LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN POST
PARTUM
posted by SAID BONGKEM TULEN
1. Pengertian
Mochtar
(1998: 115) menyatakan “Post partum atau masa nifas adalah masa pulih kembali,
mulai dari persalinan kembali sampai alat-alat kandungan kembali seperti
sebelum hamil. Lama masa nifas yaitu 6 sampai
8 minggu”. Wiknjosastro (2002: 238) mendifinisikan post partum adalah
masa yang dimulai dari persalinan dan berakhir kira-kira setelah 6 minggu,
tetapi seluruh alat genital baru pulih kembali seperti sebelum ada kehamilan
dalam waktu tiga minggu. Sedangkan menurut Novak (1999: 338). “puerpurium merupakan
interval waktu dari haid pertama kelahiran bayi sampai dengan enam minggu,
perhitungan hari di mulai dari hari pertama setelah persalinan. Puerperium
ditandai dengan meningkatnya laktasi dan kembalinya organ reproduksi ke posisi
sebelum hamil”. Berdasarkan pendapat lain bahwa “post partum atau puerpureum
atau nifas adalah masa setelah peralihan dimana terjadi perubahan
retroprogresif (kembalinya alat kandungan seperti saat sebelum hamil) dan
progresif (produksi susu untuk laktasi, pulihnya siklus menstruasi dimulainya
peran orangtua) yang lamanya 6 minggu” (Pillitari, 1999).
Dapat
disimpulkan bahwa post partum merupakan masa yang dimulai dari persalinan dan
berakhir kira-kira setelah 6 minggu, dimana terjadi perubahan alat-alat
kandungan pulih kembali seperti sebelum hamil.
Periode
Immidiate (krisis) yaitu keadaan yang terjadi setelah persalinan mulai 2-4 jam
segera setelah lahir sampai 24 jam setelah persalinan, periode early yaitu
keadaan yang terjadi pada permulaan nifas, waktunya mulai 1 hari setelah
persalinan sampai 1 minggu, dan periode Late yaitu keadaan yang terjadi setelah
melahirkan mulai 1 minggu sampai 6 minggu berikutnya.
2. Perubahan Fisiologi dan Psikologi Post
Partum
a. Perubahan
Fisiologi
1.
Involusi alat-alat kandungan
Dalam masa nifas alat-alat genetalia internal maupun
eksternal akan berangsur-angsur pulih kembali seperti prahamil. Perubahan
alat-alat genital ini dalam keseluhan
disebut involusi (Wiknjosastro, 1999: 237)
Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks setelah post
partum bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan
korpus uterus yang dapat mengadakan kontraksi sedangkan serviks tidak
berkontraksi, sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus dan serviks
uteri terbentuk semacam cincin. Warna serviks merah kehitaman karena penuh
pembuluh darah dan konsistensinya lunak, segera setelah janin dilahirkan,
tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan kedalam kavum uteri. Setelah 2 jam
hanya dapat dimasukkan 2-3 jari, dan setelah 1 minggu hanya dapat dimasukkan 1
jari ke dalam kavum uteri. Hal ini baik diperhatikan dalam menangani kala uri
(Wiknjosastro, 2002: 238).
“Uterus secara
berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti
sebelum hamil. Otot uterus berkontraksi segera pada post partum.
Pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot uterus akan
terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan”
(Wiknjosastro, 2002: 238)
Tabel
1: Tinggi fundus uterus dan berat uterus menurut masa involusi
Involusi
|
Tinggi Fundus
Uteri
|
Berat Uterus
|
Bayi lahir
Uri lahir
1 minggu
2 minggu
6 minggu
8 minggu
|
Setinggi pusat
2 jari bawah
pusat
Pertengahan
pusat-simpisis
Tidak teraba
diatas simpisis
Bertambah
kecil
Sebesar normal
|
1000 gram
750 gram
500 gram
350 gram
50 gram
30 gram
|
(Mochtar,
1998: 115)
“Bekas Implantasi Uri
mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum uteri dengan diameter 7,5 cm.
sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada minggu ke 6 2,4 cm dan akhirnya pulih”
(Mohctar, 1998: 116).
“Lokhea adalah
pengeluaran cairan sisa lapisan endometrium dan sisa dari tempat implatasi
plasenta” (Manuaba, 1998: 192). Sifat
lochea berubah-ubah seperti secret luka, berubah menurut tingkat penyembuhan
luka, adapun jenis-jenisnya antara lain : lochea rubra (Cruenta), berisi darah
segar dan sisa-sisa selaput ketuban, desidua, verniks caseosa, lanugo, dan
mekoneum selam 2 hari pasca persalinan, lochea sanguinolenta, berwarna merah
kuning berisi darah dan lender, hari ke 3-7 pasca persalinan, lochea serosa,
berwarna kuning, tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14 pasca persalinan,
lochea alba, cairan putih setelah 4 minggu, lochea Purulenta, terjadi infeksi,
keluar cairan seperti nanah berbau busuk, locheastatis apabila lochea tidak
lancer keluarnya. (Mochtar, 1998: 116)
Perubahan pada endometrium ialah timbulnya thrombosis,
degenerasi dan necrosis diantara implantasi plasenta. Pada hari pertama
endometrium yang kira-kira setebal 2-5 mm itu memiliki permukaan yang kasar
akibat pelepasan desidua dan selaput janin. Setelah tiga hari permukaan
endometrium mulai rata akibat lepasnya sel-sel dari bagian yang mengalami
degenerasi. Regenerasi endometrium terdiri dari sisa-sisa sel desidua basalis,
yang memakan waktu 2-3 minggu (Wiknjosastro, 2002: 238)
Hilangnya estrogen pada post partum berperan dalam menipiskan
mukosa vagina dan menghilangkan rugae. Pembengkakan, dinding lunak vagina berlahan-lahan
akan kembali seperti keadaan pra hamil selam 6-8 minggu setelah persalinan.
Rugae muncul kembali setelah 4 minggu setelah persalinan, antara primipara dan
multipara berbeda. Kekeringan pada vagina dan rasa tidak nyaman saat koitus
(dyspareunia) dapat terjadi hingga fungsi ovarium kembali dan menstruasi mulai
terjadi (Bobak, 1995: 442)
Selama persalinan perineum mendapatkan tekanan yang besar
yang kemudian setelah persalinan menjadi udema. Perawat perlu mengkaji tingkat
kenyamanan sehubungan dengan adanya luka episiotomi, laserasi dan hemoroid,
perawat harus melaporkan adanya udara, kemerahan dan pengeluaran (darah, pes,
serosa) (Pilliteri, 1999)
Ligament-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang
meregang sewaktu kehamilan dan persalinan, setelah bayi lahir, berangsur-angsur
ciut kembali seperti sedia kala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi
kendor yang menyebabkan uterus jatuh ke belakang (Wiknjosastro, 2002: 239)
2.
Laktasi
Diawal kehamilan,
peningkatan estrogen yang diproduksi oleh plasenta menstimulasi perkembangan
kelenjar susu. Pada 2 hari pertama post partum terdapat perubahan pada mamae
ibu post partum. Semenjak masa kehamilan kolostrum telah di ekskresi. Pada 3
hari pertama post partum mammae penuh
atau membesar karena sekresi air susu. Penurunan kadar estrogen saat kelahiran
plasenta diikuti dengan meningkatnya kadar prolaktin menstimulasi produksi air
susu (Pilliteri, 1999)
Ketika bayi mulai menghisap putting susu hipotalamus
merangsang kelenjar pituitary posterior untuk melepaskan oksitosin. Hal ini
menyebabkan kontraksi otot-otot saluran susu mengeluarkan air susu. Respon ini
disebut reflek Let down (Novak, 1999: 345).
3.
Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital dapat memberikan petunjuk adanya bahaya
post partum seperti perdarahan, infeksi dan komplikasi lainnya. Sehingga sangat
penting untuk memantau tanda-tanda vital post operasi (Novak, 1999: 338)
Jumlah denyut nadi normal antara 60-80 kali permenit segera
setelah partum dapat terjadi bradikardi. Trakhikardi mengidentifikasikan perdarahan,
infeksi, penyakit jantung dan kecemasan (Wiknjosastro, 2002: 241)
Tekanan darah akan kembali seperti prahamil setelah 6 jam
setelah persalinan. Kadang-kadang tekanan darah meningkat tak lam kemudian
setelah persalinan. Kondisi ini mungkin diakibatkan oleh beberapa factor yang
meliputi rangsangan persalinan dan keadaan bayi. Tipe oksitosin yang diterima
pasien nyeri, retensi urin atau kehamilan dengan hipertensi. Peningkatan
tekanan darah yang disertai sakit kepala dicurigai pada kehamilan dengan heipertensi.
Kenaikan tekanan darah 30 mmHg dari sistolik wanita normal dan diastolic lebih
dari 15 mmHg (atau siastolik lebih dari 140 mmHg dan atau diastolic lebih dari
90 mmHg) harus segera dilepaskan. Jika tekanan darah itu lebih rendah daripada
pra hamil menandakan banyaknya kehilangan darah selama persalinan atau
perdarahan masih terus mengalir. Tekanan siastolik 100 mmHg atau kurang harus
dilaporkan. Jika tekanan darah normal mulai turun perawat harus memeriksa
aliran pendarahan. Penurunan tekanan darah disertai oleh peningkatan denyut
nadi, namun jika klien berlanjut pada keadaan shock maka nadi perlahan
melambat, lemah, terjadi dilatasi pupil abnormal, pucat, sianosis, kulit
lembab, lemas dan tidak sadar (Novak,1999: 338)
Suhu tubuh normal pasien post partum adalah antara 36,2oC-380C.
Kenaikan suhu tubuh hingga 380C diakibatkan oleh dehidrasi. Cairan
dan istirahat biasnya dapat memulihkan suhu normal. Setelah 24 jam post partum,
suhu 380C atau lebih dicurigai terjadi infeksi (Novak, 1999: 339)
Frekuensi pernafasan normal 14-24 x permenit. Bradypneu
(pernafasan kurang dari 14-16 x permenit) dapat disebabkan oleh efek narkotik
analgesis atau epidural narkotik. Tachipneu (pernafasan lebih dari 24 x
permenit) dapat diakibatkan oleh nyeri, pendarahan masif atau shock, oleh
karena emboli paru-paru atau edema paru-paru (Novak, 1999: 338)
Pada umumnya tidak ada tanda-tanda infeksi pernafasan atau
distres pernafasan. Pada beberapa wanita mempunyai factor prewdisposisi
penyakit emboli paru. Secara tiba-tiba terjadi dyispneu. Emboli paru dapat
terjadi dengan gejala sesak nafas disertai hemoptoe dan nyeri pleura (Sherwen,
1999)
4.
Sistem persyarafan.
Ibu post partum hiperrefleksi mungkin terpapar kehamilan
dengan hipertensi. Jika terdapat tanda-tanda tersebut perawat harus mengkaji
adanya peningkatan tekanan darah, proteinuria, oedema, nyeri epigastrik dan
sakit kepala (Sherwen, 1999: 838)
5.
Sistem perkemihan
Pada masa post partum terjadi peningkatan kapasitas kandung
kemih, bengkak dan memar jaringan di sekitar uretra yang menurunkan
sensitivitas penekanan cairan (urin) dan sensasi kandung kemih yang penuh,
sehingga berada pada resiko distensi berlebihan, kesulitan mengosongkan dan
penimbunan residu (Olds, 1999)
Output urin meningkat pada 12-24 jam pertama post partum yaitu
sekitar 2000-3000 ml. produksi urin
mencapai 3000 ml pada 2 hari post partum. Ibu post partum dianjurkan untuk
mengosongkan kandung kemih setiap 3-4 jam. Fungsi ginjal aknan kembali normal
setelah 1 bulan post partum (Novak, 1999)
6.
Sistem pencernaan
Perut terkadang terjadi reaksi penolakan sesudah melahirkan,
karena efek dari progesterone dan penurunan gerakan peristaltic. Perempuan
dengan seksio sesarea boleh menerima sedikit cairan setelah pembedahan, jika
terdengar bising usus dapat mulai beralih ke makanan padat (Olds, 1999)
7.
Sistem musculoskeletal
Apabila di kedua ekstremitas atas dan bawah terdapat edema
dikaji apakah terdapat pitting edema, kenaikan suhu, pelebaran pembuluh vena dan kemerahan sebagai tanda
thromboplebitis. Ambulasi harus sesegera mungkin dilakukan untuk dilakukan
sirkulasi dan mencegah kemungkinan komplikasi (Sherwen, 1999: 838)
b. Perubahan
Psikologis
1.
Taking in Phase
Fase ini merupakan masa refleksi bagi wanita post partum.
Selama periode ini wanita posr partum cenderung pasif. Wanita post partum
cenderung dilayani oleh perawat daripada melakukan pemenuhan kebutuhan sendiri.
Hal ini berkenaan dengan rasa ketidaknyamanan perineum nyeri setelah melahirkan
atau haemorhoid, berkaitan dengan peran barunya, wanita post partum selalu
ingin membicarakan pengalaman selama hamil hingga melahirkan.
2.
Taking Hold Phase
Wanita post partum mulai berinisiatif untuk melakukan
tindakan sendiri. Lebih suka membuat keputusan sendiri. Ibu mulai mempunyai
ketertarikan yang kuat pada bayinya, dimasa inilah masa yang tepat untuk
memberikan pendidikan tentang perawatan bayi. Tetapi ibu sering merasa tidak
yakin tentang kemampuannya mengasuh bayi, disinilah dukungan positif dan semua
pihak diperlukan.
3.
Letting Go Phase
Ibu post partum akhirnya dapat menerima keadaan apa adanya.
Proses ini memerlukan penyesuaian diri atas hubungan yang terjadi selam
kehamilan. Wanita yang dapat melewati fase ini dianggap sudah berhasil dalam
peran barunya (Pilliteri, 1999)
3. Penatalaksanaan Ibu Post partum.
1.
Early
Ambulation.
Ibu post
partum diharapkan sedini mungkin melakukan early ambulation dimana ibu 8 jam
post partum istirahat dan terlentang, setelah 8 jam boleh miring ke kiri,
kanan, untuk mencegah trombosis dan boleh bangun dari tempat tidur setelah 24
jam post partum. Bayi berada satu ruangan dari ibu (Rooming In) (Novak, 1999:
344).
2. Perawatan
Perineum .
Bila ibu mengalami
penjahitan pada perineum sebagai perawat harus memonitor setiap hari untuk meyakinkan bahwa proses
penyembuhan luka baik dan melakukan vulva hygien dan perawatan luka perineum
selama 24 jam pertama. Untuk mengurangi edema lakukan kompres dingin dan rendam
bokong. Jaga kebersihan perineum dengan membersihkan vulva dari arah vagina ke
anus, ganti pembalut sesudah buang air minimal 4 x sehari, cuci tangan sebelum
dan sesudah mengganti pembalut dan perhatikan lochea yang keluar. Gunakan
pakaian dalam yang meresap sehingga lochea tidak mengiritasi (Novak, 1999: 344)
3. Perawatan
Payudara.
Kedua payudara harus sudah dirawat selama kehamilan,
areola mamae dan putting susu di cuci teratur
dengan sabun dan diberi minyak atau cream agar tetap lemas (Wiknjosastro, 1999:
243).
4. Pemberian
Nutrisi.
Nutrisi ibu yang diberikan harus memenuhi gizi seimbang dan porsinya lebih banyak
daripada saat hamil disamping untuk mempercepat pulihnya kesehatan setelah
melahirkan juga untuk meningkatkan produksi ASI (Novak, 1999: 356).
5. Pemantauan
Suhu.
Suhu harus diawasi terutama pada minggu pertama dari masa nifas karena kenaikan suhu
menandakan infeksi (Novak, 1999: 356).
6. Pemantaun
Sistem Perkemihan.
Setelah 6 jam post partum anjurkan ibu 8 untuk
berkemih, jika dalam 8 jam ibu belum dapat buang air kecil atau sekali kencing belum melebihi 100 cc maka
lakukan kateterisasi (Novak, 1999: 356).
7. Pemantauan
Defekasi.
BAB harus dilakukan
3-4 hari post partum. Bila masih sulit BAB dan terjadi konstipasi apalagi berak
keras dapat diberikan obat laksan peroral tau per rectal. Jika belum bisa
lakukan klisma (Mochtar, 1998: 117)
8. Aktivitas
Seksual.
Pasangan dianjurkan untuk menunggu sampai terdapat
pengeluaran lochea dan episiotomi telah sembuh (akhir 4 minggu). Sebelum
melakukan aktivitas seksual dianjurkan untuk menggunakan lubrikan seperti k-y
jelli. Perhatikan posisi, sebaiknya wanita pada posisi atas untuk mencegah
penetrasi penis yang terlalu dalam (Novak, 1999: 356)
9. Istirahat.
Anjurkan ibu untuk istirahat cukup untuk mencegah
kelelahan berlebihan, disarankan untuk kembali melakukan kegiatan rumah tangga
seperti biasa perlahan-lahan serta dianjurkan untuk tidur siang selagi bayi
masih tidur (Wiknjosastro, 1998: 116)
10.
Kontrasepsi.
Masa post partum adalah masa paling baik menawarkan
kontrasepsi oleh karena ibu termotivasi untuk menggunakan alat kontrasepsi.
Idealnya pasangan harus menunggu 2 tahun sebelum hamil lagi, maka disini peran
perawat sebagai educator untuk menjelaskan maca-macam dan efek samping dari
alat kontrasepsi tersebut (Novak, 1999: 356).
B.
EPISIOTOMI
1. Pengertian
“Episiotomi adalah insisi pada perineum yang
menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin hymen, jaringan leptum,
rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum, serta kulit sebelah depan perineum
untuk melebarkan jalan lahir sehingga mempermudah kelahiran” (Arif Mansjoer,
1999: 338).
Episiotomi adalah suatu tindakan operatif berupa
sayatan pada perineun yang meliputi selaput lendir vagina, cincin selaput dara,
jaringan pada rektovaginal, otot-otot dan fascia perineum dan kulit depan
perineum. (http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813
diakses tanggal 14 juli 2006).
Episiotomi
bisanya dikerjakan pada hampir primipara pada perempuan dengan perineum kaku.
2. Tujuan
episiotomi
Episiotomi bertujuan mencegah rupture perineum dan
mempermudah pemulihan luka. Episiotomi dilakukan saat perineum telah menipis
dan kepala janin tidak masuk kembali kedalam vagina (Arif Mansjoer, 1999: 338).
3. Indikasi
episiotomi
Indikasi
episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun janin.
Indikasi ibu antara lain adalah: primigravida umumnya,
perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu, apabila
terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya pada persalinan sungsang,
persalinan dengan cunan, ekstraksi vakum dan anak besar, arkus pubis yang
sempit. (http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813
diakses tanggal 14 juli 2006).
Indikasi pada janin antara lain adalah: sewaktu
melahirkan janin prematur. Tujuannya untik mencegah terjadinya trauma yang
berlebihan pada kepala janin, sewaktu melahirkan janin dengan letak sungsang,
letak defleksi, janin besar, pada keadaan dimana ada indikasi untuk
mempersingkat kala II seperti pada gawat janin, talipusat menumbung.
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813
diakses tanggal 14 juli 2006).
Kontraindikasi episiotomi antara lain adalah: bila
persalinan tidak berlangsung pervaginam,bila terdapat kondisi untuk terjadinya
perdarahan yang banyak seperti penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises
yang luas pada vulva dan vagina.
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813
diakses tanggal 14 juli 2006).
4. Jenis
episiotomi
Sayatan episiotomiumumnya menggunakangunting khusus,
tetapiu dapat juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan
maka dikenal 4 jenis episiotomi yaitu:
a.
Episiotomi medialis.
Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior
lurus ke bawah tetapi tidak sampai mengenai serabut sfngter.
Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah
pendarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan
daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah. Sayatan bersifat
simetris dan anatomis sehingga penjahitaan kembali lebih mudah dan penyembuhan
lebih memuaskan.
Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perinei
inkomplet (laserasi m.sfingter ani) atau komplet (laserasi dinding rektum).
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813
diakses tanggal 14 juli 2006).
b. Episiotomi
mediolaperolis
Merupakan jenis insisi yang banyak digunakan karena
lebih nyaman. Sayatan disini dimulai dari belakang introitus vagina menuju ke
arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun
kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan
kira-kira 4 cm. sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani
untuk mencegah ruptura perinei. Perdarahan luka lebih banyak oleh karena
melibatkan daerah yang banyak pembuluh darahnya. Otot-otot perineum terpotong
sehingga penjahitan lebih sukar. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga
setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris. Episiotomi lateral. (http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813
diakses tanggal 14 juli 2006).
Jenis episiotomi ini tidak dilakukan lagi karena hanya
dapat menimbulkan sedikit relaksasi introitus, perdarahan lebih banyak dan
sukar direparasi (Arif Mansjoer, 1999: 338)
Sayatan disini dilakukan ke narah lateral mulai
kira-kira jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam. Luka sayatan dapat melebar ke
arah dimana terdapat pembuluh darah pundendal interna, sehingga dapat
menimbulkan pendarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat
menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813
diakses tanggal 14 juli 2006).
c.
Insisi schutchardt
Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi
mediolateralis, tetapu sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari
rektum, serta sayatannya lebih lebar.
(http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modlod&name=Downloads&file=indek&req=getit&lid=813
diakses tanggal 14 juli 2006).
C.
PLASENTA RISTAN
Taber (2002: 333) mendenifisikan plasenta
ristan merupakan suatu plasenta yang tidak dapat dipisahkan dari dinding uterus
secara sebagian. Keadaan ini disebabkan karena tidak adanya desidua basalis
baik sebagian atau seluruhnya terutama lapisan yang berbusa. Plasenta ristan merupakan
plasenta yang tidak terlepas secara spontan dalam waktu lebih dari 30 menit
setelah kelahiran (Hartono, 1997: 51).
Komplikasi yang terjadi pada plasenta ristan
biasanya menimbulkan perdarahan post partum dini atau lambat. Perdarahan
berasal dari rongga rahim, dan kontraksi rahim biasanya baik. Pada perdarahan
post partum lambat gejalanya karena adanya subinvolusi, perdarahan berlangsung
terus atau berulang. Infeksi dan sepsis oleh karena penyebaran kuman, toksik
pembuluh darah (Hartono, 1997: 51).
Pengelolaan pada umumnya dilakukan kuretase.
Kuretase harus dilakukan dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis,
kemudian dilanjutkan dengan pemberian uterotonika dan antibiotik sebagai
tindakan pencegahan. (Hartono, 1997: 51).
D.
KURETASE
1. Pengertian kuretase
“Kuretase adalah cara membersihkan hasil
konsepsi dengan menggunakan alat kuretase (sendok kerokan)” (Mochtar, 1998:
41).
2. Tujuan kuretase adalah mengeluarkan hasil
konsepsi, mengeluarkan plasenta yang belum lahir, mengeluarkan plasenta yang
masih tertinggal sebagian di rahim. (Mochtar, 1998: 42).
3. Persiapan Sebelum Kuretase
e
Persiapan penolang/tenaga kesehatan yaitu
menentukan letak uterus, keadan servik.Besarnya uterus, hal-hal diatas berguna
untuk mencegah terjadinya bahaya kecelakaan, misalnya perforasi. (Mochtar,
1998: 42).
e
Persiapan penderita
· Keadan umum baik.
Keadaan
umum klien sebelum menjalani kuretase harus baik atau stabil yang
dimanisfestasikan dari pemeriksaan fisik. Yaitu pada tanda-tanda vital:
a. Tekanan darah
Tekanan darah
ini merupakan tanda bahwa sistem kardiovaskuler dalam keadaan baik. Tekanan
darah ini memiliki kisaran nilai pada usia dewasa, sistol 110-120 mmHg, diastol
antara 70-80 mmHg.
b. Suhu badan normal
Seyogyanya
pemariksaan suhu tubuh juga dilakukan pemeriksaannya biasanya untuk orang
dewasa pada bagian ketiak dengan keadaan normal 36-370 C.
c. Respiratory Rate.
Pernafasan
atau respiratory rate juga harus dihitung selama 1 menit penuh, tidak hanya
frekuensi tapi juga kedalaman, irama teratur atau tidak. Nilai normal untuk
orang dewasa 16-20 x permenit.
d. Nadi.
Pemeriksaan
nadi ini juga menunjukkan faal dari jantung. Pemeriksaan nadi bisa dilakukan
pada nadi radialis atau nadi bradikalis dengan waktu 1 menit penuh, frekuensi
normal 60-80 x permenit.
e
Inform
Concent.
Inform concent merupakan ajin tertulis yang dibuat secara sadar yang
ditandatangani pasien atau keluarga dan juga tenaga kesehatan. Surat ini bermanfaat untuk
melindungi klien terhadap tindakan kuertase yang lalai dan melindungi tenaga
kasehatan terhadap tuntutan dari suatu lembaga hukum.
e
Pemeriksaan
Penunjang.
Pemeriksaan penunjang ini dapat berupa EKG, USG, foto rontgen. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan penunjang dan sebagai bahan
pertimbangan untuk tindakan.
e
Persiapan
Mental.
Hal ini harus diperhatikan lebih lanjut karena persiapan secara
psikologis sangat menentukan. Dengan menyarankan klien untuk berdoa dan tidak
cemas serta untuk keluarga harus tetap memberi dukungan baik spiritual maupun
psikologis sehingga semuanya berjalan lancar.
e
Pelaksaan
kuretase
Sebagai profilaksis, klien akan dipasang infuse, persiapan alat kuretase
hendaknya tersedia dalam bak alat dalam keadaan aseptik (suci hama ), hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi, penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, pada umumnya
diperlukan anestesi infiltrasi lokal atau umum secara intravena dengan ketalar.
(Mochtar, 1998: 42).
4. Perawatan setelah kuretase.
a. Segar latih mobitasi.
b. Anjurkan klien kembali ke dokter, bila
terjadi gejala-gejala, seperti: Nyeri perut (lebih dari 2 minggu), perdarahan
berlanjut (lebih dari 2 minggu), perdarahan lebih dari haid, demam, menggigil,
pingsan, klien diperbolehkan pulang 1-2 jam pasca tindakan joika tidak terdapat
tanda-tanda komplikasi. (Mochtar, 1998: 42).
E.
PATHWAYS
F.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko
syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap atonia uteri.
(Doengoes, 2001)
2. Gangguan
rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan perineum dan kontraksi
uterus berlebih. (Doegoes, 2001: 417)
3. Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka episiotomi (Doegoes,
2001: 427)
4. Gangguan
eliminasi berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder terhadap oedema uretra. (Doegoes,
2001: 434)
5. Defisit
perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan (Doegoes, 2001:
436)
6. Perubahan
pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru. (Carpenito, 2000: 513)
7. Konstipasi
berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon (Doegoes, 2001: 430)
8. Gangguan
pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, factor eksternal
perubahan lingkungan.
9.
ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya
manageman laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara.(Carpenito, 2001:
513)
10. Nutrisi
bayi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan inefektif laktasi.
G.
INTERVENSI
1. Resiko
syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap atonia uteri.
(Doengoes, 2001)
Tujuan :
Syok hipovolemi tidak terjadi.
Kriteria hasil:
Ø
Tekanan darah siastole 110-120 mmHg, diastole
80-85 mmHg.
Ø
Nadi 60-80 kali permenit.
Ø
Akral hangat, tidak keluar keringat dingin
Ø
Perdarahan post partum kurang dari 100 cc
Intervensi :
·
Monitor vital sign
·
Kaji adanya tanda-tanda syok hipovelomik
·
Monitor pengeluaran pervagina.
·
Lakukan massage segera mungkin pada fundus
uteri.
·
Susukan bayi sesegera mungkin.
2. Gangguan
rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan perineum dan kontraksi
uterus berlebih. (Doegoes, 2001: 417)
Tujuan :
Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
Ø
Ekspresi wajah klien tenang.
Ø
Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang.
Ø
Skala nyeri kurang dari 4.
Ø
Nadi antara 60-80 kali permenit.
Intervensi :
·
Kaji sebab-sebab nyeri pada klien.
·
Ajarkan pada klien tentang metode distraksi dan
relaksasi.
·
Anjurkan pada klien untuk melakukan kompres
dingin pada daerah perineum.
·
Kolaborasi pemberian analgesic sesuai advis
dokter.
3. Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka episiotomi.
(Doegoes, 2001: 427)
Tujuan :
Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Ø
Tidak ada tanda-tanda infeksi pada daerah
sekitar luka episiotomi.
Ø
Tanda-tanda vital normal.
Ø
Jumlah sel darah putih normal.
Intervensi :
·
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien.
·
Monitor tanda-tanda vital.
·
Monitor tanda-tanda infeksi pada daerah luka
episiotomi.
·
Beri perawatan pada luka episiotomi dengan
menggunakan teknik septic dan antiseptic.
·
Anjurkan pada klien agar menjaga kebersihan
perineum.
4. Gangguan
eliminasi urin: inkonensia berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder
terhadap oedema uretra. (Doegoes, 2001: 434)
Tujuan :
Kebutuhan eliminasi urin dapat terpenuhi.
Kriteria hasil :
Ø
Klien dapat mengosongkan kandung kemih 4-8 jam
setelah melahirkan.
Ø
Klien tidak merasakan ketegangan pada kandung
kemih.
Intervensi :
·
Kaji intake cairan klien mulai terakhir saat
pengosongan kandung kemih.
·
Anjurkan klien untuk merangsang BAK dengan
menggunakan air hangat.
·
Kaji jumlah urin yang dikeluarkan.
·
Jika klien tidak bisa mengeluarkan sendiri
secara spontan, kolaborasi untuk pemasangan kateter.
5. Defisit
perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan. (Doegoes, 2001:
436)
Tujuan :
Kebersihan diri klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
Ø
Klien dapat melakukan perawatan diri secara
bertahap.
Intervensi :
·
Kaji factor-faktor penyebab yang berperan.
·
Tingkatan partisipasi klien secara bertahap dan
optimal.
·
Beri dorongan untuk mengungkapkan persaan
tentang perawatan diri.
6. Perubahan
pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru. (Carpenito, 2000: 513)
Tujuan :
Orang tua dapat menerima peran baru dalam keluarganya.
Kriteria hasil :
Ø
Orang tua dapat menerima keberadaan bayinya.
Ø
Orang tua dapat mendemonstrasikan perilaku peran
barunya.
Ø
Orang tua mulai mengungkapkan perasaan positif
mengenai bayinya.
Intervensi :
·
Beri kesempatan untuk membina proses ikatan
dengan bayinya.
·
Anjurkan ayah atau ibu untuk menggendong
bayinya.
·
Dengarkan cerita tentang pengalamannya selama
hamil hingga melahirkan.
·
Berikan dukungan social yang diperlukan ibu.
7. Konstipasi
berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon. (Doegoes, 2001: 430)
Tujuan :
Pasien dapat defekasi dengan lancar.
Intervensi :
·
Kaji pola defekasi klien.
·
Auskultasi bising usus.
·
Ajarkan pentingnya diit seimbang.
·
Dorong masukan harian sedikitnya 2 liter
cairan.8 sampai 10 gelas kecuali dikontraindikasikan.
·
Anjurkan untuk ambulasi dini sesuai toleransi.
·
Anjurkan makan makanan tinggi serat.
·
Berikan laksatif jika diperlukan.
8. Gangguan
pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, faktor eksternal
perubahan lingkungan.
Tujuan :
Pasien tidak mengalami gangguan pola tidur.
Kriteria hasil :
Ø
Pasien dapat mengungkapkan pemahaman tentang
faktor gangguan tidur.
Ø
Meningkatkan peningkatan kemampuan untuk tidur.
Ø
Wajah klien rileks.
Intervensi :
·
Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan istirahat
pasien.
·
Kaji factor-faktor penyebab gangguan pola tidur.
·
Berikan lingkungan yang nyaman.
·
Beri kesempatan ibu mengungkapkan perasaannya,
batasi kunjungan selama periode istirahat.
9. Ketidakefektifan
menyusui berhubungan dengan kurangnya managemen laktasi sekunder terhadap
pembengkakan payudara. (Carpenito, 2001: 513)
Tujuan :
Ibu dapt menyusui bayinya secara efektif.
Kriteria hasil :
Ø
Ibu membuat keputusan menyusui bayinya.
Ø
Ibu mengidentifikasi aktivitas yang menghalangi
untuk menyusui.
Intervensi :
·
Kaji factor-faktor penyebab ketidakefektifan
menyusui.
·
Dorong ibu untuk mengungkapkan masalah secara
terbuka.
·
Kaji keadaan ibu dan bayi.
·
Ajarkan penatalaksaan perawatan payudara yang
baik.
·
Ajarkan cara menyusui yang baik, bila ada gejal
mastitis atau abses payudara (ditandai bengkak dan nyeri). Anjurkan untuk
menghubungi perawat dan dokter.
10.
Nutrisi bayi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
inefektif laktasi.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi.
Kriteria hasil :
Ø
Bayi menerima nutrisi yang adekuat.
Ø
Ibu menunjukkan peningkatan ketrampilan dalam
pemberian ASI.
Ø
Bayi tampak tenang.
Intervensi :
·
Kaji pola makan bayi dan kebutuhan nutrisi bayi.
·
Beri intervensi spesifik untuk meningkatan
pemberianmakan per oral yang efektif.
·
Tingkatan tidur dan kurangi pemakaian energi
yang tidak.
·
Ajarkan cara menyusui yang benar.
·
Ajarkan perawatan payudara post partum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar