambat pada fase
asetaldehid, sehingga jumlah asetaldehid dalam darah meningkat. Efek yang
terjadi berupa nyeri kepala, jantung berdebar, flushing, berkeringat.
Rx : C2H5OH à
CH3CHO à CH3COOH
Peningkatan ini akan merangsang pelepasan
prostaglandin.
2.
Sulfonilurea vs akarbose è
meningkatkan efek hipoglikemi
MK:
sulfonilurea merangsang sel beta untuk melepaskan insulin yang selanjutnya akan
merubah glukosa menjadi glikogen.
Dengan
adanya akarbose akan memperlambat absorbsi & penguraian disakarida menjadi
monosakarida à
insulin >> daripada glukosa à hipoglikema
meningkat.
3.
Sulfonilurea vs antasid è
absorbsi sulfonilurea meningkat
MK:
interaksi ini terjadi pada proses absorbsi, yaitu antasid akan meningkatkan pH
lambung. Peningkatan pH ini akan meningkatkan kelarutan dari sulfonilurea
sehingga absorbsinya dalam tubuh juga akan meningkat.
4.
Insulin vs CPZ è
glukosa darah meningkat
MK:
CPZ akan menginaktivasi insulin dengan cara mereduksi ikatan disulfida sehingga
insulin tidak dapat bekerja.
5.
Sulfonilurea vs Simetidin è
hipoglikemi
MK:
simetidin menghambat metabolisme sulfonilurea di hati sehingga efek dari
sulfonilurea meningkat.
6.
Sulfonilurea vs Alupurinol è
hipoglikemi >>
MK:
Alupurinol meningkatkan t1/2 dari klorpropamid. Hipoglikemia dan koma dapat
dialami oleh pasien yang mengkonsumsi gliclazide dan alupurinol.
7.
Antidiabetika vs Sulfonamida è
peningkatan efek hipoglikemia.
MK:
Sulfonamida dapat menggantikan posisi dari sulfonilurea dalam hal pengikatan
pada protein dan plasma sehingga sulfonilurea dalam darah meningkat.
8.
Gemfibrozil vs Glimepirid è
hipoglikemi >>
MK:
Gemfibrozil menghambat metabolisme glimepirida pada sitokrom P450 dengan
isoenzim CYP2C9 yang merupakan perantara metabolisme dari glimepirida dan
antidiabetika golongan sulfonilurea lainnya seperti glipizida, glibenklamida
& gliklazida sehingga efek hipoglikemi meningkat.
9.
Sulfonilurea vs kloramfenikol è
hipoglikemi akut
MK:
kloramfenikol dapat menginhibisi enzim di hati yang memetabolisme tolbutamid
dan klorpropamid. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi di dalam tubuh,
waktu paruh akan semakin panjang.
10.
Sulfonilurea vs Probenesid è
hipoglikemi
MK:
probenesid dapat mengurangi ekskresi renal dari sulfonilurea sehingga waktu
paruhnya semakin panjang.
11.
Sulfonilurea vs Klofibrate è
efek sulfonilurea meningkat dengan adanya klofibrate.
MK:
berdasarkan pemindahan sulfonilurea dari ikatan protein plasma, perubahan
ekskresi ginjal dan penurunan resistensi insulin.
12.
ADO vs Diuretik Tiazid è
meningkatkan kadar gula darah
MK:
berdasarkan penghambatan pelepasan insulin oleh pankreas.
13.
ADO vs Ca channel bloker è
hiperglikemia
MK:
menginhibisi sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon, terjadi perubahan
ambilan glukosa dari hati dan sel-sel lain, kadar glukosa dalam darah meningkat
mengikuti pengeluaran katekolamin sesudah terjadinya vasodilatasi, dan
perubahan metabolisme pada glukosa.
14.
Tolbutamid vs Sulfipirazone è
Hipoglikemia
MK:
sulfipirazone menghambat metabolisme tolbutamid di hati.
15. Repaglinide vs Klaritromisin (makrolida) è efek repaglinide meningkat
MK:
Klaritromisin menghambat metabolisme repaglinide dengan menginhibisi sitokrom
P450 isoenzim CYP3A4.
16.
ADO vs SSRIs è
Hipoglikemi
MK:
Fluvoxamine menurunkan kliren dari tolbutamid dengan menghambat metabolismenya
oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2C9, sehingga terjadi peningkatan kadar plasma.
Sehingga efek hipoglikeminya meningkat.
17.
Pioglitazon vs kontrasepsi oral è
mengurangi komponen hormon sampai 30%, berpotensi mengurangi efektivitas
kontrasepsi.
MK:
pioglitazon menginduksi Sistem sitokrom P450 isoform CYP3A4 yang merupakan
bagian yang bertanggung jawab terhadap metabolisme kontrasepsi, oleh karena itu
obat-obat yang lainnya yang dipengaruhi oleh sitokrom P450 juga dapat
berinteraksi.
18.
Rosiglitazon vs NSAID è
resiko edema meningkat.
MK:
Rosiglitazon & obat-obat NSAID sama-sama sebabkan retensi cairan, sehingga
kombinasi keduanya dapat meningkatkan resiko edema.
19.
Glibenklamid vs Fenilbutazon è
Efek hipoglikemia glibenklamid diperpanjang.
MK:
Fenilbutazon menghambat ekskresi renal dari glibenklamid, sehingga dapat
bertahan lebih lama dalam tubuh & memperpanjang t1/2 glibenklamid.
20.
Glibenklamid vs ocreotide è
ocreotide memiliki efek hipoglikemia, sehingga dosis glibenklamid yang
digunakan dapat dikurangi dosisnya.
MK: ocreotide menginhibisi aksi dari
glukagon.
INTERAKSI OBAT DENGAN
MAKANAN
Obat-obat yang kita konsumsi dapat saling
mempengaruhi yang dampaknya bisa negatif dan bisa juga positif bagi kesehatan.
Saling pengaruh yang terjadi bila kita menggunakan lebih dari 1 macam obat
disebut juga interaksi obat. Dalam praktek sehari-hari, interaksi obat jarang dikatakan sebagai akibat kegagalan
pengobatan. Sesungguhnya pemberian obat kepada pasien yang terlampau banyak
jenisnya, misalnya lebih dari 4 macam, sangat potensial menimbulkan efek yang
tidak diinginkan akibat interaksi obat.
Interaksi
obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat
lain yang diberikan bersamaan. Kemungkinan terjadinya peristiwa interksi harus
selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan
secara bersamaan atau hampior bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa
pengaruh yang merugikan, beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam
praktek pengobatan.
Interaksi
dapat membawa dampak yang merugikan kalau terjadinya interaksi tersebut sampai
tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi. Secara
ringkas dampak negatif dari interaksi ini kemungkinan akan timbul sebagai:
-
Terjadinya efek samping
-
Tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan
Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya interaksi obat yaitu :
1. Obat dengan indek terapi sempit.
2. Obat yang mempunyai bioavaibilitas rendah.
3. Formulasi obat.
4. Stereokimia obat.
5. Potensi obat.
6. Obat yang mempunyai kurva dosis respon yang tajam / curam.
7. Lama terapi / penggunaan obat.
8. Dosis obat.
9. Konsentrasi obat dalam darah dan jaringan (cairan tubuh).
10. Waktu dan urutan penggunaan obat.
11. Rute penggunaan obat
12. Base line dari interaksi dan indek terapi.
13. Jumlah obat yang mengalami metabolism.
14. Kecepatan metabolisme obat
15. Ikatan obat dengan protein
16. Volume distribusi
17. Problem farmakokinetik
Jenis interaksi ada 4 macam,
yaitu interaksi obat – obat, Interaksi Obat – makanan, Interaksi
Obat – penyakit, Interaksi Obat – Hasil lab. Disini akan dibahas lebih lanjut
interaksi obat dengan makanan. Tipe interaksi
ini kemungkinan besar dapat mengubah parameter farmakokinetik dari obat
terutama pada proses absorpsi dan eliminasi, ataupun efikasi dari obat.
Pengaruh makanan atau minuman terhadap obat dapat sangat
signifikan atau hampir tidak berarti, bergantung pada jenis obat dan
makanan/minuman yang kita konsumsi. Selain itu harus pula dipahami bahwa sangat banyak faktor lain yang mempengaruhi
interaksi ini, antara lain dosis obat yang diberikan, cara pemberian, umur,
jenis kelamin, dan tingkat kesehatan pasien. Pengurangan
penyerapan obat oleh tubuh dapat juga terjadi bila obat-obat ditelan bersama
obat dan makanan yang mengandung kalsium, magnesium, aluminium dan zat besi.
Obat yang diberikan secara oral akan melalui saluran
pencernaan terlebih dahulu. Oleh karena itu hasil kerja obat di dalam tubuh
manusia sangat mungkin dipengaruhi oleh makanan atau minuman yang
dikonsumsinya. Mekanismenya bisa terjadi melalui penghambatan penyerapan obat
atau dengan mempengaruhi aktivitas enzim di saluran cerna ataupun enzim di hati.
Ada 2 kemungkinan hasil interaksi obat dan makanan. Yang
pertama interaksi obat dan makanan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
khasiat atau manfaat obat dan yang kedua dapat meningkatkan efek samping atau
efek dari obat itu sendiri.
Hal-hal
yang harus diingat tentang interaksi obat dan makanan antara lain:(1)(2)
1. Bacalah
aturan pakai pada kemasan obat
2. Baca
semua aturan, peringatan dan pencegahan interaksi yang ditulis pada label obat
dan kemasan. Bahkan obat bebas pun dapat menyebabkan masalah.
3. Gunakan
obat dengan segelas air putih, kecuali dokter menyarankan cara pakai yang
berbeda.
4. Jangan
mencampur obat ke dalam makanan/ minuman atau menmbuka cangkang kapsul karena
dapat mempengaruhi khasiat obat.
5. Jangan
mencampur obat dengan minuman panas karena panas dapat mempengaruhi kerja obat.
6. Jangan
pernah minum obat dengan minuman beralkohol.
Berikut akan
dibahas beberapa golongan obat yang akan berinteraksi dengan adanya makanan
atau minuman. Golongan obat-obatan yang akan dibahas antara lain:
Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
Antihipertensi
Antiparkinson
Antikoagulan Oral
Immunosuppressant
Antiinflamasi Nonsteroid
Antibiotika
MONOAMIN OKSIDASE INHIBITOR (MAOI)
Monoammine oxydase inhibitors (MAOIs) adalah golongan
obat antidepresan, yang
digunakan untuk pengobatan depresi.
Mekanisme
kerja dari enzim MAO (Monoamine
oksidase) adalah membantu melepaskan ephinephrine,
norephinephrine, dopamine,
dan serotonin. Ketika monoamin oksidase dihambat, konsentrasi dari
neurotrasnmitter meningkat. Obat-obat golongan MAOI masih sering digunakan untuk pengobatan depresi pada manusia.
Inhibitor monoamin oksidase bekerja menghambat penguraian
noradrenalin endogen sehingga meningkatkan kadar noradrenalin di sistem saraf
pusat dan di perifer. Selain itu, MAOI juga dapat menghambat penguraian
tiramin. Simpatomimetika tak langsung seperti tirarnin membebaskan juga
noradrenalin. Dengan adanya tiramin dan obat golongan MAOI dalam tubuh dapat
mengakibatkan konsentrasi noradrenalin meningkat.
Gambar 1. Mekanisme kerja obat
golongan MAO
Obat-obat MAOI meliputi: (3)
·
phenelzine (Nardil®)
·
tranylcypromine (Parnate®)
·
selegiline (Eldepryl®)
·
isocarboxazid (Marplan®)
·
moclebemice (Manerix®)
Efek
samping (4)
Mengantuk, konstipasi, muntah, diare, sakit perut, lelah,
mulut kering, pusing, tekanan darah turun, pusing khususnya ketika posisi
bangun dan duduk, menurunnya pengeluaran urin, menurunnya fungsi seksual, tidur
terganggu, kejang otot, pandangan kabur, sakit kepala, menigkatnya nafsu makan,
gelisah, menggigil, meningkatnya pengeluaran keringat.
Tabel 1. Interaksi yang terjadi
antara obat MAOI dengan makanan(6)
Obat MAO inhibitor
|
Makanan tinggi tiramin
|
Hasil interaksi
|
Isocarboxazid (Marplan®)
Tranylcypromine sulfate (Parnate®)
Phenelzine sulfate (Nardil®)
|
Keju (cheddar), Hati ayam
Minuman cola, Makanan kaleng (daun/sayuran),
Pisang
Bir, Buncis
Kafein, Ekstrak ragi
Daging, Coklat
Ikan kecil, Ikan asin/yg
diawetkan,
Alpukat,
Jamur
Kismis, Sosis (peperoni)
Sour cream, Saus kedelai
Wine: Chianti, Minuman anggur
|
Makanan yang mengandung tiramin jika dikombinasi dengan
obat MAO inhibitor dapat menyebabkan sakit kepala yang hebat, palpitasi,
mual, muntah, dan peningkatan tekanan darah. Berpotensi mengakibatkan stroke
mematikan dan serangan jantung.
|
Gambar
2. Mekanisme interaksi obat golongan MAOI dengan adanya makanan yang mengandung
tiramin
ANTIPARKINSON
Mekanisme Kerja :
1. Dopaminergik
Sentral
Pengisian
kembali kekurangan DA (Dopamin) korpus stratium
2. Antikolinergik
Sentral
Mengurangi
aktivitas kolinergik yang berlebihan di ganglia basal
3. Penghambat
MAO-B
Menghambat
deaminase dopamin sehingga kadardopamin di ujung saraf dopaminergik lebih
tinggi.
Tabel 2. Interaksi yang terjadi antara obat Antiparkinson dengan makanan(6)
Nama
Obat
|
Makanan
|
Hasil
Interaksi
|
Methionine
tryptophan
phenylalanine
Bendopa
Dopar
Larodopa
Sinemet
|
Daging
dan hati
Biji
gandum
Ragi
Makanan tambahan atau
Suplemen vitamin seperti vitamin B6
Makanan
yang tinggi protein
|
Vitamin
B6 menghilangkan aktivitas dari L-dopa dalam mengobati gejala penyakit
parkinson. Diet protein yang berlebihan dapat menghambat L-dopa mencapai
otak.
|
ANTIHIPERTENSI
Mekanisme
Kerja :
1. Penghambat
ACE
Penghambat
ACE mengurangi pembentukan AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan
sekresi aldosteron.
2. Diuretik
Meningkatkan
ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan
ekstra sel.
3. Vasodilator
Melepaskan
nitrogen oksida yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir
defosforilasi berbagai protein, termasuk protein kontraktil, dalam sel otot
polos.
Tabel 3. Interaksi yang terjadi antara obat Antihipertensi dengan makanan(6)
Nama Obat
|
Makanan
|
Hasil Interaksi
|
Enalapril
Captopril
Calan-SR
Capoten
Inderal
Lopressor
Vasotec
Imidapril
Spironolacton
|
Sejenis
gula-gula yang dibuat dari Succus liquiritae
makanan yang banyak mengandung garam
|
Komponen
yang terdapat dalam akar licorice alami menyebabkan retensi garam dan air
yang dapat meningkatkan tekanan darah.
|
ANTIKOAGULAN
ORAL
Mekanisme kerja:(5)
Antikoagulan
oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K adalh kofaktor yang berperan
dalam aktivasi factor pembekuan darah II, VII, IX, X yaitu dalam mengubah
residu asm glutamate menjadi residu asam gama karboksiglutamat. Untuk berfungsi
vitamin K mengalami siklus oksidasi dan reduksi di hati. Antikoagulan oral
mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivasi factor-faktor
pembekuan darah terganggu/tidak terjadi.
Tabel 4. Interaksi yang terjadi
antara obat Antikoagulan Oral dengan makanan(6)
Obat
|
Makanan
|
Mekanisme
Interaksi
|
Warfarin
|
Alkohol
|
Peminum
alkohol berat dapat menstimulasi enzim hepatik yang terkait dengan
metabolisme dari warfarin, menyebabkan warfarin cepat dieliminasi, sebagai
hasil dari t ½ yang pendek
|
Vitamin
C dosis tinggi
|
Mencegah
absorspsi antikoagulan
|
|
cranberry
juice
|
Kemungkinan
dari kompisisi cranberry juice (mungkin
flavonoid, diketahui bahwa menghambat kerja sitokrom P450) menghambat
metabolisme warfarinàmenurunkan Cl,
meningkatkan efek
|
|
Jahe
|
Jahe
menghambat agregasi platelet
|
|
Gingseng
|
Penggunaan
bersama dengan gingseng kadang-kadang terjadi perdarahan, hal ini disebabkan
karena gingseng mengandung komponen antiplatelet
|
|
Rokok
|
Komponen
dari roko menginduksi/menstimulasi enzim hati , yang mana meningkatkan
sedikit metabolisme warfarinàmenurunkan
kerja warfarin
|
|
Vitamin
E
|
Pemberian
vitamin E sebesar 1200UI setiap hari selama 2 bulan àmenyebabkan
perdarahan
Pemberian
800UIàmenurunkan
faktor pembekuan darah dan menyababkan perdarahan
|
|
Dikumarol
|
Vitamin
E
|
Pemberian vitamin E 42 UI setiap hari selam 1 bulanàmenurunkan efek dikumarol setelah 36 jam
|
Antikoagulan
|
natto
(makanan jepang yang terbuat dari fermentasi kacang kedelai, dapat menurunkan
efek dari warfarin)
|
pada
proses pencernaan,aktivitas Bacillus natto di dalam natto pada usus hewan
yang menyebabkan peningkatan sintesis dan kemudian peningkatan absorbsi
vitamin K
|
Acenocoumarol
Dicoumarol
Warfarin
|
makanan dan minuman:
Makanan
Grapefruit juice
Avocado, ice-cream, kacang kedelai
|
- Makanan àmemperpanjang retensi dikumarol dengan makanan-makanan
bagian usus
- Protein dari kacang kedelaià meningkatkan aktivitas vitamin K pada reseptor
dibagian hatiàmenurunkan efek dari warfarin
- Alpukat yang mengandung sedikit vitamin K (8µg/100g)
mempengaruhi warfarin dengan inhibisi kompetitif
- Grapefruit juice àmeningkatkan kelemahan efek inhibitor jus anggur pada
aktivitas sitokrom isoenzim P450 CYP3A4 dalam usus.
|
Antikoagulan
|
Makanan mngandung
vitaminK: Hati sapi; Kubis, kol; Minyak; Kol cina ; Sayuran
hijau ; Bayam
|
Vitamin K menaikkan bekuan darah. Dengan adanya makanan
ini, efek dari antikoagulan, pengencer darah menjadi menurun
|
IMMUNOSUPPRESSANT
Mekanisme kerja:
Kerja dari obat-obat golongan immunosuppressan adalah
menghambat atau mencegah aktifitas sistem imun.
- Biasanya
digunakan dalam pengobatan immunosuppressive.
- Mencegah
penolakan transplantasi organ dan jaringan (sumsum tulang, jantung,
ginjal,hati).
- Mengobati penyakit autoimun ( rheumatoid
arthritis, multiple
sclerosis, myasthenia
gravis, systemic
lupus erythematosus,
Crohn's
disease, pemphigus,
and ulcerative
colitis).
- Pengobatan
beberapa penyakit inflamatory
non-autoimmune (long term allergic asthma
control)
Tabel 5. Interaksi yang terjadi
antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat
|
Mekanisme
kerja
|
Makanan
|
Efek
yang dihasilkan
|
Ciclosporin
|
Penghambatan
selektif sel T,
menurunkan produksi dan pelepasan limfokin serta menghambat ekspresi
interleukin 2.
|
Makanan
Susu
Grapefriut juice
Red wine
St
John’s wort (Hypericum perforatum)
Vitamin
E
|
Makanan,
susu dan grapefruit juice bisa meningkatkan bioavaibilitas ciclosporin.
Red
wine menurunkan bioavailabilitas ciclosporin
Menyebabkan
penurunan kadar ciclosporin dalam serum dan terjadi penolakan organ jika
digunakan dalam beberapa minggu pertama trnsplantasi.
Meningkatkan
absorbsi ciclosporin
|
Keterangan:
• ciclosporin
dimetabolisme oleh cytochrome P450 3A4. Penggunaan bersama ciclosporin
dengan inhibitor cytochrome P450 3A4 dapat menimbulkan peningkatan
kadar ciclosporin dalam plasma.
Besarnya interaksi dan efek potensi bergantung pada efek variabilitas cytochrome
P450 3A4.
• Grapefruit
juice (naringin flavanoid) diperkirakan
menghambat aktivitas dari citokrom p450
isoenzyme CYP3A (metabolisme) pada dinding usus dan hati sehingga kadar
ciclosporin menjadi lebih tinggi , terutama dengan konsumsi grapefruit juice
yang berlebihan (>1,2 liter/hari)
• jus
grapefruit mengandung bahan utama naringin, yang memberi rasa kecut serta aroma
khas. Naringin inilah yang diduga memblok "transporter" obat yang
dinamakan OATP1A2 yang mengangkut bahan aktif obat dari usus kecil ke pembuluh
darah. Pemblokiran transporter ini mengurangi absorpsi obat dan menetralisasi
potensi manfaatnya.
• Antioksidan
(resveratol) pada red wine dapat menginaktivasi CYP3A4 sehingga bisa
meningkatkan kadar ciclosporin, namun red wine juga menurunkan solubilitas
ciclosporin dengan cara membentuk ikatan ciclosporin-red wine pada saluran gastrointestinal sehingga berpotensi
menurunkan bioavaibilitas ciclosporin.
Tabel 6. Interaksi yang terjadi
antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat
|
Mekanisme
kerja
|
Makanan
|
Efek
yang dihasilkan
|
takrolimus
|
menghambat transkripsi gen pembentuk sitokin pada
limfosit T, menghambat
pelepasan histamin melalui mekanisme anti-IgE.
|
St.john’s
wort
Grapefruit
juice
|
Menurunkan
kadar takrolimus
Meningkatkan
kadar takrolimus
|
Keterangan
:
- Makanan
yang dapat menimbulkan interaksi dengan takrolimus adalah St.john’s wort,
efek yang dihasilkannya dapat menurunkan kadar takrolimus. Cytochrome P450
3A4 adalah enzim yang memetabolisme takrolimus. St john’s wort bekerja dengan cara
meninduksi (cytochrome P450 3A4) sehingga kadar takrolimus dalam
darah menurun.
- Sedangkan
Grapefruit juice dapat meningkatkan kadar takrolimus Grapefruit juice
(naringin flavanoid) diperkirakan
menghambat aktivitas dari citokrom p450 isoenzyme CYP3A (metabolisme) pada
dinding usus dan hati sehingga kadar takrolimus menjadi lebih tinggi.
ANTIINFLAMASI
NONSTEROID (AINS)
Mekanisme kerja utama kebanyakan NSAID adalah
menghambat sintesis prostaglandin melalui pengharnbatan enzim siklooksigenase.
Gambar 3. Bagan penghambatan obat antiradang terhadap pembentukan
metabolit-metabolit radang.(7)
·
Aspirin atau derivat salisilat dengan
makanan à
Hindari makanan bersamaan dengan analgesik karena menghambat absorpsi aspirin.
Asam
asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid, non-narkotik (Reynolds,
1982). Kerja utama asam asetilsaIisilat dan kebanyakan obat antiradang
nonsteroid lainnya sebagai penghambat enzim siklooksigenase yang mengakibatkan
penghambatan sintesis senyawa endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa
ini merupakan prazat semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis
rostaglandin akan terhenti (Mutschler, 1991; Campbell, 1991). (7)
Bukti
klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah
studi pada 25 sukarelawan diberikan 650 mg aspirin dalam 5 preparasi aspirin
yang berbeda menunjukkan bahwa makanan “roughly halved” pada tingkat serum
salisilat ketika diukur pada 10 dan 20 menit selanjutnya, dibandingkan dengan
ketika dosis yang sama diambil pada keadaan puasa. Hasil serupa ditemukan pada
percobaan pada sukarelawan yang diberikan 1500 mg kalsium aspirin. Pada
percobaan lain terhadap 8 sukarelawan yang diberikan aspirin effervescent,
level serum salisilat mereka secara perlahan terhambat dengan adanya makanan
pada 15 menit, namun hampir sama setelah 1 jam. Alasan yang mungkin untuk
mengurangi absorpsi yakni aspirin diadsorbsi oleh makanan. Makanan juga
menghambat pengosongan lambung. Maka jika diperlukan efek analgesik yang cepat,
aspirin harus diberikan tanpa makanan, tapi jika aspirin dibutuhkan untuk
jangka waktu lama, maka dengan adanya makanan dapat membantu untuk melindungi
mukosa lambung.
·
Dekstropropoksifen (propoksifen) dengan
makanan à
Makanan dapat menghambat absorpsi dekstropropoksifen, tapi secara total
absorpsi justru meningkat.
Bukti
klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah
studi pada subjek sehat dalam keadaan puasa, kadar plasma puncak
dekstropropoksifen telah dicapai dalam 2 jam, lemak kadar tinggi dan
karbohidrat kadar tinggi menghambat level serum puncak menjadi 3 jam dan
protein tinggi menjadi 4 jam. Pada kedua protein dan karbohidrat (makanan
kecil) menyebabkan sedikit peningkatan total dari jumlah propoksifen yang
diabsorpsi. Kemungkinan alasan keterlambatan penyerapan adalah makanan
menghambat pengosongan lambung dan kemungkinan juga secara fisik mencegah
dekstropropoksifen kontak dengan permukaan usus. Hindari makanan, jika
diperlukan efek anlgesik yang cepat.
ANTIBIOTIKA
Antibiotik merupakan substansi kimia yang diproduksi oleh
berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes), mampu menekan
pertumbuhan mikroba lain dan mungkin membinasakan.
Mekanisme kerja
antibiotik:(8)
Antibiotik dapat menghambat pertumbuhan mikroba melalui beberapa mekanisme yang berbeda, diantaranya adalah
dengan cara:
1. Menghambat sintesis dinding sel mikroba.
2. Mengganggu membran sel mikroba.
3. Menghambat sintesis protein dan asam nukleat mikroba.
4. Mengganggu metabolisme sel mikroba.
INTERAKSI
OBAT-OBAT PARKINSON
Penyakit
Parkinson merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai empat gejala pokok:
bradikinesi (lambat untuk memulai gerakan), rigiditas otot, resting tremor (
tremor saat istirahat) serta abnormalitas sikap tubuh dan berjalan (Cedarbaum
dan Schleifer, 1992). Sindrom ini pertama kali diutarakan oleh James Parkinson
tahun 1817 yang dikenal sebagai paralysis agitans atau shaking palsy,yang
merupakan penyakit neurodegenerative sebagai penyebab umum sindrom ini. Diduga
penyakit Parkinson (Parkinsonisme) merupakan 1-2 % dari kelainan neurologi (Mc
Dowel,1981).
Penyakit Parkinson mempunyai dua bentuk
pokok, yaitu :
1.
Parkinsonisme idiopatik (paralisis
agitans)
2.
Parkinsonisme simptomatik, akibat cedera
kepala atau penyakit. Manifestasi klinis seperti ini dapat diakibatkan oleh
aterosklerosis serebri, cedera kepala, infeksi (termasuk neurosifilis),
keracunan atau Mangan.
Penyebab penyakit Parkinson, menurut
Calne (1980) ialah :
1. Obat-obat
( reserpin, tetrabenozine, fenotiazin seperti klorprolazin, butirofenon seperti
haloperidol, difenilbutilpiperidin seperti pinozoid, antidepresan trisiklik,
prokain dan diazoksid).
2. Bahan
toksik (Cd, Mangan)
3. Infeksi
(ensefalitis, sifilis)
4. Tumor
5. Infark
6. Predisposisi
genetic
Sebagian
besar pasien merupakan Parkinsonisme idiopatik. Didapat inclusion neural yang
disebut : Lewy bodies. Lesi
patologiknya luas tapi hampir selalu melibatkan substansia nigra dan g nglia
basal.
Gejala
pokok penyakit Parkinson ialah: tremor, rigiditas dan hipokinesia. Gambaran
klinis dari penyakit Parkinson termasuk adanya kelainan ekspresi fasial,
postur, cara melangkah (gait), attitude dan gerakan serta rigiditas dan
tremor (Walton,1982).
ü Tahapan
1 : gejala begitu ringan sehingga pasientidak merasa terganggu.
ü Tahapan
2 : gejala ringan dan mulai sedikit mengganggu.
ü Tahapan
3 : gejala bertambah berat.
ü Tahapan
4 : tidak mampu lagi berdiri tegak, kepala, leher dan bahu jatuh kedepan.
ü Memburuknya
gejala, menimbulkan keputusasaan.
A.
Mekanisme
Kerja Obat Parkinson
v Agonis
dopamine
Agonis dopamine secara
langsung mengaktivasireseptor-reseptor dopamine pada saraf-saraf postsinaptik
sehingga terjadi stimulasi reseptor-reseptor tersebut sama sepertiapabila
reseptor berikatan dengan dopamine.
v Antikolinergik
Memblok aktivitaseksitatorik yang meningkat dari sambungan antar
neuron yang bersifat kolinergik pada jalur keluaran dari ganglia basal, yang
secara tidak langsung terjadi akibat hilangnya kerja inhibitorik dopamine pada
sambungan antarneuron tersebut
v Levodopa
Levodopa
akan di dekarboksilasi à dopamine à jumlah neurotransmitter dopamine bertambah àstimulasi reseptor dopamine sentral &
perifer
Pada SSP dan ditempat lainnya, levodopa diubah
oleh 1-asam amino dekarboksilase (1-AAD) menjadi dopamine. Dijaringan perifer
1-AAD dapat diblok dengan cara memberikan karbidopa, yang tidak dapat menembus
sawar otak, oleh karena itu karbidopa meningkatkan penetrasi levodapa eksognus
trsebut serta menurunkan efek samping (misal : mual, muntah, aritmia jantung,
mimpi buruk, hipotensi postural) akibat metabolisme levodopa perifer menjadi
dopamine.
v Inhibitor MAO-B
MAO-B inhibitor akan menghambat secara irreversible enzim monoamine
oksidase B yang mrupakan enzim penting dalam metabolisme dopamine.
Blockade metabolisme MAO-B akan menyebabkan lebih banyak inhibitor
yang tersedia untuk menstimulasi reseptor-reseptor dopamin
v Inhibitor COMT
Memblok
jalur alternative pada mtabolisme dopamine. Memperpanjang waktu paruh dopamine
sehingga memperpanjang durasi dan aksi dopamine.
INTERAKSI OBAT ANTI PARKINSON
1.
Levodopa + Antasid
Antasid tidak berinteraksi secara signifikan dengan levodopa, walaupun
ada beberapa kejadian ada beberapa kejadian bahwa antacid mengurangi
bioavailabilitas levodopa.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa dan
penundaan pengosongan lambung dapat menyebabkan kadar levodopa dalam plasma
rendah, hal ini disebabkan karena levodopa dapat dimetabolisme di dalam
pencernaan.
2.
Levodopa + Antikolinergik
Antikolinergik sangat luas penggunaannya dengan levodopa.
Antikolinergik dapat mengurangi penyerapan levodopa sehingga dapat mengurangi
efek sampai tingkat tertentu.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa,
antikolinergik dapat menyebabkan penundaan pengosongan lambung sehingga dapat
menyebabkan rendahnya kadar levodopa dalam plasma karena metabolism di mukosa
lambung menjadi lebih lambat.
3.
Levodopa + Antiemetik (Metoklopramid)
Metoklopramid dapat meningkatkan efek dari levodopa
Mekanisme :
Metoklopramid merupakan antagonis dopamine yang dapat menyebabkan
gangguan extrapiramidal (gejala Parkinson). Pada sisi lain metoklopramid merangsang
pengosongan lambung yang dapat meningkatkan bioavaibilitas levodopa.
4.
Levodopa + Antipsikosis (Phenotiazin &
Butirofenon)
Phenotiazin (eg. Chlorpromazin) dan Butirofenon (eg.Haloperidol)
memblok reseptor dopamine di otak dan mempengaruhi pengembangan extrapiramidal
(gejala Parkinson)
5.
Levodopa + Baclofen
Menyebabkan efek samping yang tidak menyenangkan (halusinasi, bingung,
sakit kepala, mual) dan memeperburuk gejala Parkinson.
6.
Levodopa + Benzodiazepin
Menyebabkan efek terapeutik levodopa berkurang karena penggunaan
bersama dengan chlordiazepoxid, diazepam atau nitrazepam
7.
Levodopa dengan anastetik
Anestetik : meningkatkan potensi aritmia, jika levodopa diberikan
bersamaan dengan cairan anestetik umum yang diuapkan (inhalasi)
8.
Levodopa dengan anti depresan
Resiko terjadi krisis hipertensi jika levodopa diberikan bersamaan
dengan penghambat MAO, meningkatkan resiko efek smping jika levodopa diberikan
bersama dengan moklobemid
9.
Levodopa dengan piridoksin
Dapat menurunkan jumlah levodopa yang melewati sawar otak.
Mekanisme : Dalam jumlah yang kecil (lebih dari 5 mg) piridoksin sudah
dapat meningkatkan dekarboksilasi levodopa di perifer, akibatnya levodopa yang
mencapai jaringan otak berkurang
10. Amantadin
+ Cotrimoxazol
Dapat meningkatkan kekacauan mental akut pada pasien usia lanjut,
namun bersifat reversible
11. Amantadin
+ Quinin & Qunidin
Pada kadar 200 mg quinine atau quinidin dapat mengurangi metabolisme
amantadin berturut-turut sebanyak 36 %.
12. Amantadin
+ Thiazid
Menyebabkan ataksia (kehilangan keseimbangan tubuh), gelisah dan
halusinasi berkembang tidak lebih.
13. Bromokriptin
+ Antibiotik Makrolide
Menghambat metabolism bromokriptin oleh hati sehingga ekskresinya
menurun dan konsentrasinya tinggi dalam serum darah
14. Levodopa + Entacapone
Entacapone
meningkatkan kadar plasma dan
bioavailabilitas levodopa, sehingga meningkatkan efek terapi pada pasien
penyakit Parkinson. Akan tetapi peningkatan ini disertai dengan meningkatnya
efek samping levodopa (contoh: diskinesia), sehingga disarankan bahwa saat mulai
digunakan entacapone, dosis levodopa sebaiknya dikurangi sekitar 10 sampai 30%
(termasuk pada hari atau minggu pertama pemakaian) untuk menghindari potensi
terjadinya efek samping tersebut.
15. Levodopa + Fluoxetine
Penggunaan fluoxetine untuk mengobati depresi
yang terkait dengan penyakit parkinson umumnya bermanfaat bagi pasien yang
diterapi dengan levodopa untuk mengobati penyakit tersebut. Meskipun demikian,
terkadang gejala parkinsonian justru semakin memburuk. Gejala ekstrapiramidal
jarang terjadi namun diduga gejala tersebut merupakan efek samping fluoxetine.
16. Levodopa + Isoniazid
Tidak terdapat bukti bahwa isoniazid
dapat menurunkan efek levodopa pada penderita Parkinson. Dilaporkan pula bahwa
penggunaan isoniazid bersama dengan levodopa dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi, takikardi, flushing dan tremor pada pasien.
17. Levodopa + Metildopa
Metildopa dapat meningkatkan efek
levodopa sehingga perlu dilakukan penurunan dosis pada beberapa pasien, akan
tetapi di sisi lain hal ini dapat pula menyebabkan terjadinya diskinesia yang semakin buruk. Dapat pula terjadi efek
peningkatan hipotensi yang kecil.
18. Levodopa + Mirtazapine
Suatu laporan menjelaskan mengenai
psikosis serius yang disebabkan oleh interanksi antara levodopa dan
mirtazapine. Hal tersebut terjadi dikarenakan psikosis yang diinduksi dopamine
dicetuskan oleh efek aditif mirtazapine pada levodopa.
19. Levodopa atau Whole broad beans + Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
Reaksi
hipertensi yang cepat, serius dan mengancam jiwa dapat terjadi pada pasien
pengguna MAOI non selektif ireversibel apabila diberikan levodopa atau apabila
mereka memakan whole broad beans yang
mengandung dopa pada cangkang atau kulitnya. Diragukan adanya interaksi yang
terjadi antara sediaan levodopa yang
mengandung carbidopa atau benserazide (Sinemet,
Madopar). Tidak terjadi reaksi
hipertensi serius yang dilaporkan telah terjadi pada penggunaan MAO-A inhibitor
selektif seperti moclobemide, dan interaksi akut yang serius pada penggunaan
selegiline, MAO-B inhibitor selektif.
(a)
Levodopa + MAOI non-selektif,
ireversibel
Pasien
yang setiap hari mengkonsumsi phenelzine selama 10 hari diberikan 50 mg
levodopa secara peroral. Hanya dalam waktu beberapa jam menunjukkan terjadinya
peningkatan tekanan darah dari 135/90 menjadi sekitar 190/130 mmHg, dan
walaupun dengan penyuntikan 5 mg phentolamine secara iv, tekanan darah
meningkat sampai 200/135 mmHg sebelum akhirnya turun kembali setelah
penyuntikan 4 mg phentolamine berikutnya. Hari berikutnya percobaan dilanjutkan
dengan pemberian 25 mg levodopa, akan
tetap tampak terjadinya peningkatan tekanan darah. Tiga minggu setelah
penghentian phenelzine, pemberian levodopa sampai 500 mg tidak memberikan efek
hipertensi.
Kasus
hipertensi akut yang serupa biasa disertai dengan flushing, throbbing, dan pounding pada kepala, leher, dada dan
sakit kepala ringan dilaporkan terjadi pada penggunaan levodopa bersama dengan
pargyline, nialamide, tranylcypromine, phenelzine dan isocarboxazid.
(b)
Whole
broad beans + MAOI non-selektif, ireversibel
Reaksi
seperti hipertensi dilaporkan terjadi pada pasien yang menggunakan MAOI
non-selektif, ireversibel yang juga mengkonsumsi whole broad beans (Vicia alba)
atau polong utuh yang masih berkulit, karena pada kulitnya mengandung dopa akan
tetapi tidak pada polongnya. Termasuk di dalam interaksi ini adalah pargyline
dan phenelzine.
(c)
Levodopa + MAO-A inhibitor selektif
(Moclobamide)
Sebuah
penelitian pada 12 orang sehat yang diberikan dosis tunggal Madopar (levodopa +
benserazide) dengan 200 mg moclobemide dua kali sehari melaporkan bahwa objek
percobaan menderita mual, muntah dan peningkatan dizziness, akan tetapi reaksi peningkatan tekanan darah yang
signifikan tidak terlihat.
(d)
Levodopa + MAO-B inhibitor selektif
(Selegiline)
Kombinasi
levoopa dan seleginine telah digunakan secara luas. Tidak terjadi reaksi
hipertensi yang serius pada penggunaan MAOI non-selektif. Tidak ada interaksi
farmakokinetik yang dilaporkan, dan interaksi serius jarang terjadi. Beberapa
penelitian melaporkan efek kombinasi yang menguntungkan pada kombinasi
tersebut, akan tetapi dikatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan
mortalitas. Retensi urinasi juga diasosiasikan pada penggunaan kombinasi obat
ini.
Mekanisme
Keseluruhan
levodopa dikonversi secara enzimatis di dalam tubuh, pertama menjadi dopamine,
dan kemudian menjadi noradrenalin (norepinefrin), keduanya akan dirusak oleh
monoamine oksidase. Akan tetapi dengan adanya MAOI efek penghancuran tersebut
dapat terhambat, sehingga kadar plasma dopamine dan noradreanalin akan
meningkat. Bagaimana tepatnya hal tersebut dapat meningkatkan tekanan darah
secara tajam belum jelas, akan tetapi baik dopamine maupun noradrenalin akan
secara langsung menstimulus reseptor alfa pada sistem kardiovaskular
20. Levodopa + Papaverin
Bukti
Klinis :
(a)
Penurunan efek levodopa
Seorang
wanita dengan parkinsonisme diterapi menggunakan levodopa (yang selanjutnya
dilakukan penambahan carbidopa), mulai menunjukkan parkinsonisme yang semakin
memburuk dalam satu minggu saat diberikan 100 mg papaverin setiap hari untuk
mengobati insufisiensi pembuluh serebral.
Kondisi tersebut tetap tampak bahkan setelah penghentian papaverin.
Respons normal terhadap levodopa kembali pulih setelah satu minggu. Empat
pasien lainnya juga menunjukkan respons serupa.
(b)
Efek levodopa tetap
Sebuah
studi acak ganda (double blind crossover) dilakukan pada 9 pasien parkinsonisme yang
diobati menggunakan levodopa (antara 100 sampai 750 mg per hari) dan inhibitor
dopa-dekarboksilase. Dua di antaranya juga manggunkan bromocriptine 40 mg per
hari dan triheksilphenidyl (benzhexol) 15 mg per hari.
Mekanisme
Papaverin memblok reseptor dopamine pada otak,
sehingga menghambat efek levodopa. Selain itu papaverim memiliki aktivitas
mirip-reserpin pada vesikel di neuron adrenergik (yang dapat menurunkan
simpanan katekolamin).
21. Levodopa + Penicillamine
Penicillamine dapat
meningkatkan kadar plasma levodopa pada beberapa pasien. Hal ini dapat
meningkatkan terapi pada parkinsonisme, akan tetapi ROTD levodopa juga dapat
meningkat.
Bukti Klinis,
mekanisme, urgensitas dan menejemen.
Pasien parkison mengalami
peningkatan kadar plasma levodopa sebesar 60% setelah pemberian 600 mg penicillamin
per hari. Hal ini menyebabkan meningkatnya terapi akan tetapi diikuti pula oleh
diskinesia. Diperhatikan bahwa pasien perlahan-lahan mengalami penurunan kadar
tembaga (copper) dan ceruloplasmin
plasma. Hal ini disebabkan karena terjadinya efek kelasi tembaga oleh
penicillamine. Penicillamine dapat ,mempengaruhi farmakokinetik levodopa.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas
dan menejemen
Seorang pasien (yang sangat sensitif terhadap levodopa)
ditemukan bahwa pasien tersebut
dapat mencegah pergerakan involunter dari lidah, leher dan lengan yang
disebabkan oleh levodopa (125 mg). Pasien tersebut dapat menekan efek samping levodopa dengan menggunakan
fenilbutazon. Fenilbutazon juga menurunakan efek terapi dari levodopa.
Efek terapi
levodopa dikurangi atau dihilangkan dengan adanya fenitoin.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas
dan menejemen
Suatu studi pada pasien yang menggunakan levodopa 630 hingga 4600 mg, ditemukan bahwa jika dilakukan pemberian
bersama dengan fenitoin (dosis 500 mg per hari selama 5 sampai 19 hari) maka
dapat menghilangkan efek dyskinesia, tetapi efek menguntungakan dari levodopa untuk penyakit parkinson juga berkurang atau
hilang
Efek levodopa
berkurang atau hilang pada penggunaan bersama dengan piridoksin tetapi
interaksi ini tidak terjadi jika levodopa diberikan bersama dengan carbidopa atau benserazide (misal :. Sinemet,
Madopar).
Bukti Klinis
(a) Levodopa
Suatu studi pada 25 pasien yang diobati dengan
levodopa menunjukkan bahwa jika mereka diberikan piridoksin dosis tinggi (750
hingga 1000 mg per hari),efek levodopa benar-benar hilang dalam 3 sampai 4 hari, dan
beberapa penurunan efek dalam 24 jam. Dosis harian 50 hingga 100 mg piridoksin juga mengurangi atau menghilangkan
efek dari levodopa, dan peningkatkan tanda dan gejala parkinson terjadi 8 dari
10 pasien yang menggunakan 5 sampai 10
Mekanisme
Konversi levodopa menjadi dopamine di dalam tubuh membutuhkan adanya pyridoxal-5-phosphate
(berasal dari pyridoxine) seagai kofaktor.jika konsumsi piridoksin tinggi, maka metabolisme perifer levodopa di luar
otak meningkat sehingga hanya sedikit yang dapat masuk ke dalam susunan saraf
pusat. Pyridoksin juga dapat menyebabkan
metabolisme levodopa dengan Schiff-base formation. Adanya inhibitor dopa-decarboxylase seperti carbidopa atau benserazide, metabolisme perifer levodopa diturunkan dan
levodopa dapat masuk ke susunan saraf pusat dalam jumlah yang lebih besar.
Efek levodopa
diantagonis dengan penggunaan alkaloid rauwolfia seperti reserpine.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas
dan menejemen
Reserpine dan alkaloid rauwolfia lain menurunkan miniamin di
dalam otak, termasuk dopamine, sehingga menurunkan efeknya. Hal ini dapat menyebabkan gejala yang mirip
dengan parkinson, dan dapat mengantagonis efek dari levodopa.
Level plasma
carbidopa diturunkan dengan penggunaan spiramycin, oleh karena itu dapat menurunkan efek
terapeutiknya.
Bukti Klinis
Observasi pada pasien Parkinson
yang menggunakan levodopa/carbidopa (Sinemet) menjadi sedikit tidak terkontrol jika diberikan
bersama dengan spiramisin. Studi dilanjutkan pada 7 orang sehat yang diberikan 250 mg
levodopa dengan 25 mg
carbidopa. Setelah menggunakan spiramisin
1 g dua kali sehari
selama 3 hari, AUC dari
levodopa turun 57%, sementara level maksimum plasma turun dari
2162 menjadi
1680 nanograms/ml (tidak
signifikan). Kerelativan
ioavailabilitas levodopa hanya 43%.
Mekanisme
Spiramycin menurunkan absorpsi carbidopa, dengan membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi di dalam usus atau
dengan meningkatkan transit di dalam usus. Sehingga carbidopa yang diabsorpsi tidak
mencukupi, sehingga efek levodopa turun.
Semakin
memburuknya parkinson pada pasien yang diberikan tacrin. Efek levodopa diantagonis ketika dosis
takrin meningkat
Bukti Klinis
Parkinson ringan pada wanita tua yang juga
menderita Alzheimer semakin
memburuk, terjadi tremor yang parah, stiffness dan disfungsi gait (cara berjalan)
dalam waktu 2 minggu saat meningkatkan dosis takrin dari 10 mg menjadi 20 mg
empat kali sehari.
Mekanisme
Parkinsson disebabkan karena ketidakseimbangan
antara dua neurotransmiter (dopamine and acetylcholine) di dalam basal ganglia otak. Tacrine (antikolinesterase sentral) meningkatkan jumlah
asetilkolin di dalam otak, yang dapat menyebabkan eksaserbasi gejala parkinson.
Terjadi efek
hipertensif ketika imipramine
atau amitriptyline digunakan
bersama dengan Sinemet.
Bukti Klinis
Adanya hipertensi (tekanan darah 210/110 mmHg) yang berhubungan dengan agitasi, tremor
dan rigidity terjadi pada wanita uang menggunakan 6
tablet of Sinemet (levodopa 100 mg + 10 mg carbidopa) per hari, kemudian hari berikutnya pasien
tersebut menggunakan imipramin 25 mg tiga kali sehari. Saat penggunakan
imipramin dihentikan, pasien tersebut kembali pada keadaan nornal setelah 24
jam. Reaksi serupa terjadi
lagi saat pasien tersebut meminum 25 mg amitriptyline tiga kali
sehari. Reaksi hipertensif yang mirip (meningkat dari 190/110 menjadi 270/140 mmHg) terjadi dalam waktu 34 jam pada pasien lain yang mengkonsumsi amitriptyline 20 mg pada malam ketika diberikan setengah
tablet Sinemet dan
10 mg metoclopramide tiga kali
sehari.
Mekanisme
Tidak diketahui. Usus halus merupakan tempat
absorpsi utama dari levodopa. Menunda efek pengosongan lambung yang dapat
disebabkan oleh antikolinergik, nampak adanya penurunan lebel plasma levodopa,
karena mukosa lambung memetabolisme levodopa.
29. Lisuride
+ berbagai macam obat
Eritromisin
dan makanan dapat bereaksi secara klinik dengan lisuride. Antagonis dopamine
dapat diperkirakan mengurangi efek dari lisuride, dan lisuride dapat
memperburuk efek dari obat-obt psikotropik.
Bukti
Klinis
Terhadap
12 orang sehat, lisuride dengan dosis 200 mcg secara oral atau 50 mcg secara iv
diberikan 30 menit setelah penggunaan eritromisin (dosis tidak diketahui)
sehari 2 kali selama empat hari. Lalu pada 30 orang sehat lainnya diberikan 200
mcg lisuride secara oral dalam keadaaan puasa atau terdapat makanan. Maka dapat
terlihat eritromisin dan makanan dapat merubah farmakokinetik dan
farmakokinetik dari lisuride.
Lisuride
merupakan agonis dopamine, maka obat-obat antagonis dopamine seperti
haloperidol, sulpirirde dan metoklopramid dapat melemahkan efek obat-obat
psikotropik.
30. Piribedil
+ Clonidine
Clonidine
dapat dilaporkan, bahwa efeknya melawan efek yang dihasilkan dari piribedil.
Berdasarkan
pengamatan pada 5 pasien yang mengkonsumsi piribedil bersamaan dengan clonidine
(1,5 mg perhari untuk 10-24 hari) dapat memperburuk proses Parkinson. Maka,
penggunaan obat antikolinergik dapat mengurangi dengan efek dari interaksi
tersebut.
31. Pramipexole
+ berbagai macam obat
Cimetidine,
Probenecid dan amantadine dapat mengurangi clearance pramipexole dari dalam
tubuh. Pramipexole tidak diharapkan berinteraksi dengan obat-antikolinergik,
levodopa (pengurangan dosis mungkin diperlukan) atau selegine, tetapi
penggunaannya harus diperhatikan jika obat tersebut dikombinasikan dengan obat
antipsikotik.
Berdasarkan
pengamatan terhadap 12 orang sehat, ditemukan cimetidine (multiple dose)
mengurangi clearance dari pramipexole dengan dosis 250 mcg (single dose)
sebesar 35 % dan meningkatkan waktu paruh sebesar 40 %. Amantadine dan
cimetidine, keduanya dieliminasi oleh rute tersebut ( contoh melalui renal kationik
sistem transport sekresi), maka tingkat ekskresi kedua obat tersebut berkurang.
Probenecid
(multiple dose) diberikan kepada 12 orang sehat dapat mengurangi clearance
pramipexole sebesar 10, 3%. Dapat disimpulkan bahwa hendaknya pengurangan dosis
pramipexole dipertimbangkan ketika amantadin atau cimetidine diberikan secara
bersamaan dengan pramipexole.
Meskipun
tidak ada interaksi farmakokinetik diantara pramipexole dan levodopa,
pramipexole merubah aksi levodopa , maka penurunan dosis levodopa seiring
dengan penaikan dosis pramipexole. Penggunaan secara bersamaan dengan obat-obat antipsikoti, harus dapat dihindari,
sebab sebagian besar aksi antagonis dopamine akan mengantagonis efek
pramipexole, agonis dopamine.
Meskipun
tidak terdapat interraksi farmakokinetik pramipexol dengan levodopa, tetapi
jika pada penggunaan Pramipexole dengan dosis tinggi, maka levodopa dosisnya
harus ditambah.
Aksi
Antagonis dopamine dapat akan mengantagonis atau menghambat efek dari
pramipexole, antagonis dopamine.
32. Ropinirole
+ berbagai macam obat
Oestrogen
dapat mengurangi clearancero pinerole. Cimetidin, Ciproploxacin, fluvoxamin
dapat meningkatkan efek ropinerole, dan dopamine antagonis seperti
metoklopramid dan sulpiride mengurangi efek ropinerole.
Ropinirole
merupakan agonis dopamine, jadi obat antipsikotik dan obat-obat lain yang
bertindak pada reseptor sentral dopamine antagonis (sulpiride dan
metoclopramide), harus dihindari karena dapat mengurangi keefektifan
ropinerole.
Ropinirol
dan levodopa tidak memiliki interaksi farmakokinetik pada kondisi steady-state.
Meskipun demikian, maka disarankan mengurangi dosis levodopa sekitar 20%.
Oestrogen yang digunakan dalam Hormonal
Replacement Therapy (HRT) dapat mengurangi clearance ropinirole.
Berdasarkan
pengamatan secara invitro menunjukkan sitokrom P45o dengan isoenzim CYP1A2 yang
sebagian besar bertanggung jawab terhadap metabolisme ropinerole, dengan CYP3A
yang mempunyai sedikit peranan dalam metabolisme ropinirol. Adanya interaksi
dengan obat-obat yang merangsang atau menghambat CYP1A2.
Penggunaan
bersama dengan obat-obat seperti cimetidin, ciprofloxacin dan fluvoxamine dapat
miningkatkan efek ropinirenol, maka jika digunakan bersamaan dosis ropinerol
hendaknya dikurangi.
33. Selegine
+ Antidepressant
Beberapa
kasus sindrom serotonin dan kerusakan serius pada SSP telah terlihat pada
penggunaan selegiline dan trisiklik antidepresan atau SSRI S .
v SSRIS
a. Citalopram
Pengamatan
dilakukan secara acak terhadap 18 orang , dimana tidak menunjukkan adanya
interaksi farmakodinamik dan farmakokinetik pada penggunaan bersama citalopram
dan selegiline. Pemberian 20 mg citalopram sekali dalam sehari untuk pemakaian 10 hari dimana 4 hari
citalopram digunakan bersama selegiline dengan pemberian dosis 10 mg sekali
sehari. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya perubahan, teteapi
bioavaibilitas selegiline sedikit berkurang sekitar 30% dengan adanya
citalopram. Tetapi dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi klinik yang
terjadi diantara selegiline dan citalopram.
v Antidepresan
Tetrasiklik
Pada
seseorang yang sedang menggunakan selegiline, levodopa/carbidopa, lisuride,
maprotiline, teofilin, efedrin menyebabkan hipertensi (tekanan darah 300/150
mg), vasokonstriksi, bingung, nyeri perut, berkeringat dan takikardi (110 bpm)
meningkatkan dosis teofilin dan efedrin. Semua obat tersebut diberhentikan
penggunaannya, dan pasien diberikan nicardipin secara iv. Orang tersebut sembuh
dalam waktu yang singkat. Dapat diperkirakan hal tersebut adalah
‘pseudophaeochromocytoma’ yang disebabkan oleh selegiline/maprotilen/interaksi
efedrin.
v Antidepresan
Trisiklik
Pada
tahun 1989 dan 1994 FDA menerima 16 laporan mengenai interaksi selegiline dan
antidepresan trisiklik, yang berhubungan dengan adanya sindrom serotonin. Oleh
karena ini pihak Amerika menetapkan bahwa penggunaan bersama selegiline dengan
antidepresan trisiklik harus dihindari.
Salah
satu penelitian menyatakan pada 4568 pasien yang menggunakan selegiline dan
antidpresan (termasuk trisiklik) hanya ditemukan 11 orang (0,24%) yang mengalami
sindrom serotonin dan 2 orang (0,04%) yang mengalami gejala yang serius.
Penelitian
lainnya yang dirancang untuk mengevaluasi toleransi dan efikasi dari kombinasi
selegiline dan antidepresan trisiklik yang diidentifikasi dari 28 pasien yang
menggunakan kedua obat tersebut. Berdasarkan pengamatan, 17 pasien sudah pasti
menerima kebaikan/manfaat dan 6 pasien lainnya kemungkian menerima
kebaikan/manfaat dari kombinasi kedua obat tersebut.
Sedangkan
pada penelitian lainnya yaitu pada 25 angka kejadian pada penggunaan kombinasi
selegiline-trisiklik tidak ditemukan adanya kasus serotonin sindrom.
v Antidepresan
lainnya
a. Trazodone
Berdasarkan
pengamatan pada pasien dengan penyakit Parkinson dengan selegiline 5-10 mg
perhari (dan obat antiparkinson lainnya seperti levodopa/carbidopa,
bromocriptin, amantadin, pergolide antikolinergik) menyebutkan bahwa penambahan
tazadone 25 sampai 150 mg perhari menyebabkan tidak adanya efek samping dan
pasien menunjukkan bahwa adanya manfaat dari kombinasi tersebut, termasuk
peningkatan gejala-gejala parkinson
b. Venlafaxine
Seseorang
dengan peningkatan sindrom serotonin 15 hari setelah memberhentikn penggunaan
selegiline 50 mg (perhari)dan selama 30 menit pada awal penggunaan venlafaxine
37,5 mg.
34. Selegiline
+ Cocain
Cocain
dan selegiline tidak berinteraksi secara langsung
Berdasarkan
pengamatan terhadap 5 orang yang diberikan cocaine dengan dosis 0,20 dan 40 mg,
lalu satu jam kemudian diberikan selegiline dengan dosis 10 mg secara oral.
Maka, Coccaine akan meningkatkan denyut jantung,tekanan darah, diameter pupil
dan euphoria. Bagaimanapun, pemberian selegiline mengurangi diameter pupil,
tetapi tidak merubah dilatasi pupil atu efek lainnya yang ditimbulkan setelah
pemberian cocaine. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kedua obat tersebut aman
jika digunakan secara bersamaan dan tidak menguatkan efek cocaine.
INTERAKSI OBAT DENGAN UJI LAB
Agar dapat memantau keadaan
kesehatan kita, perlu dilakukan tes laboratorium secara berkala. Pemeriksan
laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan khusus dengan
mengambil bahan/sample dari penderita, dapat berupa urine (air kencing), darah,
sputum (dahak), atau sample dari hasil biopsy
Tujuan
pemeriksaan laboratorium yaitu :
- Mendeteksi penyakit
- Menentukan resiko
- Memantau perkembangan penyakit
- Memantau pengobatan dan lain-lain
- Mengetahui ada tidaknya
kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensi membahayakan.
Dalam makalah
ini akan dibahas hal yang dapat mempengaruhi pemeriksaan laboratorium adalah
penggunaan obat oleh pasien sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan menurunkan
jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan meningkatkan jumlah leukosit dan
trombosit. Pemberian transfusi darah akan mempengaruhi komposisi darah sehingga
menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus darah tepi maupun penilaian
hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
hemostasis.
Darah
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai
Rujukan
|
Eritrosit
(sel darah merah)
|
juta/µl
|
4,0
– 5,0 (P)
4,5 – 5,5 (L) |
Hemoglobin
(Hb)
|
g/dL
|
12,0
– 14,0 (P)
13,0 – 16,0 (L) |
Hematokrit
|
%
|
40
– 50 (P)
45 – 55 (L) |
Hitung Jenis
|
||
Basofil
|
%
|
0,0
– 1,0
|
Eosinofil
|
%
|
1,0
– 3,0
|
Batang1
|
%
|
2,0
– 6,0
|
Segmen1
|
%
|
50,0
– 70,0
|
Limfosit
|
%
|
20,0
– 40,0
|
Monosit
|
%
|
2,0
– 8,0
|
Laju
endap darah (LED)
|
mm/jam
|
<
15 (P)
< 10 (L) |
Leukosit
(sel darah putih)
|
103/µl
|
5,0
– 10,0
|
MCH/HER
|
Pg
|
27
– 31
|
MCHC/KHER
|
g/dL
|
32
– 36
|
MCV/VER
|
Fl
|
80
– 96
|
Trombosit
|
103/µl
|
150
– 400
|
Catatan:
1. Batang dan segmen adalah jenis neutrofil. Kadang kala dilaporkan persentase neutrofil saja, dengan nilai rujukan 50,0–75,0 persen |
Fungsi Ginjal
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai
Rujukan
|
Kreatinin
|
U/L
|
60
– 150 (P)
70 – 160 (L) |
Urea
|
mg/dL
|
8
– 25
|
Natrium
|
mmol/L
|
135
– 145
|
Klorid
|
mmol/L
|
94
– 111
|
Kalium
|
mmol/L
|
3,5
– 5,0
|
Fungsi Hati
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai Rujukan
|
ALT (SGPT)
|
U/L
|
< 23 (P)
< 30 (L) |
AST (SGOT)
|
U/L
|
< 21 (P)
< 25 (L) |
Alkalin fosfatase
|
U/L
|
15 – 69
|
GGT (Gamma GT)
|
U/L
|
5 – 38
|
Bilirubin total
|
mg/dL
|
0,25 – 1,0
|
Bilirubin langsung
|
mg/dL
|
0,0 – 0,25
|
Protein total
|
g/L
|
61 – 82
|
Albumin
|
g/L
|
37 – 52
|
Profil Lipid
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai Rujukan
|
Kolesterol total
|
mg/dL
|
150 – 200
|
HDL
|
mg/dL
|
45 – 65 (P)
35 – 55 (L) |
Trigliserid
|
mg/dL
|
120 – 190
|
Lain-lain
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai Rujukan
|
Glukosa (darah,
puasa)
|
Mg/dL
|
70 – 100
|
Amilase
|
U/L
|
30 – 130
|
Asam Urat
|
Mg/dL
|
2,4 – 5,7 (P)
3,4 – 7,0 (W) |
Beberapa Tes laboratorium yang sering dilakukan diantaranya ialah :
Tes darah lengkap
Tes ini mengukur tiap komponen dalam darah. Tes darah lengkap sangat
penting karena beberapa jenis obat-obatan dapat menyebabkan rendahnya jumlah
darah merah atau darah putih, yang kemudian dapat menyebabkan anemia atau
kelainan darah lain. Tes ini mengukur jumlah sel darah putih, hemoglobin,
hematocrit dan platelet dalam darah. Dengan menggunakan tes ini, jumlah sel
darah putih yang tinggi dapat berarti tubuh melakukan perlawanan terhadap
infeksi yang mungkin tidak terdeteksi; jumlah sel darah merah yang rendah
dengan hemoglobin dan hematocrit bisa jadi merupakan anemia akibat konsumsi
obat; dan jumlah platelet yang rendah dapat mempengaruhi pembekuan darah.
Skrining kimia darah
Tes ini merupakan skrining umum
untuk mengukur apakah organ-organ tubuh anda (jantung, hati, ginjal, pankreas),
otot dan tulang, bekerja dengan benar dengan mengukur kimia-kimia tertentu
dalam darah. Tes ini penting untuk mendeteksi infeksi atau efek samping obat.
Salah satu fokus terpenting dalam tes ini adalah monitor enzim hati. Hati
merupakan organ tubuh penting karena hati membantu memproses obat-obatan, dan
karena obat-obatan ini menuntut lebih banyak dari hati anda, ada kemungkinan
terjadi toksisitas hati yang dapat mempengaruhi kesehatan umum anda. Albumin,
alkalin, fosfat dan bilirubin juga perlu dimonitor untuk memastikan hati anda
bekerja dengan baik. Fokus penting lain adalah untuk memonitor tingkat lipid
jantung anda. Tes ini membantu memonitor kolesterol LDL (kolesterol jahat),
kolesterol HDL (kolesterol sehat) serta trigliserida. Mengenal jenis-jenis
lipid ini sangatlah penting untuk membantu memonitor kemungkinan penyakit
jantung. Tes kimia darah ini sebaiknya dilakukan setiap tiga bulan, hasilnya
dapat diperoleh dalam dua atau tiga hari kerja.
Tes laboratorium merupakan bagian
penting dari perawatan kesehatan komprehensif
dengan membantu memonitor perkembangan penyakit di dalam tubuh. Tes-tes
ini dapat menjadi indikator untuk mendeteksi masalah-masalah kesehatan. Namun,
ketika anda menggunakan hasil lab sebagai perbandingan dalam memonitor
kesehatan anda, perlu juga untuk memahami bahwa suatu hasil tes yang tidak
terduga belum tentu mengindikasikan adanya masalah kesehatan yang serius, yang
lebih penting adalah untuk melihat tren dari hasil tes dalam jangka waktu
tertentu, daripada hanya berpatokan pada satu hasil tes saja. Selain itu,
terdapat banyak faktor dapat membuat hasil tes darah anda berbeda, ingatlah:
bila anda tidak nyaman dengan tes darah pertama anda, minta dokter untuk
mengulang tes. Penting untuk semua orang untuk memiliki pengertian umum tentang
cara membaca ringkasan hasil tes laboratorium. Namun, lebih penting lagi untuk
berbicara dengan dokter anda mengenai hasil lab anda dan minta kepadanya untuk
mengartikan hasil tes dan bagaimana hasil tersebut dapat mempengaruhi
perencanaan pengobatan anda.
Macam-macam uji laboratorium:
·
Alkalin
Fosfatase
Merupakan suatu enzym yang dibuat di
liver, tulang dan plasenta dan biasanya ada dalam konsentrasi tinggi pada saat
pertumbuhan tulang dan didalam empedu. Enzim ini menghidrolisis ester fosfat
dalam medium alkali.
Alkalin fosfatase dilepaskan kedalam
darah pada saat luka dan pada aktivitas
normal seperti pada pertumbuhan tulang dan pada saat kehamilan. Tingginya
tingkat alkalin fosfat dalam darah mengindikasikan adanya penyakit dalam tulang
atau lever dan konsentrasi akan meningkat jika terjadi obstruksi aliran empedu.
Tes untuk alkalin fosfat dikerjakan
untuk mendiagnosa penyakit-penyakit liver atau tulang, atau untuk melihat
apakah pengobatan untuk penyakit tersebut bekerja.
Uji alkalin fosfat ada dalam tes darah
rutin, termasuk dalam bagian tes fungsi liver. Kisaran normal alkalin fosfat
dalam darah adalah 44 sampai 147 IU/L.
Obat-obat yang dapat mempengaruhi
konsentrasi alkalin fosfat diantaranya ialah :
- Obat AINS
Dapat menurunkan angka alkalin fosfatase
- Parasetamol
Meningkatkan angka
alkalin fosfat
Mekanisme : Parasetamol dapat mengganggu metabolisme sel
hati yang dapat menyebabkan nekrosis. Terjadinya nekrosis ini akan meningkatkan
angka alkalin fosfatase.
·
Bilirubin
Bilirubin
(pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak
penting, namun merupakan petunjuk adanya penyakit hati dan saluran empedu.
Pembuangan sel
darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu.
Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah
yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian
dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu.
Obat-obat yang mempengaruhi Bilirubin:
- Fenobarbital
Dapat menurunkan kadar
bilirubin
Fenobarbital meningkatkan aktivitas glukoronil
transferase (enzim yang digunakan pada konyugasi dengan asam glukuronat
sehingga dengan cepat diekskresi melalui empedu dan urin)
- Estrogen, Steroid Anabolik
Dapat meningkatkan kadar bilirubin
Menyebabkan
penurunan ekskresi bilirubin. Hal ini menyebabkan terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan karena terjadinya gangguan transfer
bilirubin melalui membran hepatosit yang sehingga terjadi retensi bilirubin
dalam sel
Obat-obat
yang mempunyai mekanisme yang sama adalah halotan (anestetik), isoniazid, dan
klorpromazin
·
Glukosa
Obat-obat yang mempengaruhinya:
1.
Atenolol
Interaksi dengan
test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot
rangka sehingga mengurangi efek hiperglikemia dari epinefrin yang dilepaskan
oleh adanya hipoglikemia sehingga kembalinya kadar gula pada hipoglikemia
diperlambat.
2.
Kortikosteroid
golongan glukokortikoid
Interaksi dengan
test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi
penggunaan glukosa di jaringan perifer dengan cara menghambat uptake dan
penggunaan glukosa oleh jaringan mungkin melalui hambatan transporter glukosa.
Kadar normal: 7-20mg/DL
·
Blood
Urea Nitrogen (BUN) test
BUN adalah
konsentrasi urea pada plasma atau darah yang merupakan indikator penting fungsi
ginjal. Test ini digunakan untuk melihat apakah ginjal bekerja dengan baik atau
tidak dimana pada fungsi ginjal normal, kadar urin nitrogen adalah 3,6-7,1
mmol/L atau 10-20/dL. BUN test dilakukan dengan mengukur jumlah nitrogen yang
berada dalam darah yang berasal dari urea.
Obat yang mempengaruhi:
1.
Furosemid
Furosemid dapat meningkatkan BUN
Mekanisme: furosemid adalah obat golongan diuretik kuat
yang dapat menyebabkan ekskresi glomerular sodium dan air yang
tinggi (20-30%), sehingga menyebabkan dehidrasi. Jika terjadi dehidrasi maka
aliran darah ke ginjal menjadi berkurang.
2.
Vankomisin
Vankomisin dapat meningkatkan Blood Urea Nitrogen
Mekanisme: Vankomisin dapat menyebabkan
ginjal tidak bekerja dengan baik, pengeluaran urea
nitrogen menjadi terhambat sehingga
kadarnya dalam darah meningkat.
3.
Piroksikam
Piroksikam sedikit
dapat meningkatan kadar BUN pada permulaan terapi yang kemudian menetap kadarnya (plateau) seperti halnya pada pengobatan dengan fenilbutazon, indometasin dan aspirin. Prostaglandin pada ginjal merupakan hormon dalam pengaturan sirkulasi darah di dalam medula dan korteks
adrenal.
Mekanisme kerja:
Penghambatan
sintesis prostaglandin oleh
obat ains menyebabkan kenaikan kadar Blood Urin Nitrogen
Transaminase
untuk mendeteksi adanya kerusakan hati, pemeriksaannya
dengan pengukuran SGOT dan SGPT. Keduanya terdapat dalam sel hati dalam jumlah
yang besar dan ditemukan dalam serum dalam jumlah yang kecil. Kadarnya
dalam serum akan meningkat ketika sel rusak atau membran sel terganggu
·
SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat trans)
Penurunan
kadar SGOT terjadi pada saat kehamilan, diabetik ketoasidosis dan beri-beri,
sedangkan peningkatan kadar SGOT pada kondisi infark miokard akut (IMA),
ensefalitis, nekrosis, hepar, penyakit
dan trauma muskuloskeletal, pankreatiis akut, eklampsia, dan gagal jantung
kongestif.
Obat yang dapat meningkatkan nilai SGOT : Antibiotik, narkotik, vitamin
(asam folat, piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa, guanetidin),
teofilin, golongan digitalis, kortison, flurazepam, indometasin, isoniasid,
rifampisisn, kontrasepsi oral, salisislat, injeksi intramuskular.
1.
Isoniazid
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati
yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Sehingga hal ini
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase
·
Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT)
Peningkatan Kadar : Hepatitis (virus) akut,
hepatotoksisitas yang menyebabkan nekrosis hepar (toksisitas obat atau kimia);
agak atau meningkat sedang : sirosis, kanker hepar, gagal jantung kongestif,
intoksikasi alkohol akut; peningkatan marginal: infark miokard akut (IMA)
Obat yang dapat meningkatkan SGPT : Antibiotik, narkotik,
metildopa, guanetidin, sediaan digitalis, indometasin, salisilat, rifampisin,
flurazepam, propanolol, kontrasepsi oral, timah, heparin.
1.
Rifampisin
Mekanisme Kerja: Rifampisin dapat meningkatkan
hepatotoksik sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase.
·
Kolesterol
Obat-obat
yang dapat menurunkan nilai kolesterol : Tiroksin, estrogen, aspirin,
antibiotik (tetrasiklin dan neomisin), asam nikotinik, heparin, kolkisin.
Obat-obat
yang dapat meningkatkan nilai kolesterol : Pil KB, epinefrin,
fenotiazin, vitamin A dan D, sulfonamid, fenitoin (Dilantin).
1.
Vitamin C dosis tinggi menurunkan kadar
kolestesterol melalui mekanisme:
Memperlebar arteri sehingga
memperkecil deposit kolesterol pada dinding arteri
Meningkatkan aktifitas
fibrinolisis, yang bertanggungjawab untuk memindahkan penumpukan kolesterol
dari arteri
Mengeliminasi kelebihan
kolesterol dalam aliran darah dengan membawa ke empedu
·
Trigliserida
Penurunan kadar : β-lipoproteinemia kongenital, hipertiroidisme,
malnutrisi protein, latihan
Obat-obat yang dapat menurunkan
nilai trigliserida : Asam askorbat, kofibrat (Atromid-S), fenformin, metformin.
Peningkatan Kadar :
Hiperlipoproteinemia, IMA, hipertensi, hipotiroidisme, sindrom nefrotik,
trombosis serebral, sirosis alkoholik, DM yang tidak terkontrol, sindrom
Down’s, stress, diet tinggi karbohidrat, kehamilan.
Metformin
Mekanisme :
Metformin dapat menurunkan absorbsi glukosa dari saluran lambung-usus .
Metformin hanya mengurangi kadar glukosa darah dalam keadaan hiperglikemia
serta tidak menyebabkan hipoglikemia bila diberikan sebagai obat tunggal.
·
Kreatinin Serum
Kreatinin adalah produk sampingan dari
hasil pemecahan fosfokreatin (kreatin) di otot yang dibuang melalui ginjal.
Normalnya kadar kreatinin dalam darah 0,6 – 1,2 mg/dl. Bila fungsi ginjal
menurun, kadar kreatinin darah bisa meningkat.
- Obat
Golongan AINS
Obat golongan ini : diklofenak, indometasin, asetosal,
ibuprofen, piroksikam, asam mefenamat, ketoprofen, naproksen, meloksikam,
oksaprozin, dll
Obat golongan ini dapat menyebabkan resiko menurunnya
fungsi ginjal, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya kadar kreatinin dalam
darah.
- Amfoterisin
B
Amfoterisin
B dapat menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus yang juga berakibat pada
penurunan fungsi ginjal, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya kadar
kreatinin dalam darah.
PENCEGAHAN
DAN PENANGANAN IO
Waspada
terhadap masalah yang muncul akibat dari interaksi obat, penting bagi farmasis
yang bekerja di rumah sakit maupun di apotek. Untuk mencegah interaksi obat,
seorang farmasis harus waspada terhadap semua obat yang digunakan oleh pasien
tersebut, baik obat yang diresepkan maupun obat yang dapat dibeli bebas. Di
rumah sakit, hal ini melibatkan farmasis untuk melihat daftar obat dan rekam
medik pasien rawat inap; di apotek, menggunakan catatan medik pasien
terkomputerisasi; dan secara umum, komunikasi dengan pasien, keluarga pasien
dan dengan tim kesehatan yang lain. Pendekatan yang menyeluruh dianjurkan,
dengan dititikberatkan pada pasien dan pengobatannya secara keseluruhan, tidak
semata-mata memperhatikan reaksi yang timbul, namun juga terhadap keluhan akut
berhubungan dengan penggunaan obat tertentu.
Seorang
farmasis harus proaktif, mengantisipasi interaksi obat yang mungkin terjadi dan
bertindak sebelum muncul masalah, bukan sekedar reaktif yang hanya bertindak bila interaksi obat
telah terjadi. Salah satu tujuan utama farmasi klinis dan layanan kefarmasian
adalah untuk meminimumkan risiko pada pasien. Oleh karena itu, memeriksa adanya
interaksi obat merupakan tugas farmasis yang utama. Sebagai tambahan,
pendekatan ini dapat ditempatkan dalam konteks strategi manajemen risiko klinis
secara umum dalam mendorong peningkatan kualitas.
Dengan
meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat
ini, dan berkembangnya polifarmasi, kemungkinan terjadinya interaksi obat
sangat besar. Bagaimanapun, meskipun beribu-ribu laporan interaksi obat yang
tidak diinginkan muncul di literatur biomedis, hanya sejumlah kecil yang
bermakna secara klinis saat ini terutama terlibat dalam pengetahuan atau
memperkirakan terjadinya kejadian dimana interaksi obat yang potensial terjadi
mempunyai akibat yang bermakna secara klinis dan, jika demikian,
langkah-langkah apa yang diambil untuk mencegah hal tersebut, atau terapi
alternatif apa yang mungkin terjadi dari kombinasi dua atau lebih obat.
Untuk
memperkirakan akibat yang mungkin terjadi kombinasi dua atau lebih obat,
seorang farmasis perlu memiliki:
-
Pengetahuan praktis tentang mekanisme
farmakologi yang terlibat dalam interaksi obat.
-
Waspada terhadap obat-obat yang berisiko
tinggi menyebabkan interakis obat.
-
Persepsi terhadap kelompok pasien yang
rentan mengalami interaksi obat.
DEFINISI
Interaksi
obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain
yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua atau lebih
obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu
obat atau lebih berubah. Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa makanan, asap
rokok, etanol dan bahan-bahan kimia lingkungan dapat mempengaruhi efek obat.
Bila mana kombinasi terapeutik mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan
atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan
sebagai interaksi yang bermakna klinis.
Interaksi
obat dapat membahayakan, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan
mengurangi khasiatnya. Namun, interaksi beberapa obat dapat menguntungkan.
Sebagai contoh, efek hipotensi diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker
dapat berguna dalam pengobatan hipertensi. Interaksi obat juga meliputi reaksi
fisikokimia diantara obat-obat parenteral bila dicampur bersama-sama,
mengakibatkan pengendapan atau inaktivasi. Bagaimanapun, bab ini akan dititik
beratkan interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh, yang berpotensi merugikan
perawatan pasien.
EPIDEMIOLOGI
Banyak
penelitian gagal membedakan antara interaksi obat yang mungkin terjadi dan
kejadian interaksi obat yang betul-betul merugikan atau membahayakan pasien.
Jadi angka-angka yang dilaporkan terlalu tinggi. Kejadian interaksi obat yang
mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2,2 % - 30 % dalam penelitian
pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2 % - 70,3 % pada
pasien di masyarakat (Jankel CA &
Speedie SM, 1990). Dari kemungkinan tersebut hingga 11,1 % pasien yang
benar-benar mengalami gejala yang diakibatkan oleh interaksi obat (Jankel CA & Speedie SM, 1990). Pada
suatu penelitian selama 10 minggu, dari 691 pasien yang masuk rumah sakit,
ditemukan 68 (9,8 %) pasien masuk rumah sakit karena penggunaan obat dan 3 (0,4
%) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton
LA et al, 1994). Bagaimanapun, berdasarkan data yang ada, tidak mungkin
kita memperoleh data yang menetapkan kejadian interaksi obat yang bermakna
klinis, tetapi kemungkinan kejadian interaksi obat tersebut jumlahnya cukup
kecil (kurang dari 1 %).
Interaksi
obat dapat menyebabkan seseorang masuk rumah sakit, meskipun hal ini relatif
jarang terjadi. Meskipun kejadian interaksi obat yang bermakna klinis kecil,
tetapi sejumlah besar pasien mempunyai resiko morbiditas (angka kesakitan) atau
bahkan mortalitas (angka kematian) dalam pengobatan mereka.
MEKANISME INTERAKSI OBAT
Ada
beberapa keadaan dimana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik; namun
mekanisme tersebut sering dijumpai. Mekanisme tersebut dapat dibagi menjadi
interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetika obat dan interaksi obat yang
mempengaruhi respon farmakodinamik obat. Beberapa interaksi obat yang dikenal
merupakan kombinasi lebih dari satu mekanisme.
1. Interaksi farmakokinetik
Interaksi
farmakokinetik dapat terjadi beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme, ekskresi (tabel.1)
Tabel.1 Interaksi farmakokinetik obat
|
a.
Absorpsi di saluran pencernaan
· Kecepatan
· Jumlah
b.
Ikatan obat protein (pendesakan
obat)
· Obat
bebas (aktif)
· Obat
terikat (tidak aktif)
c.
Metabolisme hepatik
· Induksi
enzim (penurunan konsentrasi obat)
· Inhibisi
enzim (peningkatan konsentrasi obat)
d.
Klirens ginjal
· Peningkatan
ekskresi (penurunan konsentrasi obat)
· Penurunan
ekskresi (peningkatan konsentrasi obat)
|
a. Absorpsi
Kebanyakan obat diberikan secara oral mengabsorbsi
melalui membran mukosa dari saluran gastrointestinal. Dan kebanyakan interaksi
yang terjadi menurunkan absorbsi daripada meningkatkan absorbsi. Perbedaan yang
jelas terdapat pada penurunan laju absorbsi dan mengubah absorbsi secara
keseluruhan. Obat yang diberikan untuk penyakit kronis dalam dosis regimen
multiple (contohnya: antikoagulan oral), laju absorbsi biasanya tidak digunakan
tetapi absorbsi secara keseluruhannya tidak diubah. Selain obat yang diberikan
dalam dosis tunggal dirancang agar absorbsinya obat (contoh: obat hipnotik atau
analgesik), sehingga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk pencapaian
tersebut. Penurunan laju absorbsi biasanya menunjukan hasil yang tidak baik
pada pencapaian efek terapi.
Tabel 2. Beberapa obat yang menyebabkan interaksi
absorpsi
Obat
|
Interaksi
obat
|
Efek
interaksi
|
Digoksin
|
Metoklopramide
Propantelin
|
Menurunkan absorpsi
digoksin
Peningkatan absorpsi
digoksin
|
Digoksin
Levotiroksin
Warfarin
|
Kolestiramin
|
Menurunkan absorpsi
karena adanya pengkatan/kompleks dengan kolestiramin
|
Ketokonazol
|
Antasida
H2 bloker
Penghambat pompa
proton
|
Menurunkan absorpsi
ketokonazol karena penurunan disolusi
|
Penicilamin
|
Antasida (Al3+
atau Mg2+), preparat besi dan makanan
|
Pembentukan khelat
penisilamin terlarut sedikit sehingga menyebabkan penurunan absorpsi
penisilamin
|
Metoreksat
|
Neomisin
|
Menginduksi
malabsorpsi
|
Antibiotic kuinolon
|
Antasida (Al3+
atau Mg2+), susu, Fe2+
|
Pembentukan kompleks
absorpsi yang buruk
|
tetrasiklin
|
Antasida (Al3+,
Mg2+, Ca2+ atauBi2+), susu, Zn2+,
Fe2+
|
Pembentukan khelat
terlarut yang buruk sehingga menyebabkan penurunan absorpsi antibiotic
|
·
Efek dari perubahan pada pH saluran
cerna
Perjalanan obat melalui
membran mukosa melalui difusi pasif tergantung pada jumlah bentuk non ionik larut lemak .Maka dari itu
absorpsi bergantung pada pKa obat, kelarutan dalam lemak, pH saluran cerna dan
parameter lain yang berhubungan dengan formulasi farmasetik obat. Oleh karena
itu absorpsi asam salisilat dalam lambung lebih besar pada pH asam daripada pH
basa. Secara teoritis diharapkan perubahan pH lambung oleh obat seperti H2
bloker memiliki efek absorpsi yang bermakna, tetapi kenyataannya tidak terlalu
pasti karena adanya mekanisme lain seperti khelasi, adsorpsi, dan perubahan
motilitas lambung yang dapat mengubahnya. Namun pada beberapa kasus efek dapat
signifikan. Peningkatkan pH akibat hambatan pompa proton, H2 bloker dan
antasida dapat mengurangi absorpsi Ketokonazol secara bermakna
·
Adsorpsi, khelasi dan mekanisme pembentukkan
kompleks lain
Arang aktif ditujukan
sebagai agen adsorpsi dalam saluran cerna untuk pengobatan over dosis obat atau
menghilangkan zat toksik, tetapi pasti akan mengubah absorpsi obat pada dosis
terapeutik. Antasida juga dapat mengadsorpsi sejumlah besar obat, tetapi
mekanisme lain juga berpengaruh. Contohnya tetrasiklin dapat mengkhelat logam
divalen dan trivalen seperti kalsium, aluminium, bismuth dan besi, membentuk
kompleks yang sangat sulit diabsorpsi dan mengurangi efek anti bakteri.
Ion logam dapat
ditemukan pada produk susu dan antasida. Pembagian dosis terpisah 2 sampai 3
jam dapat mengurangi efek interaksi ini. Reduksi bioavailibilitas penisilamin
berkurang secara bermakna disebabkan antasida juga karena khelasi meskipun
adsorpsi juga berpengaruh. Kolestiramin dan resin penukar ion ditujukan untuk
mengikat asam empedu dan metabolik kolesterol dalam saluran cerna, mengikat
sejumlah obat seperti digoksin, warfarin, levotiroksin sehingga absorpsi obat
berkurang. (Tabel. 2) daftar obat yang dapat mengkhelat, mengkompleks atau
adsorpsi obat lain.
Beberapa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral
kombinasi dalam dosis rendah mempunyai risiko hamil bila pada saat yang sama,
dia juga menggunakan antibiotik berspektrum luas (misalnya amoksisilin, tetrasiklin).
Mekanismenya adalahgangguan siklus enterohepatik komponen estrogen akibat
hilangnya bakteri usus yang berperan dalam dekonjugasi estrogen.
Obat-obat lain dapat mempengaruhi waktu pengosongan
lambung, sebagai contoh metoklorpropamid mempercepat waktu pengosongan lambung,
sedangkan opiat memperlambat waktu pengosongan lambung. Bioavailabilitas
levodopa berkurang bila digunakan bersama dengan obat antikolinergik. Hal ini
terjadi karena perlambatan waktu pengosongan lambungakan meningkatkan paparan levodopa
dengan metabolisme lokal pada mukosa usus. Interaksi ini pada umumnya lebih
mempengaruhi kecepatan absorbsi obat daripada jumlah obat yang diabsorbsi.
Bagaimanapun, penundaan waktu pengosongan lambungda]] dapaat meningkatkan
absorbsi zat-zat yang bersifat asam dan obat-obat yang sukar larut. Sebagian
besar interaksi yang berkaitan dengan absorbsi, tidak bermakna secarak klinis
dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat, biasanya dengan selang
waktu meminum 2 jam.
b. Distribusi
Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat
berkompetisi pada tempat ikatan dengan protein plasma yang sama dan satu atau
lebih obat didesak dari ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini akan
mengakibatkan peningkatan sementara konsentrasi obat bebas (aktif), biasanya
peningkatan tersebut diikuti dengan peningkatan metabolisme atau ekskresi.
Konsentrasi total obat turun menyesuaikan dengan peningkatan dengan peningkatan
fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya dengan
protein tinggi, misalnya fenitoin, warfarin dan tolbutamid. Bagaimanapun, efek
farmakologi keseluruhan minimal kecuali bila pendesakan tersebut diikuti dengan
inhibisi metabolik.
c. Metabolisme hepatik
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh
sistem enzim sitokrom P450 monooksigenase. Induksi enzimoleh suatu
obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan
pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesa protein, jadi efek maksimum
terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat
mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya
reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat
daripada induksi enzim.
Banyak enzim yang terlibat dalam metabolisme hepatik
diantaranya adalah sitokrom P450. Sebagai contoh, warfarin
dibersihkan dari tubuh memalui metabolisme hepatik (dimetabolisme oleh sistem
oksidase P450 hepatik-the hepatic mixed
function oxidase P450 system) sehingga penghambat enzim seperti
simetidin dan antibiotik golongan makrolida (eritromisin, klaritomisin)
memperkuat efek warfarin.
Sebaliknya, penginduksi enzim seperti karbamazepin,
barbiturat, fenitoin (dilaporkan dapat meningkatkan atau menurunkan efek) dan
rifampisin, dapat menyebabkan kegagalan terapeutik warfarin. Eritromisin dapat
menyebabkan peningkatan kadar lofastatin dalam darah karena eritromisin
menghambat aktifitas enzim CYP 3A4 hati.
Yang menarik, makanan kaya protein dianggap
menstimulasi enzim hati, sedangkan makanan yang kaya karbohidrat mempunyai efek
yang berlawanan. Zat kimia lain, seperti asap rokok dan etanol dapat
meningkatkan aktifitas enzim hati. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi
eliminasi dan akhirnya juga mempengaruhi keefektifan obat-obat tertentu.
d. Eliminasi
Obat dieliminasi melalui ginjal denga filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler
aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat
mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang
cukup larut dalam air yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai
eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati.
Gangguan pada proses ini terutama digambarkan dalam interaksi yang mempengaruhi
digoksin dan Litium.
Kuinidin, verapamil, dan amiodaron dapat
meningkatkan konsentrasi digoksin dalam serum hingga dua kali lipat dengan
menghambat klirens ginjal (dan non-ginjal) digoksin. Diuretik thiazida, serta
furosemid dan bumetanid dengan efek yang lebih lemah, menguangi ekskresi Litium
dengan meningkatkan reabsorbsi Litium dari tubulus proksimal. Interaksi ini
dapat menyebabkan keracunan Litium yang serius.
Metotreksat dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS)
berkompetisis dalam ekskresi melalui ginjal; penggunaan secara bersamaan
obatobat tersebut dapat meningkatkan kadar metotreksat dan meningkatkan risiko
toksisitas, namun kombinasi ini tetapa dapat diberikan dengan berhasil di bawah
supervisi khusus. Yang perlu diperhatikan tentang interaksi tipe ini adalah
tergantung pada jumlah obat dan/atau metabolitnya yang diekskresi melalui
ginjal.
Asam lemah dan basa lemah berkompetisi pada bagian
sistem transpor tubuler ginjal yang berbeda. Hal ini merupakan dasar penggunaan
probenesid untuk meningkatkan konsentrasi penisilin atau sefalosporin dalam
darah. Probenesid juga meningkatkan potensi toksisitas metotreksat; simetidina
mengurangi ekskresi prokainamid dengan cara yang sama.
2. Interaksi Farmakodinamik
a.
Sinergisme
Interaksi
farmakodinamik yang palng umum adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja
pada sistem, organ, sel atau inti yang sama dengan efek farmakologi yang sama.
Semua obat yang mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat contohnya
Etanol, antihistamin, benzodiazepine (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolan,
bromazepam, alprazolam), fenotiazin (klorpromazin, tioridazin, lufenazin,
perfenazin, proklorperazin, trifluoperazin), metildopa. Klonidin dapat
meningkatkan efek sedasi.
Semua obat inflamasi nonsteroid dapat mengurangi daya lekat
platelet, dan meningkatkan efek
antikoagulan warfarin. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalema yang
sangat berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretic hemat
kalium (contoh amilorida, triamteren) dan penghambat enzim pengkonversi
angiotensin (contoh captopril, enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II
(contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propranolol
(dan pengeblok beta yang lain), keduanya memiliki efek inotropik negative,
dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang retan.
b.
Antagonisme
Sebaliknya,
antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memilki efek farmakologi yang
berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu
atau lebih obat. Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat yang bersifat
beta-agonis dengan obat yang bersifat pengeblok beta (salbutamol untuk
pengobatan asma dengn propanolol untuk pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan
bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretik tiazida dan obat anti diabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme
yang antagonis. Sebagai contoh, bakterisida, seperti penisilin, yang menghambat
sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan membelah
diri agar berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya
antibiotika yang bersifat bakteriostatik, seperti tetrasiklin, yang menghambat
sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.
c.
Efek
reseptor tidak langsung
Kombinasi
obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang
meliputi sirkulasi kendali fisiologis atau biokimia. Pengeblok beta no-selektif
seperti propanolol dapat memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemia pada pasien
diabet yang diobati dengan insulin dengan menghambat mekanisme kompensasi
pemecahan glikogen. Respons kompensasi ini diperantarai oleh reseptor beta
Znamun obat kardioselektif seperti atenolol lebih jarang menimbulkan respons
hipoglikemia apabila digunakan bersama dengan insulin. Lagi pula obat-obat
pengeblok beta mempunyai efek simpatik seperti takikardia dan tremor yang dapat
menutupi tanda-tanda bahaya hipoglikemia; efek simpatik ini lebih penting
dibandingkan dengan akibat interaksi obat pada mekanisme kompensasi diatas.
d.
Gangguan
cairan dan elektrolit
Interaksi
obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pengurangan kadar kalium dalam plasma sesudah pengobatan dengan diuretik,
kortikosteroid atau amfoterisina akan meningkatkan risiko kardiotoksisitas
digoksin. Hal yang sama, hipokalemia
3.
Interaksi Farmasetik
Disebut sebagai Drug incompatibility
yaitu tidak dapat bercampurnya obat interaksi yang terjadi karena adanya
perubahan/reaksi fisika dan kimia antara
2 obat atau lebih yang dapat dikenal/dilihat,yang berlangsung diluar tubuh dan
mengakibatkan aktivitas farmakologi obat tersebut hilang/berubah
Contoh
:
1.
Hidrolisis
aspirin +
Na-bikarbonat à gummy (aspirin terhidrolisis)
2.
Perubahan pH Oksitetrasiklin-HCl + Difenhidramin à presipitat
3.
Degradasi sinar matahari
Fenitoin-Na
à kekeruhan (fenitoinlepas)
Teofilin
à perubahan warna
INTERAKSI OBAT atau BERMAKNA KLINIS
Contoh
obat-obat yang interaksinya bermakna klinis :
·
Obat yang rentang terapinya sempit
Antiepilepsi,
digoksin, lithium, siklosporin, teofilin dan warfarin.
·
Obat yang memerlukan pengaturan dosis
teliti
Obat
antidiabetes oral, antihipertensi
·
Penginduksi enzim
Asap
rokok, barbiturat (contoh fenobarbital), fenitoin, griseofulvin, karbamazepin,
rifampisin
·
Penghambat enzim
Amiodaron,
diltiazem, eritromisin, fluoksetin, ketokonazol, metrodinazol, natrium
valproat, simetidin, ciprofloksasin., verapamil.
Pencegahan
terhadap interaksi obat Farmakokinetik dan Framakodinamik :
1. Hindari
kombinasi obat yang berinteraksi dan jika dibutuhkan pertimbangan obat
pengganti
Jika
terjadi resiko interaksi pemakaian obat daripada manfaatnya, maka harus
dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti
tergantung pada interaksi obat tersebut apakah merupakan interaksi yang
berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang sepsifik.
Contoh :
Kortikosteroid dengan
obat diuretic dapat menyebabkan kehilangan banyak kalium sehingga tubuh menjadi
lemas, aritmia jantung, tekanan darah rendah
Pencegahannya adalah
dapat menggunakan diuretic hemat kalium untuk menghindari interaksi obat yang
terjadi.
Simetidin memperlambat
metabolisme hepatic oksidatif obat dengan mengikat mikrosomal sitokrom P450
(menghambat enzim) sedangkan antagonis H2 yang lain, Ranitidin tidak bermakna
dalam menghambat metabolisme hepatic mikrosomal obat.
2. Sesuaikan
dosis obat saat memulai atatu menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan
interaksi yaitu dengan cara pengurangan dosis ( jika terjadi toksik),
peningkatan dosis (jika terjadi pengurangan khasiat)
Jika hasil interaksi
obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi
dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek
obat tersebut. Penyesuain obat dilakukan apada saat mulai atau menghentikan
penggunaan bat yang menyebabkan interaks.
·
Penurunan dosis
Penggunaan
atropine dengan CTM menyebabkan efek yang sinergis, dapat menimbulkan efek
mulut kering lebih hebat. Dikarenakan CTM juga memiliki efek antikolinergik
yang kuat, penggunaan obat ini secara bersamaan dapat menyebabkan respons
reseptor obat dan target organ berubah sehingga menimbulkan sensitivitas
terhadap efek obat menjadi lain, untuk menghindarinya dosis harus dikurangi.
Dosis
pemiliharaan glikosida jantung digoksin harus dikurangi menjadi setengahnya
pada saat kita mulai memberikan Amiodaron (Antiaritmia).
·
Peningkatan dosis
Kombinasi
fenitoin dengan asam folat dapat menyebabkan efek asam folat berkurang
akibatnya kemungkinan dapat terjadi defisiensi asam folat. Untuk menghindarinya
dapat digunakan tambahan vitamin yang mengandung 1 mg asam folat. Tetapi jika
asam folat terlalu banyak akan dapat menurunkan efek dari fenitoin.
3. Lakukan
pemantauan kondisi klinis pasien dan jika perlu ukur kadar obat dalam darah
Pemantauan
diperlukan untuk pasien yang menggunakan obat pada penykit-penyakit tertentu,
obat yang indeks terapi sempit, yang
respon segaranya sulit diperkirakan, dan bila kadar obat dalam darah dan efek
terapi diperkirakan saling berhubungan.
Contoh : hipoglikemia
agent dengan fenilbutazon
Mekanisme ;
Fenilbutazon dapat
menghambat ekskresi renal dari Glibenklamid, Tolbutamid dan metabolit aktif
dari acetoheksamid sehingga obat itu tertahan dalam tubuh lebih lama dan efek
dari hipoglikemik meningkat dan diperpanjang. Fenilbutazon ini dapat menhambat
metabolism dari sulfonamide. Cara pencegahannya penggunaan obat (fenilbutazon
dengan hipoglikemia agent) secara bersama-sama harus dipantau.
4. Interval
waktu antara obat dengan makanan
Contoh :penggunaan
tetrasiklin dengan obat pencahar, susu, dan Fe dapat menyebabkan interaksi
dengan menurunkan efek dari tetrasiklin. Cara pencegahannya adalah jangan
menelan secara bersama-sama dalam jangka waktu dua jam. Sebaiknya di minum di
antara dua waktu makan
5. Lanjutkan
pengobatan seperti sebelumnya bila kombinasi obat yang berinteraksi tersebut
merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi yang terjadi tidak
bermakna secara klinis.
Pencegahan interaksi
farmasetik:
ü
obat
intravena diberikan secara suntikan bolus
ü
hindari
pemberian obat lewat cairan infuse kecuali cairan glukosadansalin
ü
hindari
pencampuran obat dalam cairan infuse atau jarum suntik
ü
bacalah
petunjuk pemakain obat dari brosurnya
ü
mencampur
cairan infuse dengan seksama dan amati adanya perubahan. Tdk ada perubahan
belum tentu tdk ada interaksi
ü
Penyiapan
larutan obat hanya kalau diperlukan
ü
Bila
lebih dari 1 obat yang diberikan secara bersamaan, gunakan jalur infuse yang
berbeda kecuali yakin tidak ada interaksi
ü
Jam
pencampuran obat dan cairan infu harus dicatat dalam label. Dan tuliskan infuse
harus habis
Contoh
interaksi obat dan Cara pencegahannya :
a. Interaksi
Obat Diare Dengan Beberapa Obat Dan Cara Pencegahannya
1.
Adsorben dengan digoksin
Bila kedua obat ini digunakan secara bersamaan maka
efek digoksin dapat berkurang. Adsorben mengurangi kemampuan tubuh untuk
menyerap digoksin,digoksin adalah obat yang digunakan untuk mengobati layu
jantung atau menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur. Akibatnya:
Kondisi penderita tidak terkendali dengan baik,untuk mencegah interaksi ini
jarak penggunaan digoksin dengan adsorben tidak boleh kurang dari dua jam.
2. Adsorben
dengan klindamisin/lincomisin
Bila digunakan secara bersamaan maka efek dari
klindamisin atau lincomisin bisa berkurang. Adsorben mengurangi kemampuan tubuh
untuk menyerap kedua obat ini,klindamisin maupun lincomisin merupakan
antibiotika yang dicadangkan untuk mengobati beberapa jenis infeksi berbahaya
jika penicillin tidak dapat digunakan atau jika pasien alergi terhadap
penisillin. Akibatnya: Infeksi yang sedang ditangani kemungkinan tidak bisa
sembuh. Untuk mencegah atau mengurangi interaksi sebaiknya adsorben digunakan
dengan jarak tiga atau empat jamdari waktu penggunaan antibiotika ini.
3. Difenoksilat(lomotil)
dengan digoksin
Bila digunakan secara bersamaan maka efek dari
digoksin dapat meningkat. Dengan memperlambat gerakan usus halus difenoksilat
menaikkan penyerapan digoksin oleh tubuh Digoksin digunakan untuk mengobati
layu jantung atau menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur
,Akibatnya efek samping merugikan terjadi karena terlalu banyak digoksin.
Gejalanya antara lain : mual,sakit kepala,tidak ada nafsu makan,gangguan
penglihatan, bingung,tak bertenaga,bradikardia,atau takhikardia,dan aritmia
jantung. Efek ini dapat diperkecil bila obat jantung yang digunakan merupakan
obat yang mudah larut seperti lanoxin.
4.
Loperamida dengan digoksin
Bila kedua obat ini digunakan secara bersamaan maka
efek digoksin dapat meningkat. Dengan memperlambat gerakan usus halus
loperamida menaikkan penyerapan digoksin oleh tubuh. Digoksin digunakan untuk
mengobati layu jantung dan menormalkan kembali denyut jantung yang tidak
teratur. Akibatnya: Efek samping merugikan mungkin dapat terjadi karena terlalu
banyak digoksin. Gejalanya antara lain: Mual,sakit kepala,tak ada nafsu makan,
gangguan penglihatan, bingung,tak bertenaga,bradikardia,takhikardia,aritmia
jantung. Efek ini dapat diperkecil bila bila obat jantung yang digunakan adalah
obat yang mudah larut seperti lanoxin.
b. Warfarin
dan Simetidin
Interaksi yang terjadi yaitu farmakokinetik
(penghambatan enzim) Simetidin dapat menghambat enzim hepatic yang terlibat
dalam metabolisme dan klirens warfarin ; jadi efek warfarin diperpanjang dan
meningkat.
Makna klinis yang terjadi adalah warfarin memiliki
entang terapi yang sempit dan penggunaan anti koagulan yang berlebihan dapat
menyebabakan perdarahan yang serius.
Saran untuk interaksi ini yaitu dapat dilakukan
dengan pemeriksaan nilai INR (International Normalized Ratio) secara
rutin dan bila mungkin mengurangi dosis Warfarin. Pilihan lain dapat
menggunakan antagonis H2 lain seperti
Ranitidin yang tidak berinteraksi dengan Warfarin.
c. Penghambat
enzim pengubah angiotensin dan diuretika hemat kalium
Interaksi yang terjadi yaitu farkodinamik (gangguan
kesetimbangan cairan dan elektrolit). Penghambat enzim pengubah angiotensin dan diuretika
hemat kalium keduanya dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah.
Makna
klinis yang terjadi yaitu kombinasi obat ini, bersama dengan gagal ginjal
(renal failure) dan dehidrasi dapat menyebabkan hiperkaliemia. Hal ini dapat
mengancam jiwa, mnyebabkan aritmia jantung (cardiac arrhythmias) dan akhirnya
asystolic cardiac arrest.
Saran untuk interaksi ini dengan diuretika hemat
kalium harusnya diberikan bersama dengan penghambat enzim pengubah angiotensin,
kecuali jika kadar kalium dalam darah dipantau dengan baik. Bila perlu dosis
dikurangi, atau salah satu obat dihentikan pemakaiaannya, misalnya dengan
menggunakan loop diuretic (yang dapat menyebabkan hipokalemia) dan
pertimbangkan pula untuk menggunakan kaptopril( penghambat enzim pengubah
angiotensin yang hasil kerjanya pendek)pada pasien yang fungsi ginjalnya jelek
d. Digoksin
dan amiodaron
Interaksi yang terjadi farmakodinamik yaitu(meskipun
belum diketahui secara pasti). Amiodaron
mengurangi ekskresi digoksin baik yang melalui ginjal maupun yang bukan ginjal,
amiodaron menyebabkan pendesakan digoksin dari jaringan dan tempat ikatan
protein plasma.
Makna klinis yang terjadi yaitu meningkatkan kadar
digoksin dalam darah. Interaksi ini terdokumentasi sebagai interaksi klinis
yang penting. Hal ini terjadi setelah beberapa hari dan berkembang dalam waktu
1 sampai 4 minggu. Kadar digoksin dalam darah normal berkisar antara 0,8 – 2,0 mg/L.
Jika kadar digoksin dalam darah lebih besar dari nilai normal maka akan terjadi
toksisitas digoksin ( anoreksia, mual, muntah, diare, aritmia, gangguan
penglihatan, kebingungan dan penyumbatan jantung.
Saran: dosis digoksin perlu diturunkan hingga 1/3
atau ½ nya bila amiodaron diberikan pada pasien dengan pengobatan digoksin.
Kemudian dilakukan penyesuain dosis kembali sesudah 1 atau 2 minggu atau satu
bulan, oleh karena itu efek interaksi ini akan menetap untuk beberapa minggu
setelah penghentian amiodaron. Pengurangan dosis amiodaron mungkin diperlukan
tetapi harus dilakukan secara perlahan – lahan dan bertahap turun setiap
minggunya dan disesuaikan dengan kondisi dan pasiennya.
e. Eritromisin
dan teofilina
Tipe
interaksi obat : Farmakokinetik (penghambatan enzim). Eritromisina menghambat
metabolisme teofilina oleh hati; oleh sebab itu eritromisina mengurangi klirens
teofilina dan meningkatkan konsentrasi teofilina dalam darah.
Makna
klinis : Efek ini telah terdokumentasi dengan baik dan sudah dikenal. Pasien
tertentu mempunyai resiko tinggi menghasilkan kadar teofilina tinggi dalam
darah. Pasien yang kadar teofilin dalam darahnya sudah tinggi atau pasien yang
memperoleh pengobatan dengan teofilina dosis tinggi, merupakan pasien berisiko
tinggi. Teofilina mempunyai rentang
terapi sempit; konsentrasi teofilina dalam plasma berkisar antara 10 –
20 mg/liter diperlukan untuk memperoleh efek bronkodilatasi yang memuaskan.
Kadar teofilina dalam plasma yang lebih besar dari nilai tersebut dapat
menyebabkab toksisitas, misalnya takikardia, palpitasi, mual, gangguan
pencernaan, insomnia, aritmia dan konvulsi.
Saran
: pemantauan kadar teofilina dalam darah diperlukan untuk menentukan
apakahpasien tersebut berisiko mengalami keracunan akibat interaksi obat.
Dokter seharusnya diberitahu untuk memantau kondisi pasien dan memperhatikan
bilamana pasien tersebut mualdan muntah. Disarankan untuk mengurangi dosis teofilina
bila pasien tersebut memperoleh pengobatan dengan eritromisina, namun semuanya
bergantung pada kadar teofilina dalam darah.
f. Makanan
yang mengandung kalsium dan tetrasiklin
Tipe interaksi obat :: Tetrasiklin mempunyai
afinitas yang kuat pada kation divalen dan trivalen. Kation kation tersebut meliputi ion kalsium
(Ca2+) yang terdapat dalam makanan yang mengandung kalsium (juga
dalam susu); Ion aluminium dan magnesium yang terdapat dalam antasida dan ;ion
besi ,yang terdapat dalam multivitamin. Kelat (chelates) yang jadi akibat
interaksi ion- tetrasiklin misalnya kelat kalsium tetrasiklin, lebih sulit
diabsorbsi dari saluran pencernaan. Jadi kadar tetrasiklin dalam plasma lebih
rendah dan aktivitas antibakterinya berkurang.
Makna klinis : merupakan interaksi yang sudah
dikenal. Pengurangan kadar tetrasiklin dalam plasma dapat mencapai 50-80 %,
menghasilkan efek antibiotika yang dapat diabaikan (tidak efektif).
Saran : pemberian tetrasiklin dan makanan yang
mengadung kalsium (atau antasida yang mengandung kalsium, aluminium, magnesium)
harus dipisah. Biasanya, pasien disarankan untuk minum tetrasiklin satu jam
sebelum makanan. Untuk mengatasi efek iritasi pada lambung, pasien disarankan
untuk minum banyak air. Sebagai tambahan ada kemungkinan organisme penyebab
infeksi sensitif terhadap antibiotika
yang lain, sehingga lebih baik menggunakan antibiotika lain daripada
menggunakan tetrasiklin.
Pasien Yang Rentan Terhadap
Interaksi Obat
·
Orang lanjut usia
·
Orang yang minum lebih dari satu macam
obat
·
Pasien yang mempunyai gangguan fungsi
ginjal dan hati
·
Pasien dengan penyakit akut
·
Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
·
Pasien yang memiliki karakteristik
genetic tertentu
·
Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu
dokter
Pasien
lanjut usia mempunyai resiko yang lebih tinggi , karena :
·
Lebih berkemungkinan memperoleh terapi
berbagai macam obat sehingga berpotensi gangguan fungsi ginjal dan hati.
·
Kepatuhan pasien yang kurang
·
Adanya gangguan degenerative yang
mempengaruhi banyak sistem dan mengganggu mekanisme kompensasi homeostatic.
Contohnya,
obat golongan diuretic dapat mengurangi ekskresi litium, pasien dapat
distabilisasi dengan baik pada pengobatan kombinasi. Tetapi penyakit ikutan
yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit dapat mengubah kadar litium
dalam plasma, sehingga menyebabkan hilangnya efek atau toksisitas litium.
Penanggulangan interaksi obat
1.
Penambahan senyawa dari makanan
Contoh
:
-
Fenitoin dengan vitamin D dapat
menyebabkan efek vitamin D berkurang, akibatnya terjadi defisiensi yang menimbulkan
riketsia pada anak-anak. Cara penanggulangannya adalah memakan makanan yang
kaya vitamin D dan cukup terkena sinar matahari.
2.
Mengeluarkan obat dari saluran cerna
dengan cara merangsang muntah atau emesis, lavage, laksansia dan adsorben
(contoh : norit, bersifat menyerapa racun dan zat-zat lain dilambung).
3.
Dialisis
Adalah
suatu proses untuk membersihkan darah berguna untuk menghilangkan atau
mengurangi zat-zat sisa metabolisme yang berbahaya
DAFTAR
PUSTAKA
1. InfoPOM
BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK
INDONESIA.Volume : IV Edisi 5: Mei 2003
2. Pharmaceutical
care untuk penyakit Diabetes Mellitus Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DIRJEN Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
DEPKES RI 2005
3. Oral Antidiabetic Agents
[Developed - April 1994; September 1995 revised; June 1996; June 1997; June
1998; July 1999; June 2000; June 2001; September 2001; July 2002; June 2003;
October 2007revised; November 2007, February 2008] MEDICAID DRUG USE REVIEW
CRITERIA FOR OUTPATIENT USE
4. Anonim.,
InfoPOM Antidiabetik Oral, Volume :
IV Edisi 5: Mei 2003, Badan Pengawasan Makanan dan Obat.
5. Stockley.
I.H., Stockley’s Drug Interactions,
2005, University of Nottingham Medical School, Nottingham, UK, Pharmaceutical
Press.
6.
http://www.hsc.virginia.edu/uvahealth/adult_nontrauma/fooddrug.cfm diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 11:00 WIB.
8.
http://health.howstuffworks.com/health-illness/treatment/medicine/medications/antidepressant4.htm diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 13:06 WIB.
9.
http://www.mayoclinic.com/health/maois/MH00072/NSECTIONGROUP=2 diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 15:43 WIB.
10. Anonim. Farmakologi Dan Terapi, edisi 4.1995. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran –
Universitas Indonesia.
11. Ivan H. Stockley. Stockley’s
Drug Interactions. UK, Nottingham: University of Nottingham Medical School.
12. Mansoer, Soewarni. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Bagian farmasi FK UNSU.
13. Suwandi, Usman. 1992. Mekanisme
Kerja Antibiotik. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe
Farma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar